Sekarang ini marak sekali kejadian-kejadian perempuan mengalami pelecehan seksual, baik yang dilakukan orang yang terdekat ataupun orang asing. Pelecehan seksual adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai padanan yang di dalam bahasa Inggris disebut sexual harassment. Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara etilogi dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Terdapat berbagai macam pelecehan seksual, ada yang dinamakan perilaku menggoda, perilaku ini mengajak untuk berbuat asusila atau berkonten seksual yang dilakukan secara terus menerus walaupun sudah mendapatkan penolakan sehingga terjadi pemaksaan. Berikutnya adalah penyuapan seksual, yang dimana pelaku memberikan iming-iming kepada korban agar menuruti ajakan pelaku. Biasanya hal ini terjadi karena adanya perbedaan kekuatan di antara pelaku dan korban, pelaku yang memiliki dominasi akan menggunakan kekuatannya untuk mengajak korban dan korban mau tak mau menuruti ajakannya. Lalu adapula pemaksaan seksual, hal ini termasuk di antaranya pemerkosaan dan meraba tubuh korban.
Komnas Perempuan menyatakan bahwa setidaknya 64 persen perempuan di Indonesia telah  mengalami pelecehan seksual bahkan mengalami penaikan 700 persen sejak tahun 2012. Hal ini tentunya menyita perhatian dari semua kalangan masyarakat terutama perempuan,  bagaimana perempuan tidak pernah merasa aman berada di luar jika selalu berhadapan dengan predator seksual.  Bahkan tempat yang dianggap paling aman pun kini sudah tidak aman lagi. baik itu rumah, kampus, sekolah bahkan pesantren sekalipun. Di dalam Lembaga pendidikan, kampus atau universitas berada di urutan pertama dari banyaknya pelapor, lalu pesantren dan lembaga-lembaga yang berbau agama lainnya menduduki peringkat kedua, dan yang terakhir adalah di sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, bahkan anak yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak.
Lembaga pendidikan seharusnya adalah tempat teraman bagi anak-anak untuk menuntut ilmu, untuk mencapai mimpi semua anak-anak. Pendidik seharusnya menjadi pembimbing, orang tua, sekaligus panutan dan suri tauladan. Namun pelecehan seksual dalam lembaga pendidikan sebagian besar dilakukan oleh oknum pendidik.
Pelecehan di lingkungan universitas kebanyakan dialami oleh mahasiswi dengan dosen yang mempunyai relasi kuasa, sebagai contohnya adalah pembimbing skripsi atau pembimbing penelitian. Pelecehan dapat berupa pelecehan fisik dan non fisik, yang berupa pesan-pesan menggoda. Dari kasus yang terjadi walaupun sudah mendapatkan penolakan dan diabaikan, namun sang pelaku masih terus mengirimkan pesan-pesan yang tidak pantas dikirim untuk murid bimbingannya.
Di dalam lingkungan pesantren modus pelaku pelecehan adalah dengan mengiming-imingi masa depan yang cerah, lalu ada pula kasus yang memanipulasi santriwati bahwa akan berdosa jika tidak menuruti perintah seorang guru dan nantinya hafalan ayat suci akan hilang, adapula kerentanan yang disebabkan karena belum membayar biaya pendidikan.
Ada pula kasus yang dimana korbannya adalah anak di bangu Taman Kanak-Kanak, ketika korban sendirian sedang berada di kamar mandi pelaku pun melancarkan aksinya dengan menyekap mulut dan melancarkan aksinya. Ada kasus di tingkat sekolah menengah dimana guru melancarkan aksinya lantaran murid menunggak pembayaran SPP, dan pelecehan lainnya. Yang membuatnya lebih miris adalah pelaku atau pihak internal meminta agar korban tidak melapor kepada siapapun termasuk orang tua dengan alasan klasik bahwa nanti nama sekolah akan tercemar.
Seperti yang dilihat bahwa pelaku pelecehan seksual sebanyak 15% dilakukan oleh kepala sekolah, 22% dilakukan oleh guru, 19% oleh dosen, dan sisanya dilakukan oleh pihak lain. Betapa mirisnya melihat hal ini. Guru yang seharusnya memajukan peradaban justru menghancurkan peradaban itu sendiri.
Menurut Komnas Perempuan para korban umumnya merupakan peserta didik berada dalam kondisi tidak berdaya atau powerless, sedangkan guru, dosen, kepala sekolah ataupun kepala pesantren adalah pemilik relasi kekuasaan. Hal ini masuk dalam ranah teori  Michael Focault tentang relasi kuasa.
Kekuasaan menurut Focault seorang filsuf pelopor sturkturalisme mengemukakan bahwa dimana ada relasi, di sana ada kekuasaan (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, 2005:105). Tanpa disadari kekuasaan beroperasi dalam jaringan kesadaran masyarakat. bagi Focault kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan,dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Sampailah pada kesimpulan bahwa tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Dari pengetahuan tersebutlah seseorang dapat menguasi manusia lainnya. Hubungan kekuasaan juga menimbulkan saling ketergantungan antar pihak yang memegang kekuasaan dan dengan pihak yang menjadi objek kekuasaan maka pola ketergantungan yang tidak seimbang mendatangkan sebuah  kepatuhan (Roderick Martin, 1995:98).
Dengan kekuasaan pelaku dan ketidakberdayaan korban membuat pelecehan seksual terjadi di lingkungan pendidikan. Dosen, guru, ataupun pengajar di pesantren memiliki kekuasaan untuk mendominasi. Dalam bimbingan skripsi, dosen pembimbing sangat mempunyai kekuasaan, untuk memilih kapan waktu bimbingan dan dimana akan berlangsung bimbingan. Mahasiswa tahap akhir tentunya sangat bergantung kepada dosen pembimbing mereka yang mempunyai pengetahuan lebih, dan respon yang diberikan menentukan arah tugas akhir. Maka terbentuklah kebergantungan itu. Merasa mempunyai kekuasaan dan bahwa mahasiswa tidak berdaya maka dilancarkanlah pelecehan itu, baik secara fisik ataupun verbal, karena takut tidak lulus banyak dari mereka yang pasrah. Begitu pula dengan lembaga pendidikan lainnya, menggunakan kekuasaan untuk melancarkan aksi yang tidak sepantasnya.
Lantas setelah mendapatkan perlakuan seperti itu banyak dari mereka yang speak out dan menceritakan apa yang mereka alami namun banyak juga dari mereka lebih memilih untuk tutup mulut dan menyimpannya sendirian sehingga berujung tanpa perlawanan. Tak jarang jutru korban yang disalahkan, utamanya mengenai pakaian yang dipakai. Kontruksi budaya patriarki ini juga yang membuat pelaku masih mendapatkan pembelaan. Jika ditelisik justru korban-korban pelecehan tersebut berpakaian sebagaimana mestinya, dan apabila pakaian berpengaruh, bagaimana pelecehan dapat terjadi di lingkungan pesantren sedangkan pakaian santriwati begitu tertutup.