Komik yang ditulis dan diilustrasi oleh anak-anak di Papua.
"Petatas adalah salah satu makanan khas dari orang Papua"
Begitu cerita Lince Degey, siswi SD Inpres VIM 2-Kotaraja, yang menulis sebuah cerita tentang Petatas atau Hipere, pada kumpulan buku komik anak-anak Papua dengan judul "Kitorang Bacarita."
Komik yang terbit pada tahun 2011 ini merupakan buah lokalatih menulis dan membuat komik yang diadakan tanggal 20-29 Juli 2011 di Abepura, Papua. Peserta yang terlibat adalah 49 orang anak Sekolah Dasar di Abepura dan sekitarnya.
Lokalatih yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Visi Anak Bangsa dan didukung oleh Freeport Peduli ini ingin mendorong terciptanya penulis-penulis masa depan Papua.
Seperti yang kita ketahui, komik merupakan salah satu bentuk berbagi cerita yang menggunakan tulisan dan gambar. Orang-orang yang membuat komik ibarat orang-orang yang sedang "berbicara" dan orang-orang yang membaca komik seperti sedang "mendengar" cerita seseorang melalui gambar dan tulisan.
Buku dengan pendekatan komik yang membuat bacaan anak berlatar Papua yang dapat kita temukan di Papua tidaklah banyak. Sependek yang saya ketahui, dapat kita temukan antara lain pada buku "Cerita Rakyat dari Sorong Selatan (Atma Jaya 2015)" yang merupakan karya dari para guru yang melanjutkan pendidikannya di Universitas Atma Jaya Jakarta dan kumpulan cerita rakyat itu diadaptasi menjadi sebuah cerita komik.
Selain itu, bisa kita lihat juga misalnya buku "Ones dan Epo (Papua Cendekia 2017)" adalah bentuk komik. Tentu saja ada buku-buku penyuluhan yang mengambil pendekatan buku komik, misalnya "Apa yang kamorang harus tau tentang Malaria (Yayasan Anak Sehat Persada) "untuk sosialisasi bahaya malaria di Bintuni. Buku "Kitorang Bacarita" menjadi buku komik lainnya yang menambah perbendaharaan buku anak dengan pendekatan komik berlatar Papua.
Membaca komik sepanjang 107 halaman dengan bagian belakang berisi foto dan biodata para penulis cilik ini, dapat kita petakan bahwa terdapat 49 cerita yang dihasilkan dari pelatihan atau lokalatih ini. Serta dapat kita bagi menjadi 10 tema besar penulisan.
Tema-tema tersebut antara lain (1) Alat Musik ; Jukulele, Fu dan Tifa. (2) Flora fauna ; Cenderawasih(2), Cenderawasih yang Terluka, Burung Cenderawasih Burung Surga, Burung Kasuari, Burung Nuri, Bia, Burung Mambruk, Biawak, Burung Kakaktua, Kuskus, Penyu, Babi Hutan. (3) Cerita rakyat ; Asal usul burung Kasuari, Asal mula Kudiai dan Tebai, Siasat Perang Caadara (2), Batu Keramat, Asal Usul Danau Sentani, Suku Hanasbey di Teluk Yotefa, Woiram, Asal Mula Burung Cenderawasih, Danau Sentani. (4) Kuliner lokal ; Petatas, Ulat Sagu, Ikan Kuah Kuning. (5) Lagu daerah ; Diru-diru nina o, Simafi, Yamko Rambe Yamko. (6) Pakaian tradisional ; Koteka. (7) Permainan anak ; Bermain Gici-gici (2), Bola Bekel, Permainan Polisi-polisi, Enggo, Bermain pecah kaleng, bermain benteng. (8) Rumah adat ; honai, karwari, kaki seribu. (9) Tarian ; Tari Selamat Datang, Lemon Nipis) dan (10) Umum ; Buah-buahan vs binatang, suku dani dan lembah baliem, tanah papua)
Dari cerita dan kisah tersebut, tema flora dan fauna, cerita rakyat dan permainan anak adalah tema yang ditulis oleh paling banyak peserta lokalatih. Tercatat ada 30 cerita yang mengambil tema ini. Sedang yang paling sedikit menjadi tema besar dalam cerita adalah pakaian dan tarian.
Selain itu, buku ini merupakan gabungan dari adaptasi cerita rakyat maupun cerita rekaan yang ditulis oleh anak-anak SD. Bukunya cetaknya sendiri menggunakan kertas luks dan cover tebal, sehingga bukunya terlihat eksklusif.
Ada beberapa hal yang dapat kita katakan sebagai simpulan membaca buku ini, antara lain misalnya tidak kita temukan daftar isi yang dapat memandu bacaan kita. Juga ada cerita yang begitu mendominasi semisal tema Cenderawasih yang sampai lima peserta menulisnya. Belum lagi ada dua judul dan isinya yang mirip, kita bisa temukan di cerita tentang "Siasat Caadara" dan "Permainan Gici-gici."
Yang juga cukup menimbulkan tanya, adalah pemilihan judul "Kitorang bacarita". Di mana rasanya dialek "bacarita" lebih dekat digunakan di daerah Manado atau juga Maluku, tetapi rasanya tidak biasa kita dengar di Tanah Papua.
Walau begitu, secara keseluruhan buku ini menarik, sebab anak-anak menjadi penulis sekaligus ilustrator dari komik ini. Sobat pembaca tentu bisa membayangkannya, menulis saja tidak mudah, apalagi bisa sekaligus mengilustrasi cerita yang dituliskan tersebut.
Beberapa peserta menulis tentang rumah adat tradisional di Papua ada Honai, juga Karwari dan Kaki Seribu dalam tiga cerita yang berbeda membuat pembaca mendapatkan gambaran tambahan betapa beragamnya rumah adat di Papua.
Penggunaan dialek melayu Papua di beberapa cerita ikut membuat cerita ini terasa begitu dekat dengan kita di Papua. Dan tak kalah penting, betapa beragamnya tema yang dituliskan dalam cerita-cerita ini.
Akhir kata, semoga sobat pembaca nantinya berkenan membaca cerita anak-anak kita ini e.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H