Mohon tunggu...
Dea Nida Dewi
Dea Nida Dewi Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa Universitas Pamulang & Tax Compliance Perusahaan Sawit

Suka merenung sambil jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Genosida sebagai Pelanggaran HAM

21 Mei 2022   18:19 Diperbarui: 22 Mei 2022   10:15 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembantaian Kararas

Banyak sekali pelanggaran HAM di masa Orde Baru mulai dari orang hilang hingga pembantaian. Sudah banyak kasus-kasus HAM yang sudah dijelaskan dengan baik di pertanyaan ini maupun di pertanyaan lain. Oleh karenanya, Saya akan menjelaskan pelanggaran HAM yang jarang diketahui.

Perilaku Tentara Indonesia yang melecehkan perempuan Timor dan membunuh warga sipil membuat Hansip membelot ke Falintil. Pada tanggal 8 Agustus 1983, dialog gencatan senjata berakhir dengan serangan Falintil-Hansip kepada pasukan TNI di Kampung krakas dan menawaskan 14 prajurit. Pertempuran ini membuat warga Desa Kraras mengungsikan diri ke desa tetangga, hutan hingga kota Viqueque.

Sebagai pembalasan, Pasukan Indonesia memasuki Desa Krakas yang sudah kosong dan membakar hampir semua rumah dan ternak-ternak. Warga sipil yang masih bertahan di Desa Krakas bahkan nenek-nenek juga tak luput dari pembantaian. Mayat mereka ditinggalkan begitu saja kemudian di bakar.

Daerah sekitar juga tidak dapat dihindarkan dari serangan di Krakas. Para Penduduk Krakas yang melarikan diri dan ditangkap oleh Tentara dibawa ke Kota Viqueque. Sebagian dari rombongan tersebut dibawa ke Desa Caraubalau spesifiknya di suatu Welamo. Setibanya disana, mereka diperintahkan untuk berdiri di lubang dan mengeksusi rombongan tersebut. Korban pembantaian mulai dari Laki-Laki dewasa, perempuan hingga bayi. Seorang saksimata menjelaskan kejadian berikut.

Tiga orang Hansip berjalan di depan dan anggota tentara mengelilingi kelompok orang sehingga tidak satu orang pun bisa melarikan diri. Kami mulai berjalan sekitar pukul 3 sore dan tiba di satu tempat di gunung sekitar pukul 4 sore. Kami duduk dan tentara mengelilingi kami supaya tidak ada yang lari. Kemudian datang tentara Indonesia lagi.

Rombongan Pengungsi dari Desa Krakas yang melarikan diri terutama yang laki-laki di Desa Buicaren ditangkap oleh Tentara kemudian digiring ke sebuah tempat bernama Tahubein. Setibanya disana, mereka langsung dieksekusi.

Eksekusi mati juga terjadi di daerah lain seperti Kaijun Laran, Mali Aba Ulu, dan Kaken Kilat.

Para pengungsi yang berhasil menyelamatkan diri kemudian dipisahkan. Yang laki-laki dibawa ke Penjara Atauro, Cipinang,dan Kupang. Dari 69 tahanan yang dibawa ke Penjara Penfui, Kupang, hanya 14 orang yang berhasil kembali ke Timor Leste. 

Penangkapan sewenang-wenang juga terjadi di Kota Viqueque dan daerah sekitarnya kepada para laki-laki yang dituding terlibat dalam serangan Kraras.

Wanita dipaksa pindah ke sebuah tempat tandus dan gersang, Lalerek Mutin. Kondisi Lalarek Mutin jauh dari kata layak. Seorang kepala desa Lalarek Mutin menggambarkan situasi desa tersebut.

Sebagai dampak dari pembantaian tersebut, Daerah Kraras dikenal dengan julukan "Kampung para Janda". [2]Pada tahun 2009, Kepolisian PBB memulai investigasi pembantaian tersebut.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa Pelanggaran HAM adalah “Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”

Pelanggaran HAM tidak hanya dalam bentuk tindakan langsung seperti kekerasan, penganiayaan, pembatasan hak, diskriminasi atau hukuman sewenang-wenang. Pelanggaran HAM juga dapat dalam bentuk aturan hukum atau kebijakan yang secara substansi mengandung unsur-unsur mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia. Bahkan dalam Pedoman Maastricht 12 (1997) pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor non negara (seseorang, kelompok orang, pejabat publik, korporasi, dll) tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab negara pula dalam penyelesaiannya, dalam hal ini negara berkewajiban untuk menerapkan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM tersebut menurut aturan hukum yang ada. Jika Negara tidak mau atau tidak beritikad baik (unwilling) untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya tersebut maka Negara telah melakukan pelanggaran HAM. Di sisi yang lain, individu dapat dinyatakan melanggar HAM namun penyelesaiannya menggunakan mekanisme hukum yang berlaku baik pidana maupun perdata.

Sumber :

Chega: Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi [CAVR] di Timor-Leste Volume I

Companion to East Timor - Massacres in the 1980s

Prabowo dan Kampung Janda

Buku Pendamping Guru dalam Pembelajaran HAM 2017

Penulis (Dea Nida & Dinda Sabilah)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun