Namun pandemi membuatnya menjadi dua kali lipat lebih sengsara dari sebelum pandemi. Kebijakan untuk sekolah dari rumah tentunya harus dipatuhi oleh semua kalangan masyarakat begitupun dengan mereka yang dari daerah. Sekalipun sekolah ditutup, ada layanan pembelajaran online yang sekarang sedang marak seperti Zenius, Ruang Guru, Quipper, dsb.
Namun buku saja  tidak mampu dibeli, dan untuk mengakses layanan pembelajaran online dan aplikasi media daring membutuhkan alat-alat canggih seperti laptop, handphone, dan kuota internet belum lagi bayaran mahal yang harus diperlukan untuk mengkases pembelajaran online tersebut. Penghasilan orang tua yang tidak seberapa ditambah dengan pandemi membuat mereka kehilangan pekerjaan, dan tidak ada kesempatan untuk mereka yang miskin. Hal ini menjadi sebuah ironi pendidikan di tengah globalisasi dan pandemi.Â
Lalu ada yang disebut dengan ideologi kompetisi, dimana banyak dari orang-orang yang mengatakan bahwa tidak ada halangan dalam pendidikan, dan semua orang masih bisa berlomba menjadi yang terbaik walau di tengah pandemi. Ideologi kompetisi diterapkan diberbagai jenjang pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi, seperti labelling pada sekolah, dan predikat yang dilekatkan bagi personal yaitu si anak bodoh dan si anak pintar.Â
Dan bagaimana mungkin anak-anak dari daerah pedalaman dengan fasilitas apa adanya bersaing dengan anak-anak elite dengan fasilitas yang snagat memadai. Maka dari itu tidak berlebihan jika pendidikan didesain untuk para pemenang. Seperti yang dikatakan oleh Herbert Gintis (1976) bahwa pendidikan tidak dijadikan sebagai media bagi orang-orang miskin dan tidak pandai untuk bisa mentransendensi posisi kelas sosial mereka ketika dewasa.
Dari buku Bowles dan Gintis (1976) yang berjudul Schooling in Capitalist America : Educational Reform and the Contradictions of Economics lifes yang mengkritisi pernyataan bahwa sekolah di Amerika mempunyai dampak pemerataan pendapatan dan bisa melakukan dampak pemerataan pendapatan, berdasarkan berbagai kajian dan hasil penelitiannya, Bowles dan Gintis sampai pada satu kesimpulan bahwa justru sekolah dan pendidikan di Amerika memproduksi ketidakadilan sosial dan kelas. Begitu pula yang terjadi di Indonesia bahwa ketidakadilan sosial sangat terlihat dari kurikulum pendidikan yang hanya menguntungkan bagi mereka kalangan atas dan tidak memikirkan mereka dari kalangan bawah.Â
Pendidikan non formal dinilai bisa menjadi solusi tambahan, memang bisa dijadikan solusi, namun solusi bagi mereka yang memiliki uang, dari sini terlihat bahwa pendidikan sangatlah kapitalis. Bimbel-bimbel online tersebut nampaknya mengeluarkan konten-konten pembelajaran secara gratis dan bisa diakses dengan mudah, yang menjadi permasalahan adalah meski konten pembelajaran disediakan secara gratis namun siswa-siswa di daerah pedalaman tidak mempunyai alat penunjang.
Selain itu permasalahan lainnya adalah tenaga pendidik. Di dalam sekolah formal, guru harus berkinerja dengan baik, dan penuh inovasi dalam pembelajaran daring. Karena pembelajaran daring juga bergantung dengan guru yang mengajar, kinerja guru yang baik akan berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas (Awaru,2013). Hal ini tentunya menjadi dilema, dimana tenaga pendidikan dengan segala tuntutan namun fasilitas yang diberikan tidak memadai.Â
Dikutip dari Kompas bahwa seorang guru rela mendatangi rumah muridnya satu persatu agar murid-muridnya dapat belajar dan tidak tertinggal pelajaran. Belajar melalui daring ini tidak berjalan lancar karena murid-murid yang tidak memiliki gadget, pemerintah walau sudah memberikan solusi untuk menayangkan program pembelajaran dirasa juga tidak memberikan dampak apa-apa bagi siswa miskin di daerah pedalaman karena mereka tidak memiliki televisi.
Dapat terlihat bahwa guru di daerah pedalaman tidak diberikan kesejahteraan, mendatangi rumah murid satu persatu di tengah pandemic tentunya sangat beresiko tertular Covid-19. Namun sebagai guru dengan segala keterbatasan yang ada tentunya mau tidak mau mereka harus bertaruh dengan nyawa. Belum lagi dengan gaji yang tidak seberapa dengan pengorbanan yang harus dilakukan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas terlihat jelas bahwa kesenjangan pendidikan di tengah pandemi di perkotaan dan di daerah-daerah terpencil atau pedalaman sangatlah besar. Baik dalam pendidikan non formal maupun formal keduanya mempunyai hambatan besar. Pemerintah telah cukup baik untuk memberikan subsidi kuota gratis kepada seluruh siswa ataupun mahasiswa di Indonesia dan menayangkan program pembelajaran di televisi tapi sepatutnya pemerintah tahu bahwa jarang dari mereka yang mempunyai alat-alat seperti itu. Seharusnya pemerintah memberikan dana BOS kepada sekolah-sekolah untuk dibelikan gadget, tablet, dan laptop agar bisa dipinjamkan kepada anak-anak. Begitu juga dengan para guru diharapkan pemerintah menaikkan gaji yang layak kepada guru. Â
Daftar Pustaka