Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Resep Menulis Esai Beasiswa (LPDP)

15 September 2023   09:54 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:15 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Dalam seleksi beasiswa, kita hadir lewat isian registrasi & esai. Isian dan esai itu harus mampu berargumen, berkelahi menjelaskan diri kita dengan baik pada reviewer.”

Ketika mendaftar sebuah beasiswa, kita hadir secara tidak langsung lewat isian registrasi serta esai yang dijawab dengan argumentasi masuk akal, didukung oleh data, fakta, juga alasan penguat. Jika kita ada di sana, tentu saja kita akan berkomunikasi secara langsung. Isi pemikiran dapat dimengerti oleh pendengar melalui suara kita, medium gerak tubuh dan intonasi. Tetapi mulanya, kita tak hadir secara langsung. Mengutip gagasan Roland Barthes, seorang penulis mati dalam tulisannya. Oleh karena itu, tulisan harus kita organisasi secara baik, sehingga ide kita dapat dimengerti oleh pembacanya, yaitu reviewer.

Bayangkan saja jika kita mengisi pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan tergesa-gesa, pendek-pendek, klise, ditambah paragraf tidak saling terhubung. Lebih buruk lagi, terdapat kesalahan ejaan lapis typo di sana-sini. Mamayo!

Sekali lagi, jika Anda adalah seorang reviewer dan ditugaskan membaca esai-esai dan menyeleksinya, apa yang ada di benak ketika membaca esai dengan jawaban serampangan, asal jawab saja, tambah-tambah kalimat biar sesuai acuan jumlah kata? Apakah Anda akan meloloskan berkas itu sampai tahap selanjutnya, dan mengundang orang tersebut dalam diskusi seru serta menyenangkan. Atau malah langsung mengabaikan berkas itu?

Ketika menjadi reviewer, tentu saja berkas-berkas itu akan sobat baca dengan seksama, dan perhatikan betul jawaban-jawabannya. Tebakan saya, sobat akan mencari jawaban-jawaban paling sesuai dengan pertanyaan. Jawaban dibangun dari argumentasi yang masuk akal, saling terhubung, sehingga ide utama dan gagasannya dapat diikuti dengan jelas. Begitu menemukan jawaban demikian, sungguh mati, besar kemungkinan Anda akan melanjutkan membaca hingga akhirnya mencapai sebuah aha momen, “Ah, mantap sampe, ayo kita undang dia untuk wawancara.”

Menulis, terutama dalam dunia akademik menjadi salah satu hal penting dalam mengungkapkan gagasan. Salah satu contohnya adalah dalam penelitian tingkat sarjana dan harus disampaikan dalam bentuk penulisan ilmiah seperti skripsi. Atau artikel akademik, sampai ke penelitian mini melatih berpikir kritis sekaligus ilmiah. Menulis sekali lagi menjadi kecakapan penting, karena tulisan akan menjadi alat komunikasi dalam dunia akademik serta dapat dituangkan dalam berbagai tugas seperti resume, esai, penulisan jurnal, dan lain sebagainya.

Sumber: canva.
Sumber: canva.


Walau begitu, kita punya masalah mendasar terkait persoalan menulis. Sependek pengalaman saya mendampingi teman-teman muda dari berbagai daerah di Indonesia Timur, sa menemukan bahwa banyak merasa kesulitan menemukan gagasan, ide sampai mengembangkan gagasan menjadi sebuah tulisan utuh, runtut dan saling terhubung. Kebanyakan menulis antara pertanyaan dan jawaban, terasa jauh ujung pangkalnya. Menulis adalah kelanjutan dari membaca. Jika kemampuan membaca kita baik, hal ini akan berdampak pada kemudahan dalam mengembangkan gagasan serta memahami hubungan antar idenya. Apakah hal ini tak kita miliki karena belum terbiasa membaca banyak buku (sastra misalnya) sedari sekolah? Celakanya, kemampuan itu harus kita miliki, secara praktis saat mau daftar beasiswa.

Hal itu membawa banyak pertanyaan saat ada pendampingan penulisan esai beasiwa. Beberapa pertanyaan kerap ditanyakan teman-teman adalah “Apa resep menjawab pertanyaan esai beasiswa”? Secara serius saya menjawab, esai yang baik adalah sesuai antara pertanyaan dan jawaban. Itu sebabnya, pemahaman atas pertanyaan memampukan kita menjawab pertanyaan dengan tepat. Dalam hal ini, karena berkaitan dengan pertanyaan esai LPDP, maka menurut saya, kita perlu memahami dengan seksama pertanyaan “komitmen kembali ke Indonesia, rencana pasca studi dan rencana kontribusi bagi Indonesia?”

“Secara serius saya menjawab, esai yang baik adalah adanya kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban esai.”

Kalau kita bedah, pertanyaan tersebut memuat tiga hal penting yang mesti kita jawab. Pertama adalah soal komitmen kita kembali ke Indonesia, soal kedua adalah rencana selepas kuliah dan terakhir adalah soal apa rencana kontribusi kita bagi Indonesia. Pertanyaan ini sering sekali saya pahami ulang, dan mengkontekskan dengan pemahaman saya. Misalnya pada soal pertama, saya memaknainya menjadi “mengapa kita kembali ke Indonesia atau mengapa kita kembali ke tempat asal sebelum kita berangkat studi?”

Pertanyaan “mengapa” memantik beragam jawaban, tetapi pada prinsipnya dia berhubungan dengan alasan kita kembali ke sebuah tempat. Karena kuliah pada umumnya mencakup dua hal besar selain belajar untuk mendapatkan pengetahuan, juga nantinya pengetahuan itu digunakan untuk apa. Biasanya ada sebuah masalah perlu kita selesaikan, dan dengan demikian kuliah menjadi ruang belajar, mencari pengetahuan, jejaring dan bekal agar siap “bertarung” dengan persoalan itu, saat kembali ke daerah. Itu sebabnya, bisa juga persoalan, sudah kita angkat di bagian ini. Selain kita bisa menambahkannya dengan menjelaskan juga tentang latar belakang diri, keluarga, kuliah dan pekerjaan.

Soal kedua adalah persoalan tentang apa aksi kita saat sudah selesai kuliah. Tentu saja, akan sangat konsisten jika kita bisa melanjutkan aktivitas kita sebelumnya, atau memperkuat yang sudah dilakukan. Artinya bahwa ini bisa saja memperluas, mempertajam, memperbaiki, menambah atau pada pokoknya berbicara soal pengembangan aksi sebelumnya. Saya selalu melihat bahwa, semakin kita bisa menarik benang merah dari masalah sebelumnya, dan apa yang akan kita lakukan pada saat selepas kuliah, menjadi sebuah hal penting dalam penulisan kita. Pada bagian ini, aksi tersebut bisa sifatnya individual hingga berkelompok. Baik pekerjaan formal, maupun sosial.

Pada bagian ketiga, soal kontribusi bagi Indonesia, saya maknai menjadi apa dampak dari yang telah kitalakukan selepas kuliah. Manfaat dan dampak dari penguatan kegiatan atau rencana yang akan kita lakukan selepas kuliah dapat kita jelaskan di sini. Bahkan boleh saja menuliskan manfaat jangka pendek-menengah-panjang, di sisi lain bisa juga secara umum menjelaskan manfaat dan dampaknya saja. Itu juga boleh.

Secara umum, saya menganalogikan pertanyaan ini dalam kerangka yang bisa saya pahami. Dan kerangka itu adalah kerangka berpikir logis, atau logic model. Di mana ada pembagian dari input-proses-output-outcome sampai pada impact. Tentu saja, teman-teman bisa membaca lebih mendalam tentang logic model. Atau, jika minat menonton rekaman penjelasan saya, tentang esai dalam kelas bersama sebuah inisiatif beasiswa Punya Arti, bisa dilihat di sini https://www.youtube.com/watch?v=sSiYDIdcDIg&t=444s

Dalam struktur penulisan pada umumnya, terdapat pembukaan, isi, dan penutup. Setelah kita menemukan tiga jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan dalam esai tersebut, langkah selanjutnya adalah menyiapkan paragraf pembuka sebagai pintu masuk untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam esai, dan paragraf penutup sebagai kesimpulan dari tulisan kita yang merujuk pada jawaban sebelumnya.

Tentu saja, saya juga menyarankan teman-teman peserta untuk menyiapkan semacam outline dari masing-masing bagian. Outline nantinya menjadi panduan dalam penulisan. Bahkan, jika mau semakin ketat, maka setiap bagian sudah ditentukan jumlah katanya. Sehingga urutannya menjadi, buat kerangka tulisan itu menjadi struktur pembuka, isi dan penutup. Di mana setiap bagian ada jumlah maksimal kata yang kita jadikan rujukan, sebagai batasan dalam penulisan. Outline juga membantu kita melihat benang merah dari tulisan sendiri. Nyambung nggak? Kira-kira begitu.

Dalam kelas-kelas pendampingan menulis esai, kerap saya meminta peserta seolah-olah menjadi pereview esai. Sebelumnya, agar dramatis saya sampaikan bahwa mereka ini orang-orang pilihan, rata-rata bergelar doktor, dengan beragam kesibukan dan latar belakang. Juga sudah kenyang makan banyak tulisan. “Teman-teman pereviwer ini akan memeriksa banyak berkas dalam waktu tak leluasa. Jika dirasa menarik, memikat maka pemilik isian dan registrasi tersebut akan anda undang untuk seleksi selanjutnya.” Kemudian saya meminta mereka membaca jawaban-jawaban yang diisi sambil lalu, pendek-pendek, atau panjang-panjang. Jawaban yang klise serta penuh dengan paragraf tidak saling terhubung yang tak menjawab pertanyaan esai. Lebih jelek lagi, disertai dengan kesalahan ejaan, typo di sana-sini.

Dan ketika saya tanya, bagaimana menurut Anda?

Sio mamae. Mampus sudah, esaimu dikoyak-koyak reviewer.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun