Keberhasilan kecil ini tentu upaya dari tiga orang yang saling percaya, ada Ruth yang percaya kepada bakat kedua muridnya, dan sebaliknya, anak-anak yang mau terus bercerita, mengembangkan imajinasinya didampingi seorang guru yang peduli.
Pada kisah yang ditulis Apsalom, ia menulis secara sederhana, begitu susahnya mencari air bersih bagi mereka, masyarakat di Nayakore. Walau penuh dengan kesulitan air bersih, ia juga menuliskan "di kampung ini kita hidup bersama-sama. Kita tidak membeda-bedakan orang."
Di usia yang begitu muda, Apsalom mungkin baru saja memimpikan kalau ia menulis, dan bukunya terbit, orang-orang akan mau tertarik pada buah pikirnya, membaca karyanya. Ini mengingatkan saya kembali pada ujaran polos kedua anak ini.
"Ibu kalo sa menulis, jadi penulis terkenal kah? Orang-orang akan kenal saya kah? Kenal saya punya kampung ? Diundang masuk tivi kah?"--tetapi, Apsalom harus meninggalkan kita terlebih dulu.
Mudah-mudahan kepergiannya menjadi penguat agar Alfius terus berkarya, dari sana, dari Negeri Besar, di Kokoda, dan kita semua, ikut dan turut menghormati dan merayakan keberhasilan anak-anak kita ini, dalam menulis.Â
Walau terus saja muncul pertanyaan pada diri saya, apakah sobat pembaca sudah membaca dan mau apresiasi karya mereka berdua?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H