Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kenangan Malam Sakura di Jayapura

24 November 2021   05:09 Diperbarui: 14 Desember 2021   08:39 1280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dayu Rifanto

"Bila kau ingin jadi terbaik dalam satu bidang, jangan pernah surutkan niatmu. Hadapi semua tantangan yang diberikannya. -- Kita ini adalah apa yang dilakukan berulang kali. Karena itu, keunggulan bukanlah sebuah tindakan melainkan sebuah kebiasaan." --Malam Sakura.

Buku berjudul "Malam Sakura" ini ditulis sebagai sebuah memoar dari penulisnya, Alex Runggeary. Seorang penulis produktif yang tinggal di Mimika, dengan kemampuan menulis fiksi dan non-fiksi yang baik. Ini terlihat dari karya-karyanya, yang saya rasa, sangat penting untuk kita ketahui.

Beragam karyanya mulai dari buku fiksi yang ia tulis, antara lain The Darkened Valley (2018),Memutus Siklus (2020), Burung Murai (2020), Berpapasan dengan Kematian (2020), Penulis Pinggiran (2020) dan Drama Banti (2021), menjadi karyanya yang paling baru, dan begitu inginnya  saya membeli buku tersebut, bulan ini. 

Tetapi, sembari menulis, saya teringat buku saya yang berjudul The Darkened Valley, sedang dipinjam seorang kawan setahun ini dan belum juga kembali, duh nasib!

Sedang karya non fiksi yang ia tulis, antara lain ; Membangun Masyarakat Mandiri (2016), Teknik Menyusun Rencana Strategis (2017), Strategi Terintegrasi Membangun Papua (2017), Bernapas Dalam Air -- Teknik Renang (2019). 

Seperti yang akan jadi pembahasan kali ini, ia pun menuliskan kisah memoar tentang cuplikan pengalaman remaja dan dewasanya, yang saat dibaca, bisa membuat kita tersenyum sendiri membayangkan kejadian, kekonyolan yang dilakukannya bersama teman -- temannya. 

Tulisannya ini membuat kita punya sedikit gambaran tentang (remaja) Jayapura di awal tahun 70an. Buku itu adalah Malam Sakura-Kisah Remaja dan Persahabatan (2018)

Malam Sakura membawa kita sejenak periode waktu di tahun 1970-1974, di Jayapura. Buku yang dipersembahkan kepada teman-teman anggota sebuah komunitas bernama "de Takas" Universitas Cenderawasih (Uncen), menceritakan tentang masa muda sang penulis, saat berkuliah di sana dan ia bergabung menjadi anggota komunitas "de Takas" atau takaruang/tak becus, begitu artinya. 

Pada komunitas yang begitu berkesan dalam masa remajanya ini, ia dipanggil dengan panggilan Pak Let, oleh anggota komunitas yang berisi anak muda dari berbagai jurusan di Uncen. 

Panggilan yang membanggakan dan penuh cerita yang perlu anda ketahui tentu saja dengan membaca bukunya, itu pasti.

Sebagai sebuah komunitas, "de Takas" bersifat terbuka, bisa menerima anggota dari berbagai fakultas, semua angkatan dengan latar belakang suku, agama berbeda. 

Syarat masuknya yang longgar, juga tidak punya pengurus secara resmi, tidak berarti membuat kelompok ini pasif. Komunitas ini menciptakan legendanya sendiri, salah satunya melalui "Malam Sakura".

Sumber : Dayu Rifanto
Sumber : Dayu Rifanto

Malam Sakura
113 Halaman
Alex Runggeary
Indie Book Corner
Terbit 2018

Malam Sakura adalah sebuah malam dansa dansi, malam muda -- mudi yang berlangsung tepat di saat purnama yang begitu indah memesona. Di kala bunga -- bunga sedang bermekaran. Bunga yang pada saat itu dikenal dengan nama bunga sakura.

Malam Sakura begitu membekas bagi diri banyak orang, hingga pada pengantar buku ini kita dapat menemukan semacam testimoni "Pada pesta dansa kali ini, saya bertemu dan berkenalan dengan seorang kakak ganteng berkumis tipis dari Uncen... ia telah merebut hatiku."

Melalui memoar, kita, para pembaca diajak atau diundang untuk mengenal lapisan demi lapisan cerita sampai bisa jadi pada hal privat yang dibagikan oleh sang penulis, dan dari tulisan ini kita menjadi lebih mengerti tentang Alex Runggeary, yang menyebut dirinya sebagai Si Buta dari Gua Hantu.

Sebab, hanya satu matanya yang berfungsi baik, sedang yang satunya lagi hanya mampu menampilkan gambar -- gambar kabur. Dan ia, dengan sangat yakin merasa telah membaca lebih banyak buku dari orang lain, walau hanya dengan satu mata. 

"Saya menyesal karena tidak menulis sejak muda. Tapi satu hal yang pasti, saya telah banyak membaca sejak muda. Itu modal dasar ketika mulai menulis pada waktu yang sangat terbatas. Modal ini ditambah dengan modal lain sejak muda - tak mudah menyerah" 

Begitu yang tertulis pada profil di salah satu buku yang penulis tulis, dan mungkin itu menjawab betapa produktif, juga mudahnya sang penulis beralih dari menulis fiksi dan non fiksi, dampak dari kekuatan membaca.

Ada dua puluh satu bagian dalam cerita "Malam Sakura" yang bisa kita nikmati, mulai dari Hai, Hai, Siapa Dia?, Kuncup, Drop Out, Asrama, Bubur Kacang Hijau, Kisah Pisang Goreng, Sauris Goreng, Karate, Bahasa Inggris, Pacaran, Embun, de Takas, Cross Country, Gaya, Body Building, Pak Let, Surat Keputusan Rektor, Malam Sakura,-- sampai "Ujian Skripsi". 

Pada beberapa bagian ceritanya, saya merasa terhubung dengan ceritanya, karena, rasanya ada ceritanya yang seolah saya juga mengalaminya, termasuk perasaan minder yang begitu hebat menghantam diri sang penulis saat pertama kali datang ke Jayapura, dan saya merasa pernah mengalaminya juga, ketika pertama kali tiba di Yogyakarta, untuk melanjutkan studi.

Ada banyak kelucuan dan kecerdasan untuk menyiasati kesulitan hidup saat bersekolah dan ia harus membantu di dapur asrama, seperti yang dikisahkan sang penulis dalam cerita tentang kaleng susu "sebelum susu dalam kaleng habis tuntas tertuang ke dalam belanga, kau harus pintar berpura -- pura menggoyang kaleng itu, pertanda sudah kosong. 

Walau masih banyak susunya yang lengket dan menempel di tepian kaleng. Kau harus melatih diri untuk memiliki keterampilan ini. Berpura -- pura di depan puluhan pasang mata yang sedang menatap kaleng yang sama. Kau harus membiasakan diri tentang dalam suasana tegang ini. Melatih saraf baja." Dengan begitu, kaleng yang masih ada isinya itu, ia akan bikin seolah sudah kosong, dan itulah cara ia bisa menikmati susu yang lebih agar menyehatkan tubuhnya.

Pada banyak bagian, tulisan ini semacam memotivasi para pembaca untuk selalu mencoba, di salah satu tulisan itu, penulis mengangkat kisahnya ketika ia mengikuti sebuah kelompok band, dan ia pun memilih memainkan drum, di mana ia merasa "aku kadang melakukan kesalahan mengikuti irama secara tepat. 

"Belum pas ketukannya." Apapun kemahiran atau hobi yang kau miliki, jangan segan untuk mencobanya. Meskipun awalnya salah, lama -- kelamaan kau juga bisa."

Atau juga pesannya tentang perjuangan untuk menyelesaikan skripsi yang rasanya begitu sulit dan rumit. Bukan karena proses atau penguasaan materi mata kuliah, melainkan disiplin diri. 

Dalam lingkungan yang tak membangun disiplin, kita harus berjuang sendiri untuk bertahan dan keluar sebagai pemenang. Dan itu artinya, demi masa depan, jangan sampai kita putus kuliah. 

Hidup ini seperti permainan kartu, kita harus punya kartu yang kuat untuk dimainkan. Karena semangat dan doa saja tidaklah cukup. Kita harus melengkapi diri dengan pengetahuan yang luas. Dan tentu, disiplin yang tinggi sebagai dasarnya.

Tak kalah menggugah adalah sebuah kesadaran pada penulis, ketika ia menceritakan pengalamannya tes beasiswa ke Filipina, di mana pada kali pertama mencoba, tidak ada satupun peserta yang dari Papua, lulus. 

Dari sini, kita juga bisa punya gambaran, mahasiswa -- mahasiswa Papua di pertengahan tahun 1970an yang mencoba beasiswa ke luar negeri, apa saja syarat yang harus mereka tempuh, kendala apa yang akan mereka hadapi dan apakah mereka mendapat keringanan syarat yang jauh lebih mudah,hanya karena mereka dari Papua (seperti yang sekarang ini)?

Dua tahun berikutnya, mereka diberikan kesempatan mengikuti ujian masuk sekali lagi. 

Dari lima kandidat, yang berangkat ke Jakarta untuk tes dengan puluhan atau mungkin ratusan peserta lainnya dari seluruh Indonesia, hanya dua di antara mereka yang dari Papua yang lulus, sehingga bersama Louis Kambuaya, enam orang dari Indonesia akhirnya bersekolah di Asian Institute of Management-Manila.

Sebagai instropeksi pernah tak lulus tes beasiswa, ia menuliskan dan juga berefleksi tentang kemudahan beasiswa maupun standar apa saja yang diturunkan agar orang di Papua bisa melewatinya.

"Orang minta diproteksi agar memiliki privilege atau perlakukan khusus walaupun nilai tes tidak memenuhi syarat. Katrol nilai pada kompetisi begini itu ibarat bunuh diri sendiri. 

Percaya atau tidak, yang seperti ini akan hangus sendiri sebelum api dinyalakan. Kompetisi akan menjamin kualitas hasil yang diinginkan. Kalau terus berlindung dengan kriteria agar diproteksi, maka kita menempatkan diri di bawah tempurung, takut bersaing. Sampai kapanpun kita tidak akan ke mana -- mana."

Tentu saja, begitu banyak pemikiran penulis dari buku ini yang menyentak kesadaran saya, hingga saya merasa perlu menuliskan semacam resensi sederhana dari buku ini, yang berkisah tentang seorang remaja yang menyandang hampir semua aspek yang sama sekali tak menjanjikan. Rasa rendah diri akut, badan kerempeng, pemuda yang mudah gugup, dan miskin pastinya. 

Penyakit jiwa dan fisik ini menghadangnya untuk bisa bergaul luas di kalangan muda -- mudi. Ia harus bangkit mencari identitas diri, mendapatkan pengakuan dan berjuang mati -- matian melawan diri sendiri.

Tetapi, hanya diri sendiri yang mengalami sendiri situasi menantang inilah, yang mampu mengatasinya. Menjadi diri sendiri adalah tonggak utama dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan ketidakpastian. 

Dan untuk mengarungi hal tersebut, membaca menjadi salah satu modal dasar dan Alex Runggeary, melalui kisah ini menceritakan sepenggal perjalanan hidupnya yang layak kita pelajari, dari seorang profesional, dan sekarang begitu produktif menulis, menjadikan menulis sebagai jalan hidupnya. Selamat membaca. (Dayu Rifanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun