Dan Azza pun berangkat ke Jakarta, kuantarkan dengan doa dan kulepas di stasiun Lempuyangan dimana titik kita berawal.
***
Tiba-tiba dalam hati bertanya/ Sedang apa dan dimana dia/ Masihkah dia menyimpan rasa/ Masihkah dia menyimpan rasa, oh
Rasa ini tiba-tiba ada/ Setelah sekian lama kita berpisah/ Atau mungkin memang masih ada rasa/ Semoga dia rasakan yang sama
Di awal-awal, hari baru Azza di tengah hiruk pikuk Ibukota, kami berkomunikasi dengan BBM dan telpon. Dengan media ini, berlangsung sangat sering. seperti makan, tiga kali sehari. Keadaan kami berjalan selama beberapa bulan.Â
Dengan kesibukan Azza yang bertambah dan didukung tumpukan pekerjaanku di Solo, maka komunikasi kami mulai berjarak. Harian jadi pekanan. Bak dua merpati yang hadir  di akhir pekan. Dimana pekerjaan telah selesai dan kepenatan itu perlu dilepaskan. Dengan media sosial, kami pun berbincang. Tak ada kuliner yang menemani, tak ada hidangan tersaji.
Pembicaraan virtual pun kita jalani. Perjalanan kasih menghambar. Komunikasi pun bergeser hanya bertukar kabar, berbaku cerita, berkirim gambar. Hari-hari kami dilalui dengan membaca status medsos masing-masing.Â
Greget hubungan kami mulai memudar, menjadi canggung serta kemudian mengasing. Aku dan Azza merasa lain dan beda.Â
Tiba-tiba kami sepakat untuk mengakhiri.
***
Hari ini tak terasa telah sebelas tahun berlalu. Semenjak kita tuntasi jalinan ini, aku tak tau kamu dimana, Azza. Mentari pagi menarik diriku tiba-tiba, seakan sinarnya mengajak memutar waktu yang sama di kala itu. Hembusan angin di belakangku mendorongku masuk di gerbong yang sepi. Sikuku tak perlu membuka jalan dan tak ada memar biru tanda luka luar di pipimu, Azza.Â