Mohon tunggu...
Dea Choirunnisa
Dea Choirunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Syukurilah apa yang sudah kita miliki

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Instrumen Derivatif di Lembaga Keuangan Syariah dan Pandangan Ulama Terhadap Instrumen Tersebut

22 Maret 2024   21:10 Diperbarui: 22 Maret 2024   23:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Instrument derivatif pada Lembaga keuangan Syariah masih banyak diperdebatkan. Perbedan pendapat terjadi tentang kebolehan penggunaan instrument derivative, mekanisme pasar dan kesulitan mengimplementasikan instrument derivative konfensional yang sesuai dengan Syariah. 

Perdebatan ini terjadi karena adanya perbedaan konsep keuangan dalam islam. Konsep keuangan dalam islam adalah uang itu digunakan sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditas. Selain itu itu juga ada beberapa instrumen derivative itu yang jelas jelas keharamannya, seperti gharar (ambiguitas) dan riba.

Pemenuhan prinsip syariah dalam setiap transaksi keuangan pada lembaga keuangan syariah adalah wajib termasuk dalam manajemen risiko. Manajemen risiko bergantung pada ruang lingkup kepentingan umum atau maslahah dalam fiqa muamalat, yang dianggap sebagai landasan pertimbang an yang dapat diterima dalam prinsip-prinsip Syariah sesuai dengan hukum al-kharaj bil al-daman (yaitu dengan keuntungan, tanggung jawab muncul) serta al-ghorm bil al-ghonm (yaitu risiko yang muncul dengan keuntungan) dan sementara pada saat yang sama menahan diri dari gharar (peningkatan ketidakpastian), maisir (perjudian), dan riba (riba), pengambilan risiko adalah diatur oleh prinsip-prinsip syariah.

Transaksi baru merupakan bentuk respon lembaga keuangan terhadap kebutuhan masyarakat akan layanan jasa keuangan. Hal ini dikarenakan model bisnis yang semakin berkembang sehingga masyarakat membutuhkan layanan keuangan yang berkembang pula. Banyak model bisnis yang dulu belum ada sekarang sudah ada, misalkan transaksi mudarabah tidak bisa lagi didasarkan pada kepercayaan saja, tetapi harus pula disertakan jaminan. 

Hal ini dikarenakan nasabah perbankan bukan hanya berasal dari orang-orang yang dikenal oleh pihak bank, tetapi nasabah berasal dari semua golongan dan lapisan masyarakat yang tidak diketahui latarbelakang kejujurannya. Tulisan ini membahas devinisi instrument derivatif, model-model transaksi derivatif di lembaga keuangan syariah dan pandangan ulama terhadap model-model transaksi tersebut

Instrumen derivatif adalah sebuah kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi acuan, seperti saham, komoditas, suku bunga, nilai tukar valuta asing, atau indeks saham. Instrumen derivatif sering digunakan oleh pelaku pasar, termasuk pemodal dan perusahaan efek, untuk melakukan lindung nilai (hedging) atas risiko dari pergerakan harga saham dan komoditas. 

Adapun contoh instrumen derivatif antara lain kontrak opsi, kontrak serah, swap, dan opsi jual beli. Implementasi pajak terhadap transaksi derivatif diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka, yang mengatur bahwa pajak yang dikenakan adalah PPh final dengan tarif 2,5% dari margin awal.  

Di dalam transaksi konvensional insturmen derivatif dapat dicontohkan berupa kontrak opsi (opsi beli atau opsi jual), kontrak berjangka (futures), kontrak serah (forward), atau kontrak barter (swap)

  • Transaksi forward: Transaksi forward adalah sebuah perjanjian atau komitmen dua pihak, untuk mengirimkan atau menerima instrumen finansial atau komoditas pada tanggal tertentu di masa datang, dengan harga yang telah ditentukan pada waktu penanda tanganan kontrak
  • Transaksi futures: Transaksi futures adalah sebuah perjanjian atau komitmen dua pihak, untuk mengirimkan atau menerima instrumen finansial atau komoditas pada tanggal tertentu di masa datang, dengan harga yang telah ditentukan pada waktu penanda tanganan kontrak
  • Option: Option adalah sebuah kontrak yang mengirimkan hak atau obliasi untuk membeli atau menjual sebuah aset pada suatu masa tertentu, dengan harga yang telah ditentukan pada waktu penanda tanganan kontrak
  • Swap: Swap adalah sebuah transaksi jangka panjang yang melibatkan pembiayaan dua pihak yang berbeda, dengan harga yang berbeda-beda

