Janji Lungo Mung Sedelo/ Jare Sewulan Ra Ono/ Pamitmu Naliko Semono/ Ning Stasiun Balapan Solo
Alunan sedih mendayu. Rasa kangen melintas pada suatu masa ketika ada rindu. Bak batu bebani kalbu. Lagu diputar kembali saat mengenang kepergian Didi Kempot, sang pencipta tembang ini di Kafetaria, tempat kita pertama bertemu.
Bak memutar waktu hampir sepuluh tahun yang lalu, saat kita ketemu terakhir di stasiun itu. Karena proyekmu, kamu sering datang ke kota batik ini.
Pekerjaanmu membuat rajutan hati. Setahun kerjamu, buat hatiku tertambat dan hubungan kita kian lekat. Di Balapan, kamu berjanji untuk kembali, karna kerjamu masih belum paripurna.
“Tunggu aku, mas,” katamu, “aku ke Jakarta sebentar, kantor memanggilku. Aku pasti merindumu, masku,” kata terakhir yang kau ucap sebelum kereta itu berangkat.
Perlahan Kereta Argo Lawu melaju, berjalan menuju semburat senja merah memudar. Oranye seakan ditelan hitam gelap malam. Warna senja sore itu, lain dari biasanya. Guratan indah sekaligus sendu.
Hatiku resah dengan pergimu tapi kuhalau itu. Di saat kehadiranmu memberikan arti bagi hidupku. “Bagai rembulan sebelum fajar tiba, kau selalu ada walau tersimpan di relung hati terdalam’, hiburku atas resahku, “ku melintas pada suatu masa ketika ku menemukan cinta.”
***
Di Stasiun Balapan ini mengingatkan pada saat kita bertemu pertama kali. Satu jam, perjalanan di kereta api prameks. Stasiun Lempuyangan, aku mulai perjalanan. Tak lama berjalan, di stasiun berikut, kulihat kamu naik kereta. Membawa kopor biru keungu, itu yang membedakan dengan pelaju lain.
Dan saat di gerbong itu, kamu berbando abu-abu dengan rok biru tua. Ku bertemu pandang setelah tak lama kutatap kamu. Meski tak begitu jauh, tetapi kepadatan menghalangiku tuk membuka pembicaraan.
Dibasahi peluh dan keringat, perjalanan yang sesak ini akhirnya sampai pada tujuanku. Pertama yang kukejar adalah kafetaria tempat minuman dingin dijajakan, karena terasa kering kerongkonganku didesak oleh penuh sesak.