Sworo angin/ Angin sing ngreridu ati/ Ngelingake sliramu sing tak tresnani/ Pengen nangis/ Ngetokke eluh neng pipi/ Suwe ra weruh/ Senajan mung ono ngimpi
Menu yang kita pilih, pecel rawon, makanan khas ujung timur pulau Jawa. Kuliner dari masyarakat yang memang suka dengan masakan yang dicampur-campur dan memadukan cita rasa yang pas. Pecel rawon dengan rasanya masing-masing dan tak dominasi. Pecelnya di cita rasa sambal kacang dan rawon menang di rempah kluwek. Menu pilihan yang menunjukkan kesamaan dengan sifatmu, berpadu dua sifat bercampur-campur tapi tak dominan. Suapan terakhir sang pecel ini, menu malam itu, awal mula petualangan pembicaraan kita. Obrolan yang tak berpangkal, tak ada judul, tanpa tema. Ngalor ngidul bincang kita malam itu.
Adu kata, baku kalimat, di warung pecel rawon berpindah hingga Ketapang Indah. Tempat asri pinggir pantai dengan bangunan joglo. Masa lalu hingga masa depan, terus bertalu dalam bicara. Sambung menyampung, topik remeh hingga cerita berbobot. Dari hiruk pikuk, lalu lalang orang, ocehan meracau mengalahkan deburan ombak. Hingga hening suasana, diselingi suara jengkering yang mengekrik.....krik....krik....krik. Tapi energi tuk bersuara tetap terjaga. Kadang diselingi tawa, senyum beradu jadi satu. Burung hantu pun ikut menemani kami, sampai tak terasa keluruk ayam jago, menghentikan sejenak kata kita. Deburan ombang kembali terdengar disapu angin laut, Angin sing ngreridu ati.
***
Ngalemo/ Ngalem neng dadaku/ Tambanono roso kangen neng atiku/ Ngalemo/ Ngalemo neng aku/ Ben ra adem kesiram udaning dalu
Manjamu, kala itu. Merajuk, merengek dan meminta. Kamu yang aleman jadi nyaman, aman dan punya perlindungan. Awalnya hanya mandirimu yang kau punya, sepak-terjangmu juga beranimu yang kau pegang. Aral melintang pun kau terjang. Betapa perempuan yang punya mau dan punya asa, yang kutau. Tak ada hal yang kamu lewati, wanita gagah yang tak buncah. Namun ternyata ada sisi lemah yang sembunyi. Perajuk dibungkus sikap ekstrovet, alem ditutup berdikari. Itulah kamu.
Ngalemo/ Ngalemo neng aku, potongan lagu ini, tunjukkan sifatmu yang terdalam yang tak tampak kasat mata. Semua hal yang awalnya kukenal tentangmu, faktanya beda setelah dekat denganmu. Kuat ditutupi lemahmu, kerasmu benteng dari lemahmu, Candang hanya casing bimbang. Dua hal sisi mata uang yang ada pada dirimu. Aku yang akan bersandar ke tiang yang kuat malah aku yang jadi sandaran. Tambatan kuat yang kuharap bertemu dengan liak-liuk pancangan yang mudah tercabut..
***
Banyu langit/ Sing ono nduwur kayangan/ Watu gedhe/ Kalingan mendunge udan/ Telesono/ Atine wong sing kasmaran/ Setyo janji/ Seprene tansah kelingan
Ketapang, sudah direkuh. Dari perjalanan yang panjang, kita sudah sampai di ujung timur pulau ini. Kelak kelok jalan, naik dan turun hingga Ketapang. Ketapang, di persimpangan jalan. Kan seberang atau naik ke Ijen. Dua pilhan yang indah. Sepanjang malam, dari dua pilihan kemana-mana hingga kembali ke dua cabang ini. Tak ada putusan, seakan ada watu gede yang menutup percabangan ini. Semua menggantung.
Rintik hujan berbalut embun pagi. Angin meniup, dingin pun menusuk tulang hingga kelingking. Penyeberangan Ketapang di depan mata, berkabut, kapal terlihat samar di depan. Tetes hujan itu belum reda. Basah, titik air memantul di jalan. Gelombang berpedar di genangan. Waktu menunjukkan tujuh lebih tujuh, merah keabuan menuju biru keabu. Tipis mendung masing bergelayut, seperti kamu ngalem neng dadaku. Kita belum memutuskan akan kemana, kalingan mendunge udan.
