Seperti pengakuan salah seorang teman yang ikut serta dalam diskusinya "Saya menangis ketika selesai membaca kisah Konkichi, sedih sekali apa yang ia lakukan pada orang tuanya".
Pada sebuah cerita, persoalan esensi manusia diangkat dengan cerdik melalui tokoh-tokoh binatang yang bertingkah laku seperti manusia.Â
Melalui analogi ini, cerita menyampaikan bahwa manusia, pada dasarnya, memiliki naluri kebinatangan yang dapat menguasai dirinya. Naluri ini dapat menyebabkan manusia kehilangan esensi kemanusiaannya.Â
Konkichi, salah satu tokoh dalam cerita, adalah contoh sempurna dari fenomena ini. Ia digambarkan sebagai makhluk yang begitu rakus, hingga kerakusannya mengikis esensi kemanusiaan yang seharusnya ia miliki saat sudah jadi manusia. Rakusnya Konkichi menjadi cerminan dari sisi gelap manusia yang bisa muncul jika tidak dikendalikan.
Di lain kisah, Dankichi selalu menggunakan akal budi dalam bertindak. Anak-anak adalah harapan masa depan. Ia menghadapi pilihan sulit: memilih kawanannya mati perlahan karena kesakitan atau mati secara cepat bersama-sama.Â
Bagi beberapa orang, menjemput harapan terasa seperti perjalanan yang tak berujung. Bagi yang lainnya, kehilangan harapan berarti kehilangan makna hidup. Melalui suara anak, yang membawa harapan, kisah Dankichi mengajarkan bahwa harapan itu perlu diperjuangkan, diusahakan.
Secara umum, teman-teman mendiskusikan kisah-kisah dalam buku ini dengan antusias, tak terasa menit demi menit berlalu.Â
"Menurut saya, hal yang menarik dari pertemuannya ada ide atau gagasan yang diberikan setiap individu. Saya banyak belajar dari pertemuan tadi walaupun hanya 45menit tapi sangat bermakna," ungkap seorang kawan.
Mendengar teman-teman saling berbagi, membuat saya senang sekaligus jadi teringat pesan Gres tadi.Â
"Kak, kita harus buat lagi bulan depan"- jika buat lagi bulan depan, teman mau ikut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H