Mohon tunggu...
Didik Budijanto
Didik Budijanto Mohon Tunggu... -

saat ini bekerja di Pusat Data dan Informasi Kesehatan. sebelumnya sebagai Peneliti kesehatan di Badan Litbang kesehatan.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

4,6 Juta Balita Gizi Buruk-Kurang di Indonesia: Pertanda Ketahanan Pangan Lampu Kuningkah?

22 September 2014   19:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:56 6090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 16 Oktober 2014 nanti diperingati Hari Pangan Sedunia (HPS). Sebuah hari peringatan yang sangat penting untuk berintrospeksi. Banyak hal yang terkait dengan aspek ketahanan pangan, baik secara Nasional, Regional bahkan hingga Rumah tangga dan Individu.Salah satunya adalah aspek Kesehatan yaitu masalah Gizi Balita dan Keluarga.

Konsep ketahanan pangan yang disepakati secara internasional dalam World Conference on Human Right 1993 dan World Food Summit 1996, seperti dilaporkan oleh Saliem et al. (2005); adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu baik dalam jumlah maupun mutu agar dapat hidup aktif dan sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya setempat. Sehingga Persoalan   ketahanan   pangan   selalu   diidentikkan   dengan   munculnya kasus   gizi   buruk.   Apabila   banyak   masyarakat   yang   tidak   bisa memenuhi   ketahanan   pangannya,   maka   mereka   akan   menderita   gizi buruk.

Secara Nasional, kewajiban mewujudkan ketahanan pangan tertuang secara eksplisit dalam UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, di mana secara umum mengamanatkan bahwa Pemerintah bersama masyarakat berkewajiban mewujudkan ketahanan pangan nasional. Implementasi dari UU tersebut tertuang dalam: (i) PP Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan yang mengatur tentang Ketahanan Pangan yang mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan iklan pangan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan (iii) PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, yang mengatur tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan kewilayah Indonesia, pengawasan dan pembinaan, serta peranserta masyarakat mengenai hal-hal di bidang mutu dan gizi pangan.

Oleh karena itu, indikator ketahanan pangan rumah tangga dapat dicerminkankan melalui tingkat kerusakan tanaman, tingkat produksi, ketersediaan pangan, pengeluaran pangan, jumlah dan mutu konsumsi pangan serta status gizi (Suhardjo, 1996). Konsumsi pangan adalah salah satu subsistem ketahanan pangan yang erat kaitannnya dengan tingkat keadaan gizi (status gizi). Hal ini menyebabkan gizi merupakan faklor penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan perkembangan fisik dan mental (Departemen Pertanian Republik Indonesia, 2002).

BAGAIMANA STATUS GIZI BALITA DI INDONESIA ?

Sebagai salah satu Indikator yang mudah ditemui dan diukur dari Ketahanan Pangan Rumah Tangga, status Gizi Balita saat ini perlu mendapat perhatian yang khusus. APA PASAL???

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) th 2013 secara Nasional diperkirakan Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang sebesar 19,6 %. Jumlah ini jika dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, terjadi peningkatanyaitu dari 18,4 %. Bila dilakukan konversi ke dalam jumlah absolutnya, maka ketika jumlah Balita tahun 2013 adalah 23.708.844, sehingga jumlah Balita Giburkur sebesar 4.646.933 Balita.

Wahhhh….. Ada 4,6 Juta lebih Balita Gizi Buruk dan Kurang di Indonesia…..!!!

Apabila ditinjau menurut provinsi, terlihat ada 19 provinsi yang mempunyai proporsi lebih tinggi dari angka Nasional. Proporsi tertinggi Balita Giburkur terdapat pada provinsi Nusa Tenggara Timur (33%). Sedangkan proporsi terendah Giburkur pada provinsi Bali (13,2 %).



Selanjutnya jika dilihat berdasarkan tingkat ekonomi masyarakat, yaitu Terbawah (kuintil 1), Menengah Bawah (Kuintil 2), Menengah (Kuintil 3), Menengah Atas (Kuintil 4) dan Teratas (Kuintil 5), maka gambaran di bawah menunjukkan bahwa ada kecenderungan menurun proporsi Gizi Buruk dan Gizi Kurang seiring dengan meningkatnya tingkat ekonomi masyarakat.Akan tetapi jika kita cermati lebih jauh, tren Gizi Buruk antara tahun 2007dan tahun 2013 terjadi persimpangan di titik Kuintil 3 (Tingkat ekonomi menengah), sehingga pada kuintil 3,4 dan 5 terjadi penurunan proporsi.Artinya disini bahwa status ekonomi menengah ke atas keluarga berpotensi untuk bisa menurunkan kejadian balita gizi buruk.

1411364281793999134
1411364281793999134
Dilihat dari sudut pandang lain bahwa Balita Gizi Buruk bukan hanya terjadi pada masyarakat / keluarga dengan status ekonomi kurang saja namun juga terjadi pada keluarga / masyarakat dengan status ekonomi menengah ke atas meski ada kecenderungan lebih sedikit. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi akar permasalahan Balita Gizi Buruk / Kurang jika kejadian tersebut di semua level status ekonomi keluarga/masyarakat???

