Tak kusangka, kamu si bando abu-abu pun, memuju kafetaria yang sama, meski tak bersama. Kelihatannya kamu menunggu dan membunuh waktu, dugaku. Karena kafetaria di pojok dekat mushola, tak terlalu luas.
Kamu akhirnya duduk tepat di depanku, di meja yang sama. Kucoba untuk membuka obrolan, memang kamu sedang menunggu penjemput yang akan mengantarkanmu ke tempat menginap, Hotel Lorin.
“Aku ada proyek di Solo,” katamu, “sedang melakukan analysis of public service performance assessment di beberapa obyek layanan di kota Solo.”
Kamu datang dari Jakarta dengan pesawat udara dan menyambung dari Stasiun Maguwo ke Solo. Aku tak bertanya kenapa tak langsung terbang ke Solo.
Setelah lebih seperempat jam, kita berbicara, penjemputnya datang. Dan kamu pergi meninggalkan berbagai cerita. Umah, kamu mengenalkan diri sebagai kata pisah di akhir perkenalan. Dan, kita pus berpisah di stasiun itu.
Ning Stasiun Balapan/ Kuto Solo Sing Dadi Kenangan
***
Aku berusaha untuk menghubungimu. Berkali kutelpon dan kirimkan pesan. Namun tetap tak ada jawab. Janji Lungo Mung Sedelo/ Malah Tanpo Kirim Warto/ Lali Opo Pancen Nglali/ Yen Eling Mbok Enggal Bali. Aku tak tau maksudmu, kamu tak berikan respon. Apa maksudmu, ku tak mengerti.
Kuingat, beberapa kali kuungkap rasa. Satu, dua, hingga lima. Telah kuketuk lima kali setelah pintumu terbuka. Menghujam saat ada celah. Tak bereaksi dan tak bersenyawa. Hanya diam terkatub. Aku ketuk kalbumu berkali. Apakah ini jawabmu atas tarian hasratmu.
Ning Stasiun Balapan/ Kuto Solo Sing Dadi Kenangan/ Kowe Karo Aku/ Naliko Ngeterke Lungamu
Jakarta, 29 Juni 2020 (Dari pesanmu, teringat Didi Kempot)