Instrumen derivatif dikembangkan dalam rangka mengelola risiko bisnis yang dapat terjadi akibat dari perubahan harga pasar. Harga sekuritas derivatif yang lebih fleksibel merupakan alasan mengapa produk derivatif menjadi popular dalam manajemen risiko. 

Dalam berbisnis, perusahaan tidak bisa menghindari risiko tetapi dengan kemampuan manajemen keuangan bisnis, Perusahaan dapat meminimalisir risiko. Salah satu alternatif yang dapat digunakan Perusahaan untuk mengatur risiko adalah penambahan instrumen derivatif sebagai hedging atau lindung nilai

Perlu di ingat transaksi derivatif merupakan satanic trinity yang jelas dilarang dalam syariah islam, yang kemudian menuntut lembaga keuangan syariah melakukan inovasi atas produk keuangan tersebut. Kebutuhan masyarakat atas produk keuangan sebagai pengganti sistem keuangan konvensional, lembaga keuangan syariah harus mampu menyeimbangkan penawaran dengan tetap memperhatikan prinsip syariah.

Model transaksi derivatif syariah tentu tidak kalah menarik dari konvensional. Pada awalnya modifikasi produk keuangan ini menjadi perdebatan yang kompleks dalam persiapannya menjadi produk keuangan syariah. Bagaimana tidak, derivatif konvensional yang mengandung riba, maysir, dan gharar di dalamnya tentu tidak sesuai dengan prinsip syariah. 

Sehingga membutuhkan proses yang matang sehingga muncullah transaksi derivatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan peradaban ekonomi keuangan syariah. Diantara bentuk-bentuk transaksi derivatif di lembaga keuangan syariah adalah sebagai berikut:

  • Bai-Salam

Salam merupakan jual beli barang secara rinci dengan pembayarannya dilakukan di muka (lunas) dan penyerahan barang di masa yang akan datang. Pada awalnya transaksi salam hanya dipakai pada produk pertanian saja, namun dengan pemahaman substansinya, salam dapat diaplikasikan sebagaimana mirip dengan produk future/forward (Widodo, 2009).

Kondisi yang mirip ini dikarenakan harga transaksi salam adalah harga tunai pada hari ini. Berbeda dengan futures yang tidak melakukan pertukaran uang hingga kontrak berakhir, salam melakukan pembayaran secara lunas sehingga sebenarnya menimbulkan risiko pada pembeli apabila penjual tidak memberikan barang pada waktu yang telah disepakati. Diskon dengan harga tunai hari ini lah yang akan menjadi imbalan risiko kontrak (Toha, 2019). Selain itu, pada saat jatuh tempo, kualitas barang diserahkan pembeli dengan rentang terbatas sesuai harga yang sudah dibayar.

  • Bai Istishna

Transaksi Istishna merupakan pemesanan barang dengan spesifikasi tertentu dan pelaksanaan pembayaran dapat dilakukan secara berangsur pada periode tertentu atau sekaligus di akhir periode ketika barang pesanan sudah tersedia sesuai dengan spesifikasi yang disepakati (Widodo, 2009).

  • Bai-Istijrar

Bai-Istijrar adalah jual beli berulang atas barang tertentu dalam satu periode. Dengan kata lain, barang yang dibeli diserahkan secara berangsur dalam satu periode (Widodo, 2009)

  • Bai-al-Urbun

Bai-al-Urbun merupakan jual beli suatu barang dimana pembeli memberikan uang muka (urbun) dari harga terntu dengan kesepakatan apabila pembeli melanjutkan transaksi maka urbun tersebut bagian dari harga barang, namun apabila pembeli membatalkan transaksi maka urbun menjadi milik penjual. Terkait transaksi ini terdapat hadist Riwayat Ahmad, Aan-Nas-y, Abu Daud, Al-Muntaqa: "Nabi SAW melarang penjualan dengan uang muka dan uang itu hilang jika pembelian tidak diteruskan", tetapi sanadnya dhaif. (Widodo, 2009). Menurut mazhab Hambali Bai-al-Urbun "boleh" diaplikasikan dengan pertimbangan melindungi penjual dari kerugian akibat dari pembatalan transaksi (Toha, 2019).

  • Khiyar Syarar

Khiyar syarat merupakan hak yang disepakati dalam kontrak dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kedua belah pihak dapat membatalkan atau meneruskan kesepakatan sebelum adanya serah terima barang atau harga (Toha, 2019).

Pandangan ulama

Dalam Islam, khususnya dalam Fiqh Syafi 'iyyah berlaku kaidah :"Asal segala sesuatu dalam (muamalah) adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya". Kaidah tidak berarti memperbolehkan semua transaksi-transaksi baru yang pada masa Rasul SAW tidak diharamkan, karena memang belum ada, akan tetapi harus dilihat "alasan hukum"nya ('illat al-hukm) mengapa sebuah transaksi diharamkan. Alasan hukum inilah ke mu dian yang dijadikan dasar pemikiran untuk memberikan hukum pada transaksi transaksi baru. Hal ini berdasarkan kaidah : "hukum tergantung pada 'illatnya"

Secara umum perdagangan dalam Islam harus didasarkan kepada :

1. Kerelaan masing-masing pihak yang melakukan transaksi

2. Tidak melakukan penyimpangan pasar, seperti ihtikar, bai' gharar, talaqqi rukban, dsb

3. Tidak mengandung riba, baik riba fadhl, maupun nasiah

4. Penjual barang benar-benar pemilik barang tersebut

5. Pada umumnya aktivitas jual beli dilakukan dengan yadan bi yadin (tunai), meskipun ada beberapa jenis perdagangan yang diijinkan untuk tidak tunai, seperti bai salam, bai mu'ajjal, dan bai istishna'

6. Uang bukan merupakan komoditas, tetapi sekedar alat tukar

7. Tidak diperkenankan harga ganda dalam perdagangan yang disebabkan oleh waktu.

Dalam istilah yang lain, dikatakan bahwa prinsip-prinsip transaksi dalam Islam yang terkait dengan muamalah (hubungan antar manusia) adalah boleh, kecuali ada sesuatu yang menjadikan haram. Misalnya ada maghrib (maysir, gharar, haram, riba, dan bathil). Selama transaksi bisnis tersebut terhindar dari maghrib, maka transaksi itu diperbolehkan. Pandangan Ulama terkait transaksi derivatif juga berangkat dari kaidah di atas "al-ashlu fi al mu'amalah al ibahah hatta yadllu al-dalil 'ala tahrimihi". Pada asalnya semua bentuk muamalah dibolehkan, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Marilah kita melihat pendapat ulama terkait berbagai model transaksi derivatif sebagai berikut.

Mudarabah Mushtarakah

Mudarabah Mushtarakah adalah bentuk akad mudarabah di mana pengelola (mudharib) menyertakan modal dan dananya dalam kerjasama investasi. Mudaharab Mushtarakah merupakan gabungan dari mudarabah dan musharakah. Transaksi ini dimunculkan untuk menjembatani kebutuhan perbankan akan transaksi mudarabah, di mana posisi nasabah bukan hanya sebagai pengelola (mudharib), tetapi juga turut berkontribusi pada modal sehingga bank bukan satu-satunya sohibul mal.

Bai' al-'Inah

Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Bai' al-Inah diharamkan karena transaksi ini mengandung suatu cara (zari'ah) untuk mele[1]gitimasi riba. Hanafi berpendapat bahwa Bai' al-Inah diperbolehkan hanya jika melibatkan pihak ketiga. Sedangkan ulama yang membolehkan Bai' al-Inah di antaranya adalah Syafi 'i dan Zahiri. Imam Syafi 'i menurut satu riwayat membolehkan Bai' al-Inah berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id dan Abu Hurairah; "Tukarkanlah kurma yang jelek dengan uang dirham, kemudian dengan uang dirham itu hendaklah engkau membeli kurma yang bagus."

