Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Marmulia Siahaan: Pena di Tangan Sang Penulis

25 Mei 2022   15:05 Diperbarui: 26 Mei 2022   09:23 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Marmulia Siahaan

"Saat pertama datang, saya pikir saya akan mengajari anak-anak. Ternyata saya malah banyak belajar dari mereka. Hal itu berkesan sekali"

Marmulia Siahaan, adalah seorang guru di Bokondini. Anak Jayapura alumni Universitas Padjajaran ini merasa betul-betul dibentuk menjadi guru selama mengajar di Bokondini. 

"Karena mendapat konsep-konsep seperti konsekuen dan bukan hukuman, juga bagaimana menempatkan kaki kita di sepatu anak-anak yang bisa saja berasal dari beragam latar belakang keluarga. Mungkin ada yang tidak lengkap orang tuanya, dan yang lainnya."

Mulanya saat kuliah di Bandung, ia juga menjadi guru les untuk anak-anak di sana. Tapi selepas lulus kuliah, dia mendapatkan informasi ada lowongan kerja menjadi guru di Papua. Pertama kalinya dia diterima bekerja di Indawa.
Setelah dari sana, ia pun merasa nyaman bekerja di daerah pegunungan Papua. 

Sebuah sekolah di Bokondini menjadi tempat selanjutnya dirinya mengabdi sebagai pengajar. Dia merasa bersyukur bisa menjadi salah satu pendidik di daerah pedalaman Papua.

"Saat memutuskan mengajar di sini, saya pikir saya yang mengajari anak-anak. Ternyata setelah sampai di sini, anak-anak inilah yang mengajari saya." Dirinya, yang terpanggil mengajar di pedalaman akhirnya banyak belajar tentang karakter masyarakat Papua, juga belajar banyak dari mama-mama yang mengangkat beban berat setiap hari, dan berjuang untuk anaknya. 

"Banyak sekali yang saya dapatkan selama di sini, dan membuat mata saya lebih terbuka dibandingkan sebelumnya" lanjutnya.

Sebagai seorang guru, membaca menjadi hal penting untuknya. Walau jujur dia mengakui bahwa agak terlambat menyukai membaca. "Agak terlambat saya mulai menyukai membaca. Seingat saya waktu kelas 1 SMA. Suatu ketika, Bapaknya diberikan buku Harry Potter jilid kelima "Harry Potter dan Order of the Phoenix" oleh temannya. Bapak kemudian memberikan buku itu pada saya," ungkapnya.

Dia pun segera terbenam pada buku setebal 1200 halaman itu. Sampai habis dibacanya tiga kali. Membaca ulang menghadirkan detil cerita pada dirinya, hingga bisa berimajinasi dengan lebih baik lagi bagaimana kejadiannya, seperti apa gambaran orang-orangnya dan itu luar biasa menarik buatnya.

Dari pengalaman itu, petualangan membaca buku dia teruskan. Hingga ada dua buku yang begitu berkesan baginya, yaitu "Tuesday with Morrie" karya Mitch Albom dan "Filosofi Kopi" dari Dewi Lestari. Cerita tentang Morrie adalah sebuah kisah nyata antara mahasiswa dan dosennya. 

Rasanya banyak sekali menyentuh bagian-bagian pribadi dalam kehidupannya. Mungkin juga kehidupan teman-teman yang telah membaca buku tersebut. Dia bahkan merasa kehidupannya berubah semenjak membaca buku itu. Perubahan itu dimulai dari sudut pandanganya yang berubah. Dia merasa berpijak kembali di bumi karena begitu inspiratif ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun