Sebagai instropeksi pernah tak lulus tes beasiswa, ia menuliskan dan juga berefleksi tentang kemudahan beasiswa maupun standar apa saja yang diturunkan agar orang di Papua bisa melewatinya.
"Orang minta diproteksi agar memiliki privilege atau perlakukan khusus walaupun nilai tes tidak memenuhi syarat. Katrol nilai pada kompetisi begini itu ibarat bunuh diri sendiri.Â
Percaya atau tidak, yang seperti ini akan hangus sendiri sebelum api dinyalakan. Kompetisi akan menjamin kualitas hasil yang diinginkan. Kalau terus berlindung dengan kriteria agar diproteksi, maka kita menempatkan diri di bawah tempurung, takut bersaing. Sampai kapanpun kita tidak akan ke mana -- mana."
Tentu saja, begitu banyak pemikiran penulis dari buku ini yang menyentak kesadaran saya, hingga saya merasa perlu menuliskan semacam resensi sederhana dari buku ini, yang berkisah tentang seorang remaja yang menyandang hampir semua aspek yang sama sekali tak menjanjikan. Rasa rendah diri akut, badan kerempeng, pemuda yang mudah gugup, dan miskin pastinya.Â
Penyakit jiwa dan fisik ini menghadangnya untuk bisa bergaul luas di kalangan muda -- mudi. Ia harus bangkit mencari identitas diri, mendapatkan pengakuan dan berjuang mati -- matian melawan diri sendiri.
Tetapi, hanya diri sendiri yang mengalami sendiri situasi menantang inilah, yang mampu mengatasinya. Menjadi diri sendiri adalah tonggak utama dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan ketidakpastian.Â
Dan untuk mengarungi hal tersebut, membaca menjadi salah satu modal dasar dan Alex Runggeary, melalui kisah ini menceritakan sepenggal perjalanan hidupnya yang layak kita pelajari, dari seorang profesional, dan sekarang begitu produktif menulis, menjadikan menulis sebagai jalan hidupnya. Selamat membaca. (Dayu Rifanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H