***
Ademe gunung merapi purba/ Melu krungu swaramu ngomongke opo/ Ademe gunung merapi purba/ Sing neng langgran Wonosari Yogjokarto
“ke Ijen, yuk”, tiba-tiba kamu memecahkan keheningan, “blue fire yang ingin kulihat”. Keputusan yang tak kunyana. Di tengah gerimis, dan di ujung pelabuhan. Kukira kamu akan memutuskan menyeberang. Gilimanuk hanya 45menit perjalanan ke seberang sana. Dan kita telah berdiri di pinggir pelabuhan. Pilihan yang tak kuduga, di saat kita sudah di pinggir pantai sejak malam. Kubayangkan kawah berwarna hijau-kebiruan terbentang luas di hadapanku. Asap putih menyembul dari permukaannya. Bau belerang yang menusuk, akan kubau. Bayangan perjalanan terjal ke gunung itu.
“Masih ada waktu”, kataku, “kita bisa santai di sini siang ini”. Tujuan kita ke Paltuding, letak Kawah Ijen. Dari beberapa orang yang kutanya, memang perjalan dimulai malam. “Kita berangkat malam”, aku timpali, “jam sebelas malam”. Angin malam, angin gunung, kuperkirakan akan menemani malam kita.
Ademe gunung merapi purba/ Melu krungu swaramu ngomongke opo/ Ademe gunung merapi purba.
Suara dering telepon, membuyarkan lamunku. Dering itu untuk kamu, dan kamu angkat telepon.
“Aku harus kembali, dengan pesawat hari ini”.
“Antar ake ke blimbingsari”, pintamu, “aku cari tiket pulang”.
Aku tak tau kenapa tiba-tiba kau ingin pulang.
“Aku antar”, jawabku lemas, tanpa banyak tanya apa alasanmu. Akhirnya kita bergegas ke bandara. Ternyata masuk daftar tunggu untuk keberangkatan hari ini.
“Kita tunda sehari, lusa aku kembali ke blambangan”, janjimu.
Kutanggapi dengan dingin.
***
Janjine lungane ra nganti suwe suwe/ Pamit esuk lungane ra nganti sore/ Janjine lungo ra nganti semene suwene/ Nganti kapan tak enteni sak tekane
Tepat pukul tiga. Aku sudah menunggu di Bandara Blimbingsari. Semenjak kamu berangkat, aku tak berniat untuk menghubungimu. Yang kupegang adalah tiket penerbangan pulang-pergimu.
Dan 30 menit lagi pesawat akan landing. Kutunggu di pintu keluar, seperti janji dan tiketmu. Memang tak ada telepon juga kirim pesan. Tak ada berita yang kuterima setelah kamu terbang. Penumpang pertama pun keluar, dengan ranselnya. Penumpang kedua, ketiga, keenam, ketujuhbelas.... Batang hidungmu belum juga tampak.
Setelah lebih satu jam menunggu.
“Itu penumpang terakhir’, kata satpam yang kutanya.
Kamu tak beri kabar. Kenapa batal. Janji terbang kembali ke blambangan, sekadar janjimu.
Hujan tiba-tiba turun.Biarkan rintik ini, “biarkan ia dinginkan panas hatiku’, gumamku dalam hati.
Kucoba hubungimu, namun hanya nada panggil tanpa jawab. Semakin basah bajuku dihujani banyu langit.
***
Udan gerimis/ Telesono klambi iki/ Jroning dodo/ Ben ra garing ngekep janji/ Ora lamis…/ Gedene nggonku nresnani/ Nganti kapan aku bisa lali
Khayalan dingin menusuk tulang. Pendaki yang bersiap mendaki, tapi terhalang janji. Medan tanah berpasir, batuan terjal, hanya impian. Apalagi blue fire, semburan api biru dari kawah Ijen. “Ini hanya satu setelah Islandia”, katamu terngiang.
Ademe gunung merapi purba/ Melu krungu swaramu ngomongke opo/ Ademe gunung merapi purba/ Sing neng langgran Wonosari Yogjokarto
Janjine lungane ra nganti suwe suwe/ Pamit esuk lungane ra nganti sore/ Janjine lungo ra nganti semene suwene/ Nganti kapan tak enteni sak tekane
Banyuwangi, Seakan di Ketapang Indah bertahun lalu, seruput kupi osing dengan Didi Kempot
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H