Apa iya Ketahanan Pangan Keluarga, yang dicerminkan oleh status ekonomi masyarakat menjadi “Akar masalah Giburkur” di Daerah??
Sebelum menjawab pertanyaan yang muncul tersebut, coba kita lihat bersama secara absolut perkiraan jumlah balita yang berstatus gizi buruk dan kurang menurut provinsinya dan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut.
Wahhh…. Di Provinsi perkiraan jumlah Balita Gizi Buruk dan Kurang ada 29.000 an – 681.000 an ?? Luarrrrr Biasaaa….!!!
Data dari laporan Komunikasi data di Direktorat Jendral Gizi dan KIA pada tahun 2013 (skrg musimnya menyebut REAL COUNT) memberikan gambaran seperti pada table di bawah.
Dari gambaran table diatas, kita lihat pada kolom “Jumlah Balita Giburkur yang Dilaporkan” dan kolom “Perkiraan jumlah Absolut Balita Giburkur” terlihat perbedaan atau selisih yang sangat signifikan. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara, dimana “jumlah Balita Giburkur yang Dilaporkan” (REAL COUNT) adalah3,558 balita dan “perkiraan jumlah absolut Balita Giburkur” (QUICK COUNT) adalah 334,362 Balita. Sehingga ada selisih sekitar: 334,362 – 3,558 = 330,804 Balita. Artinya bahwa Masih terdapat 330,804 balita Giburkur yang belum terlaporkan,sehingga di dalam penuntasan program Gizi Balita akan menjadi kendala yang sangat potensial.
Pertanyaan Logic yang muncul: (1) Dimanakah “mereka” yang tak terlaporkan itu “bersembunyi” ?? (2) Adakah kemungkinan”mereka” bersembunyi di “Balita yang tidak tertimbang” ?? (3) jika “ya,mungkin” jawabannya, lantas apa solusinya agar bisa menemukan “mereka” ??
Kemudian jika dilihat kolom “balita Giburkur di desa”, secara rata-rata di masing-masing Provinsi berkisar antara 16 Balita hingga 415 Balita. Bagaimana caranya agar Balita Giburkur tersebut bisa ditemukan ? mari kita lihat kondisi pada table di bawah.
Dengan melihat gambaran di atas dan pertanyaan-2 tsb, maka solusi yang tepat adalah MELIBATKAN UNSUR NON NAKES, seperti Kepala Desa / Kelurahan beserta aparatnya untuk bergerak bersama (Collective Action) “memburu”Balita Giburkur yang masih belum terlaporkan.
Dari gambaran table di atas terlihat bahwa jumlah balita giburkur per desa secara matematis ada yang berjumlah 16 balita hingga 415 balita. Dan jika disandingkan dengan jumlah Kader / Tomaper desa, maka terlihat 1 orang kader aktif di desa mengcover mulai dari 4 balita giburkur hingga terbanyak sekitar 347 balita giburkur. Sehingga pertanyaan logis yang muncul adalah:
1.Apakah SULIT untuk mencari dan memburu Balita Giburkur sebanyak 4-
30 Balita di desa ?? (seperti Sulsel, Sulteng, Sumbar, Jateng, Jakarta dll).
2.Untuk Balita Giburkur > 30 orang per Desa perlu dilakukan menggalakan
kembali DASA WISMA selain mengandalkan Kader. Apakah SULIT menggalakkan kembali DASA WISMA di Desa ?? atau Local wisdom lainnya ??
3.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di atas jawabannya TIDAK SULIT, maka pertanyaan lanjutan adalah: Apakah bukan KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan dari Balita Giburkur yang tak pernah Tuntas ?? Kepedulian Keluarga, Kepedulian Aparat (Nakes – Non Nakes) dan Kepedulian Masyarakat.
4.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di atas jawabannya: SULIT, maka bukankah hal ini makin menguatkan kondisi bahwa KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan Balita Giburkur di masyarakat ??
5.Apakah dengan meningkatkan KEPEDULIAN masyarakat terhadap masalah Balita Giburkur, maka Ketahanan Pangan Keluarga akan menjadi meningkat??
Demikian sekilas ulasan tentang BALITA GIBURKUR sebagai indicator Ketahanan Pangan Keluarga di Indonesia. Semoga Bermanfaat dan bisa menambah wawasan dalam rangka menyongsong Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2014. Mohon maaf jika kurang berkenan.
Salam,
Debe
“Belajar Tanpa Batas”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H