14113643821004154280
14113643821004154280
Wahh….. kalau terjadinya Balita Gizi Buruk dan Kurang di semua level status ekonomi keluarga/masyarakat, lantas apa akar masalahnya ??

Apa iya Ketahanan Pangan Keluarga, yang dicerminkan oleh status ekonomi masyarakat menjadi “Akar masalah Giburkur” di Daerah??

Sebelum menjawab pertanyaan yang muncul tersebut, coba kita lihat bersama secara absolut perkiraan jumlah balita yang berstatus gizi buruk dan kurang menurut provinsinya dan jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut.

1411364429348666001
1411364429348666001
Dari table diatas terlihat bahwa jumlah absolut Balita Gizi Buruk dan Kurang di masing-masing provinsi berkisar antara 29.000 an hingga 681.000 an. Sebuah kondisi yang memang sangat perlu segera di tindak lanjuti. Jumlah absolut di atas merupakan angka perkiraan di populasi, karena hasil sampling dalam riset. (skrg musimnya menyebut QUICK COUNT). Lantas apakah selama ini tidak terlaporkan??

Wahhh…. Di Provinsi perkiraan jumlah Balita Gizi Buruk dan Kurang ada 29.000 an – 681.000 an ?? Luarrrrr Biasaaa….!!!

Data dari laporan Komunikasi data di Direktorat Jendral Gizi dan KIA pada tahun 2013 (skrg musimnya menyebut REAL COUNT) memberikan gambaran seperti pada table di bawah.

1411451186876786431
1411451186876786431

Dari gambaran table diatas, kita lihat pada kolom “Jumlah Balita Giburkur yang Dilaporkan” dan kolom “Perkiraan jumlah Absolut Balita Giburkur” terlihat perbedaan atau selisih yang sangat signifikan. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara, dimana “jumlah Balita Giburkur yang Dilaporkan” (REAL COUNT) adalah3,558 balita dan “perkiraan jumlah absolut Balita Giburkur” (QUICK COUNT) adalah 334,362 Balita. Sehingga ada selisih sekitar: 334,362 – 3,558 = 330,804 Balita. Artinya bahwa Masih terdapat 330,804 balita Giburkur yang belum terlaporkan,sehingga di dalam penuntasan program Gizi Balita akan menjadi kendala yang sangat potensial.

Pertanyaan Logic yang muncul: (1) Dimanakah “mereka” yang tak terlaporkan itu “bersembunyi” ?? (2) Adakah kemungkinan”mereka” bersembunyi di “Balita yang tidak tertimbang” ?? (3) jika “ya,mungkin” jawabannya, lantas apa solusinya agar bisa menemukan “mereka” ??

Kemudian jika dilihat kolom “balita Giburkur di desa”, secara rata-rata di masing-masing Provinsi berkisar antara 16 Balita hingga 415 Balita. Bagaimana caranya agar Balita Giburkur tersebut bisa ditemukan ? mari kita lihat kondisi pada table di bawah.

1411364549646945605
1411364549646945605

Dengan melihat gambaran di atas dan pertanyaan-2 tsb, maka solusi yang tepat adalah MELIBATKAN UNSUR NON NAKES, seperti Kepala Desa / Kelurahan beserta aparatnya untuk bergerak bersama (Collective Action) “memburu”Balita Giburkur yang masih belum terlaporkan.

Dari gambaran table di atas terlihat bahwa jumlah balita giburkur per desa secara matematis ada yang berjumlah 16 balita hingga 415 balita. Dan jika disandingkan dengan jumlah Kader / Tomaper desa, maka terlihat 1 orang kader aktif di desa mengcover mulai dari 4 balita giburkur hingga terbanyak sekitar 347 balita giburkur. Sehingga pertanyaan logis yang muncul adalah:

1.Apakah SULIT untuk mencari dan memburu Balita Giburkur sebanyak 4-

30 Balita di desa ?? (seperti Sulsel, Sulteng, Sumbar, Jateng, Jakarta dll).

2.Untuk Balita Giburkur > 30 orang per Desa perlu dilakukan menggalakan

kembali DASA WISMA selain mengandalkan Kader. Apakah SULIT menggalakkan kembali DASA WISMA di Desa ?? atau Local wisdom lainnya ??

3.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di atas jawabannya TIDAK SULIT, maka pertanyaan lanjutan adalah: Apakah bukan KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan dari Balita Giburkur yang tak pernah Tuntas ?? Kepedulian Keluarga, Kepedulian Aparat (Nakes – Non Nakes) dan Kepedulian Masyarakat.

4.Apabila nomer 1 dan 2 tersebut di atas jawabannya: SULIT, maka bukankah hal ini makin menguatkan kondisi bahwa KEPEDULIAN sebagai akar permasalahan Balita Giburkur di masyarakat ??

5.Apakah dengan meningkatkan KEPEDULIAN masyarakat terhadap masalah Balita Giburkur, maka Ketahanan Pangan Keluarga akan menjadi meningkat??

Demikian sekilas ulasan tentang BALITA GIBURKUR sebagai indicator Ketahanan Pangan Keluarga di Indonesia. Semoga Bermanfaat dan bisa menambah wawasan dalam rangka menyongsong Hari Pangan Sedunia 16 Oktober 2014. Mohon maaf jika kurang berkenan.

Salam,

Debe

“Belajar Tanpa Batas”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun