Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengenang Guruku Yance Rumbino

26 Juni 2024   15:26 Diperbarui: 11 Juli 2024   12:11 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melebur diri ikut berlari mengejar bola. Melupakan sejenak tensi lomba yang akan segera saya masuki. Begitu seru berlari, suara menggelegar “Dayu! Ko stop!” hardik Pak Rumbino. Tentu saja tiada alasan ia tak kesal melihat saya malah bermain bola. Bukannya konsentrasi ikut lomba cerdas cermat.

Selanjutnya tentu saja saya diperingati untuk konsentrasi, tak akan ia masukkan di tim bola sekolah. Sedih dan kesal apa daya, tepung sagu sudah jadi papeda. Buat saya cerdas cermat itu keisengan semata. Karena tiap hari rajin bermain bola di kompleks P dan K bersama teman-teman, maka saya yakin betul akan jadi Maradona di masa depan. “Aduh, memang e.”

Sekelumit ingatan itu untuk mengenang guru kami, Pak Yance Rumbino. Sosok beragam bakat yang pernah mendidik kami. Ia menjadi inspirasi tidak hanya bagi sekolah kami, juga banyak orang yang disentuh melalui lagunya. Saya pun merenung, guru yang sudah puluhan tahun lalu mengajar diri ini, tetapi kesannya masih sangat kuat. Guru yang inspiratif, juga berkelas.

Setiap mendengar lagu “Tanah Papua” dinyanyikan, mata berair, hati bergetar. Itu bukan semata karena liriknya. Berkali-kali saya mengingatkan diri sendiri…itu bukan karena liriknya, bukan itu semata. Begitu menyanyikan lagu tersebut, ingatan akan teman, guru-guru, serta sekolah seolah tiba-tiba hadir. Begitu berkesan. Mata memerah, air mata mengalir.

Pagi tadi seorang teman mengirimkan pesan tentang kepergianmu. Pesan yang membawa ingatan ke masa saat bersekolah dulu. Ketika musim buah kapuk matang di tanah lapang sebelah sekolah, angin sepoi meluruhkan serat-serat kapuk. Serat itu beterbangan.

Serat-serat putih yang jatuh ke tanah bagai salju. Buah-buah kapuk matang yang jatuh. Terbelah. Di antara biji yang menyeruak serangga-serangga berwarna jingga bercak kehitaman mencari jalan keluar.

Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pohon_Randu_Atau_Kapuk_kapas_Di_Poncowarno_Kebumen_Jateng_Indonesia.jpg 
Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Pohon_Randu_Atau_Kapuk_kapas_Di_Poncowarno_Kebumen_Jateng_Indonesia.jpg 

Ingatan yang membawa kebahagiaan, lagumu telah menginspirasi banyak orang. Lagu tentang Papua penuh pesona. Walau mungkin karena pesonanya, Papua kita selalu berada di tengah beragam persoalan.

Lagu yang turut menjadi sebuah oase akan kecintaan pada Tanah Papua, yang diupayakan menjadi tanah damai bagi kita semua. Pak guru lagumu abadi, akan dinyanyikan di Tanah Papua sepanjang masa.

Saya pun membayangkan para malaikat saat ini sedang berdiri dalam barisan dipimpin Bapa di surga yang menjadi dirigen. Mereka tengah bersiap menyanyikan lagumu, menyambutmu.

“Sio ya Tuhan, terima kasih”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun