Mohon tunggu...
Dea Aprillia Purwanto
Dea Aprillia Purwanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

little dreamer.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toxic Positivity Culture di kampus: Mental Aman?

7 Juni 2022   19:38 Diperbarui: 8 Juni 2022   16:11 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Belajarlah mengendalikan pikiran dan emosi

Dengan belajar mengendalikan pikiran dan emosi ialah cara yang berguna untuk menghindari kemunculan emosi negatif. Tujuannya adalah agar seseorang sadar akan kebenaran tentang apa yang terjadi kemudian memilih untuk menerima emosi-emosi itu secara alamiah. Namun bukan berarti orang tersebut menerima hal atau kondisi yang terjadi. 

Seperti misalnya, terdapat si A yang memperlakukan Anda dengan buruk. Dalam konteks ini, bukan tentang menerima orang lain yang memperlakukan Anda dengan buruk itu. Namun, Anda harus menerima emosi Anda karena telah diperlakukan dengan buruk, mengakui bahwa emosi-emosi itu normal, dan tidak menilai diri Anda sendiri karena memiliki emosi-emosi itu. Belajar mengendalikan pikiran dan emosi dapat dimulai dengan menumbuhkan kesadaran serta penerimaan emosi negatif. Hal itu lebih baik untuk menghindari toxic positivity daripada memaksa mereka pergi dengan kepositifan.  

2. Memupuk kasih sayang diri (Self-Compassion)

Banyak orang yang mendambakan kehidupan denhan memiliki emosi yang terkendali. Seperti bersikap positif sepanjang waktu, selalu bersyukur atas apapun, hingga selalu dalam mood atau suasana hati yang baik. Padahal, itu dapat menjadi tekanan yang besar untuk diri sendiri. Jika Anda gagal, Anda mungkin mulai melukai self-esteem atau harga diri Anda. 

Jangan lupa untuk bersikap baik pada diri sendiri dan berbelas kasih dengan diri sendiri ketika Anda menghadapi emosi negatif atau menjumpai masa-masa sulit. Sangat wajar dan sehat untuk memiliki emosi negatif. Tidak perlu terlalu keras pada diri kita sendiri karena terkadang memiliki emosi yang buruk, karena tidak satupun seseorang dapat menjadi positif sepanjang waktu. That's why, self-compassion dapat menjadi pencegah yang baik untuk toxic positivity.

3. Jangan meremehkan emosi negatif

Ketika menghadapi emosi negatif, jangan Anda biarkan saja. Meskipun emosi negatif tampak buruk, hal itu melakukan banyak kebaikan bagi kita. Seperti misalnya, kecemasan dapat membantu kita lebih siap dalam menghadapi masalah kedepannya. Rasa malu dapat memotivasi orang lain untuk memaafkan kita dan kesedihan dapat memotivasi orang lain untuk lebih banyak membantu kita (Keltner & Kring, 1998). Ketika kita mendorong emosi negatif kita ke bawah, kita gagal untuk mendapatkan manfaat yang mereka berikan ketika kita membutuhkan manfaat tersebut. Sehingga kepositifan yang berlebihan bisa menjadi racun.

Untuk itu, kalian harus memahami diri kalian untuk dapat mengembangkan potensi diri dan menjaga kesehatan mental. Be positive but don't be toxic positivity, readers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun