Mohon tunggu...
Dea Ayu
Dea Ayu Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Sekolah

mahasiswa yang sedang mengisi waktu luang untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gila

8 Agustus 2023   11:23 Diperbarui: 8 Agustus 2023   11:30 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam menjelma menjadi sosok yang mengerikan, ia tengah menatap tajam kearah ku, seolah ingin melahap ku hidup-hidup. Kaki ku terus berjalan diatas aspal dingin yang ujungnya pun aku tak tahu. Tak ada suara bising kendaraan dan kerlipan lampu. Aku berada di sebuah tempat dimana pohon-pohon menjulang tinggi. Hanya ada aku, dan jalan yang membisu tak memberi petunjuk pulang. Namun tiba-tiba seseorang mencekal pergelangan tanganku. Aku terlonjak kaget, namun tak kudapati siapapun. 

"Haloo? ada seseorang disini?" tanyaku pada angin malam. Hanya sunyi.

Aku meneguk ludah dengan susah payah, tenggorokan ku terasa nilu, jantung ku mulai berdetak tak karuan. Tapi tiba-tiba seseorang menampar ku dengan keras.

"Aduhh" aku terbangun setelah tubuhku jatuh menghantam ubin. Ternyata aku sedang mimpi.

Entah mengapa, akhir-akhir ini malam ku terasa mengerikan. Aku terus dihantui oleh mimpi-mimpi ganjil yang menakutkan. Jam tidur berantakan, nafsu makan yang hilang, jiwaku seolah sudah di renggut. Mengapa? ada apa sebenarnya? mengapa mimpiku terasa ganjil?

Hari demi hari ku lalui dengan perasaan gelisah. Seminggu sudah berlalu, dan aku masih dalam kegelisahan yang hampa. Tapi mimpi semalam adalah mimpi yang paling ku takuti dari mimpi sebelumnya. Aku melihat wajah Mbak Inah berlumuran darah, matanya merah menyala menatap tajam kepadaku, seolah ia ingin menuntut sesuatu dari ku. Aku terus menerus terbayang wajah seram itu. Tapi memang belakangan ini mbak Inah tidak pernah kelihatan. Biasanya sering ke kost ku, paling tidak seminggu bisa sampai 4 kali. Maklum saja, kita sudah seperti kakak beradik. Ia memiliki toko yang berada tepat di sebelah kost ku. Dan memang, toko nya seminggu terakhir tak pernah buka. 

"Ngelamun terus, awas nanti kerasukan setan!"

Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati ratna , sahabatku.

"jadi nggak? katanya mau nemenin aku ke rumah mbak Inah hari ini." tanyaku pada ratna.

Ia duduk di sebelah ku lalu menunjukkan senyum sok manisnya itu. "Hehe.. maaf ya, hari ini aku ada kelas jadi tidak bisa. Kalo dosennya nggak killer pasti aku temenin kamu kok."

Aku membuang nafas panjang, sudah pasti ada saja alasan. Selalu begitu kalau aku minta tolong.

...

Akhirnya sampailah aku di depan rumah Mbak Inah. Rumah sederhana berwarna hijau dengan halaman luas yang ditanami berbagai tanaman. 'Sepi, apa Mbak Inah sedang keluar ya?' batinku dalam hati. 

"assalamualaikum.." aku mengetok pintunya berkali-kali, lalu sesekali mengintip lewat jendela apakah ada orang didalam. Namun tak ada jawaban.

Setelah 5 menit berlalu dan tak ada jawaban, aku berjalan ke belakang rumah. Mencari-cari keberadaan mbak Inah. Tapi begitu menginjakkan kaki di belakang rumah, aku mencium bau busuk yang menyengat. Ku tutupi hidung dengan telapak tangan. Karena penasaran, akupun menghampiri pintu kayu yang sedikit terbuka itu, lalu membukanya. 

"Aaaaaa..." 

aku melangkah mundur, lalu tanpa sengaja tersandung batu dan terjatuh. Betapa terkejut aku melihat pemandangan di depanku. Seseorang terbujur kaku tak bernyawa dengan tubuh yang membusuk tergeletak di lantai. Aku berlari keluar, lalu berteriak meminta pertolongan. Para warga yang mendengarnya pun sontak menghampiri ku. Dengan perasaan yang tak karuan aku menceritakan apa yang kulihat dengan terbata. Para laki-laki langsung berlari menuju belakang rumah, dan seorang perempuan paruh baya berusaha menenangkan ku.

 Seseorang memberi ku segelas air. Aku hendak meraih nya, namun wajah tuanya menyeringai sambil menaikkan satu alis nya.

"Kamu berpura-pura menangis ya? jelas- jelas kamu yang membunuh Inah. Yang jelas malam itu kau seperti orang yang hilang akal."

Aku terdiam, lalu tersadar. Ya memang aku membunuhnya. Malam itu aku marah karena ia menjalin cinta dengan pacar ku, dan kita bertengkar hebat. lalu aku memukulnya dengan kayu tepat di kepalanya.

Perlahan semua orang mundur menjauh. Aku menangis, tapi juga tertawa. Ku pejamkan mata, terdengar teriakan-teriakan marah. Lalu yang kurasakan selanjutnya seseorang mencekal tangan, rambut, lalu menyeret ku. Lalu semuanya menjadi hitam. Aku merasa sudah gila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun