Mohon tunggu...
Dea Amelia
Dea Amelia Mohon Tunggu... Freelancer - seorang mahasiswi

saat ini sedang menempuh studi S-1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Retorika Rasisme di Era Trump: Bagaimana Pengaruhnya terhadap Perilaku Masyarakat Amerika?

20 Desember 2019   12:00 Diperbarui: 20 Desember 2019   12:10 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan Presiden AS ke-45, Donald Trump, mengejutkan warga Amerika, bahkan dunia. Retorika Trump yang banyak dinilai rasis dan diskriminatif dalam masa kampanyenya memunculkan banyak tanggapan dari berbagai pihak, seperti mulai munculnya kembali kelompok supremasi kulit putih dan dikhawatirkan akan meningkatkan sentimen terhadap kaum minoritas---imigran, kaum muslim, dan warga kulit hitam.

Menurut Steve Phillips dalam Center for American Progress (2016), bukan suatu yang hal yang mengejutkan jika mayoritas pendukung Trump merupakan orang kulit putih karena berdasarkan data, lima puluh tahun terakhir orang kulit putih selalu memilih Partai Republik. Cukup diketahui jika ideologi pemilih dan juga identitas sebuah partai menentukan apa yang akan dipilih dalam pemilu. Rasisme menjadi alasan yang penting ketika memilih Trump (Hooghe & Dassonneville, 2018).

Beberapa survei telah dilakukan dan memberikan hasil bahwa rasisme di Amerika meningkat dibandingkan dengan pemerintahan Obama. Retorika Trump yang kontroversial dikhawatirkan akan mempengaruhi perilaku masyarakat AS, yaitu membentuk opini publik dan dianggap menjadi sesuatu yang legitimasi---menjadi pembenaran bagi para pendukungnya untuk melakukan tindakan kebencian berbau rasisme.

Artikel ini akan membahas bagaimana pengaruh retorika Trump terhadap perilaku masyarakat Amerika, terutama bagi kelompok supremasi kulit putih dan kelompok minoritas---hispanik, kaum muslim, warga kulit hitam. Pembahasan mengenai kelompok minoritas akan fokus kepada tiga kelompok yang telah disebutkan di atas. Artikel ini berargumen bahwa retorika Trump yang rasis akan mendorong 1) Kelompok rasisme di Amerika mulai muncul kembali, dan 2) Kelompok minoritas di Amerika merasa takut dan tidak aman.

Dalam artikel ini, saya akan menggunakan level analisis individu yang mengarah kepada perilaku dan karisma dari Donald Trump sehingga dapat mempengaruhi perilaku masyarakat Amerika. Mengacu kepada tulisan Eduardo Bonilla-Silva (2019), Trump memiliki personalistik yang kurang empati, narsistik, lebih otoriter dan manipulatif dibanding orang pada umumnya. Sifatnya yang karismatik membuat orang mudah terpengaruh dengan tindakannya. Theory of Rhetorical Climate oleh Ellen Gorsevski juga menjadi panduan dalam menganalisis pengaruh retorika Trump terhadap perilaku masyarakat AS.

Melalui retorikanya, Trump berhasil membentuk suatu hubungan emosional dengan masyarakat Amerika. Ia menggunakan ketakutan dan cerita pribadi serta mempromosikan dirinya sebagai seseorang yang akan melindungi dan membawa Amerika berjaya kembali, melalui slogan Make America Great Again dan America First.

Menurut Gorsevski (2012), Theory of Rhetorical Climate menjelaskan bagaimana suasana yang dapat tercipta sebagai akibat dari retorika yang disampaikan seseorang. Terdapat beberapa pemaknaan mengenai pembentukan suasana tersebut; suasana yang terbentuk dapat memotivasi dan cukup persuasif untuk memobilisasi orang agar dapat merespons hal yang serupa, dibatasi oleh waktu, secara kognitif terstruktur, menekankan pada respons kolektif dibandingkan secara individual, serta menyebabkan individu yang merasakan hal serupa bergabung dan meresponsnya secara kolektif dengan suatu kelompok.  Munculnya kembali kelompok supremasi kulit putih, seperti Ku Klux Klan dan Kelompok Neo-Nazi merupakan salah satu contoh bahwa retorika Trump berakibat pada munculnya kembali kelompok diskriminatif di Amerika.  

Munculnya kelompok rasisme, khususnya kelompok supremasi kulit putih

Supremasi kulit putih telah melekat pada masyarakat Amerika sejak lama, terbentuk berdasarkan rasa ketakutan akan termarjinalkan dan ketakutan terhadap masyarakat kulit berwarna. Melalui pendekatan emosional, Trump berhasil menarik simpati dari kelompok supremasi kulit putih. Ia selalu menekankan kata patriotisme, peninggalan, dan keamanan (Sanchez, 2018) untuk mendorong munculnya kembali supremasi kulit putih.

Kelompok seperti KKK dan Neo-Nazi merasa bahwa negara AS murni milik orang kulit putih dan imigran dianggap sebagai suatu hal yang dapat membahayakan keamanan nasional. Ketakutan bahwa negara dan hak-hak warga negaranya akan diambil oleh para pendatang membuat mereka memaknai hal tersebut sebagai 'white oppression'. Perasaan itu membuat kelompok supremasi kulit putih berani muncul kembali di tempat umum untuk menyatakan dukungannya kepada Trump.

Naiknya kekuasaan Trump menginspirasi gelombang kekerasan nasionalis kulit putih saat ini. Kekerasan yang dilakukan oleh supremasi kulit putih merupakan hal yang kompleks dan berbicara mengenai hal tersebut tidak dapat lepas dari sejarah Amerika, terutama era setelah perang saudara. Bagi David Duke, mantan grand wizard KKK, peristiwa unite the rally di Charllotesville pada tahun 2017 merupakan bentuk pemenuhan janji kepada Trump yang bertekad akan mengambil kembali negaranya (dari warga non-kulit putih). Ia mengatakan secara eksplisit bahwa hal tersebut menjadi alasan mengapa ia dan kelompoknya memilih Trump (Nelson, 2017). Dari pernyataan tersebut, menunjukan adanya perasaan kolektif yang muncul dalam kelompok supremasi kulit putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun