Pengamat hubungan internasional Asrudin Azwar dalam diskusi di Gedung Joeng beberapa waktu lalu mengeluarkan statemen yang salah besar alias ngaco. Dengan yakin Asrudin mengatakan kalau berkembangnya paham radikal seperti ISIS di Indonesia karena tekanan dari pemerintahan SBY terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah.
Dalam kesempatan itu, dia menyebutkan pemerintah yang terus-menerus menekan kelompok Ahmadiyah dan Syiah, secara tidak langsung membangkitkan semangat organisasi militan untuk membasmi kelompok minoritas tersebut. Menurut dia, bisa jadi anggota Hizbut Tahrir dan NII ingin cepat wujudkan negara Islam. Mereka melihat ada harapan untuk mendirikan negara Islam melalui ISIS, maka mereka berangkat ke sana.
Padahal yang harus diketahui, HTI telah memberikan pernyataan tegas kalau mereka menolak keberadaan ISIS di Indonesia. Alasannya, ISIS dinilai telah menimbulkan ketakutan dan rasa horor bagi umat Islam. HTI juga menolak mendirikan Khilafah Islam dengan jalan kekerasan yang dilakukan ISIS, dan HTI juga menyebut ISIS mudah mencap "Kafir" kelompok Islam lainnya yang berjuang di Suriah termasuk dari kalangan Hizbut Tahrir sendiri.
Poin pertamanya adalah HTI menolak tentang adanya ISIS. Lalu kenapa Asrudin menyebut mereka (HTI dan NII) berangkat kesana (Suriah)?. HTI juga menyayangkan adanya orang-orang Indonesia yang menuju ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Apa lagi bukti yang menyebutkan kalau HTI mendukung ISIS, padahal bagian dari mereka (Hizbut Tahrir) sendiri dicap kafir oleh ISIS.
HTI juga menyampaikan kalau mereka punya sudut pandang berbeda menuju konsep negara khilafah tersebut. ISIS, ia membandingkan, berjuang lewat jihad dan peperangan untuk menegakkan khilafah. HTI menegakkan khilafah tidak dengan perang atau jihad, tapi dakwah.
Menurut Anggota Lajnah Tsaqofiah DPP Hizbut Tahrir Indonesia, M. Shiddiq Al-Jawi, HTI belum menemukan kejelasan konsep khilafah yang diperjuangkan ISIS. Konsep khilafah yang dia maksud semacam konstitusi negara, pendidikan, dan sistem politik yang gamblang. Adapun HTI, Al-Jawi mengklaim, mengantongi konsep khilafah secara detail, seperti dasar negara khilafa
Dari contoh itu saja sangat jelas menunjukkan kalau analisa dari Asrudin ngaco dan asal sebut. Dari pemahaman tentang kaitan HTI dan ISIS saja dia tidak memahami, kenapa berani menyampaikan ada kaitan dengan tekanan pemerintah. Bentuk tekanan seperti apa juga tidak jelas.
Karena saat itu perlu dipahami adalah yang bergerak meminta agar Ahmadiyah dibubarkan adalah masyarakat dalam hal ini umat Islam. Malahan saat itu pemerintah dianggap masih bersahabat dalam menangangi kasus ini, seperti yang disampaikan HTI yang mengatakan kalau pemerintah tidak tegas terhadap Ahmadiyah.
Lalu soal ucapan Asrudin yang mengatakan tekanan kepada Syiah yang dilakukan pemerintah juga ngawur. Liat saja bagaimana ucapan Wakil Menteri Agama saat dijabat Prof. Nasaruddin Umar, dia mengatakan bahwa melarang mazhab Syiah akan menjadi “masalah yang sangat serius”, dengan alasan bahwa negara-negara Muslim bahkan yang konservatif seperti Arab Saudi tidak melarang perbedaan denominasi/mazhab. Ucapan itu jelas mengatakan kalau Syiah tidak dilarang sesuai dengan keputusan MUI, apalagi ditekan oleh pemerintah.
Disebutkannya, NKRI dan kedamaian antar umat dan sesama pemeluk mazhab adalah harga mati jangan sampai negeri ini terkoyak dan berdarah-darah hanya karena perbedaan mazhab. Kita tak ingin seperti Pakistan dimana sengketa mazhab menjadi ajang baru perang saudara dan pembantaian demi pembantaian terjadi setiap hari dan pemerintah tak mampu menemukan formula yang tepat dalam menyelesaikan konflik-konflik bernuasa sektarian tersebut.
Dengan adanya contoh ini semakin membuktikan kalau ucapan Asrudin semakin ngaco. Seharusnya dengan label pengamat hubungan internasional, Asrudin menunjukkan tingkat intelektualitas. Jangan mengeluarkan pernyataan tanpa mempunyai dasar yang kuat, bukan hanya membuat masyarakat mendapatkan informasi yang keliru. Tapi juga dapat menjatuhkan kredibilitas sendiri, nanti dianggap pengamat asal bunyi (Asbun).