Bai' Tawaruq

Tawarruq (penguangan aset) adalah jual beli aset yang dilakukan secara tangguh dengan pembeli menjual kembali aset itu secara tunai kepada pihak ketiga. Ulama yang membolehkan transaksi Tawarruq ini mempunyai dalil dari ayat ayat Al-Qur'an yang diuniversalkan dan mereka berpendapat bahwa semua transaksi jual beli itu halal (di perbolehkan), kecuali ada bukti yang kuat untuk melarangnya. Ulama dari Mazhab Hanbali, Ibn Taimiyyah, adalah salah satu yang menentang tawarruq, dan beliau mengatakan bahwa tawarruq tidak jauh berbeda dengan al-inah yang hanya bertujuan untuk mendapatkan dana segar/likuditas. Pemilik modal (penyandang dana) menjual aset nya kepada seseorang, bukan memberinya uang, untuk mendapatkan keuntungan lebih nantinya, ketika (pihak kedua) orang tersebut menjual aset itu kembali kepada penjualnya (pihak pertama), itu adalah al-inah, kalau dijual kepada orang lain (pihak ke tiga) itu ada lah tawarruq.

Bai' al-Wafa

Bai' al-Wafa adalah jual beli yang dilangsung kan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah tiba. Bai' al-Wafa adalah jual beli timbal balik atas barang yang sama dalam waktu yang berbeda sesuai kesepakatan. Di sini terjadi penggabungan antara jual beli.

Beli gadai emas

Beli gadai emas pada awalnya adalah akad gadai emas yang dilakukan oleh perbankan syariah. Nasabah tidak harus menggadaikan emas yang ia miliki di rumah, tetapi ia dapat membeli emas itu di perbankan syariah, kemudian emas yang ia beli digadaikan kembali di perbankan syariah. Setelah mendapatkan uang gadai, maka uang itu dibelikan emas lagi dan digadaikan lagi dan seterusnya. Keuntungan bagi nasabah adalah dengan satu pem[1]belian pertama, ia dapat menggadaikan emas, membeli lagi, dan menggadaikan lagi secara terus menerus. Sehingga seperti lingkaran yang tidak berujung. Sedangkan bagi perbankan adalah ia senantiasa memiliki nasabah dalam jangka yang terus-menerus

Kesimpulan

Transaksi derivatif adalah Hybrid Invesment, yaitu investasi hibrida, cangkokan dari yang asal, yang berarti transaksi-transaksi baru yang timbul sebagai bentuk penyimpangan atau pengembangan atau kekhususan dari transaksi-transaksi yang sudah mapan. Transaksi transaksi ini biasanya memiliki pola-pola yang hampir sama dengan transaksi asalnya, akan tetapi ada hal yang berbeda yang dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti tradisi, maslahah, atau yang lain. Adapun model-model transaksi derivatif di lembaga keuangan syariah adalah; model penggabungan, meliputi; mudarabah musyara kah, bai' 'inah, bai' tawarruq, bai' wafa, dan beli gadai emas, Pandangan ulama terkait transaksi derivatif didasarkan pada kaidah Al-Ashlu fi al Mu'amalah Al-Ibahah, Hatta Yadullu al-Dalil 'Ala Tahrimihi. Berangkat dari dalil ini, maka beberapa transaksi derivatif tersebut ada yang dibolehkan ulama, diikhtilafkan dan diharamkan. Pandangan ulama terkait transaksi derivatif didasarkan pada kaidah Al-Ashlu fi al Mu'amalah Al-Ibahah, Hatta Yadullu al-Dalil 'Ala Tahrimihi. Berangkat dari dalil ini, maka beberapa transaksi derivatif tersebut ada yang dibolehkan ulama, diikhtilafkan dan diharamkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun