Mohon tunggu...
Nur Hidayat
Nur Hidayat Mohon Tunggu... -

saat ini sedang menjalani studi S1 di Univ. tribhuwana Tunggadewi Malang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan Dalam Bingkai Politik

4 Juni 2013   16:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditengah hingar bingar menuju pemilu 2014, isu kuota 30 persen perempuan dalam kepengurusan partai politik menjadi topik yang selalu mengalami peningkatan ratting. Pada tahap verifikasi, tidak sedikit parpol yang terdiskualifikasi karena kuota 30 persen perempuan tidak terpenuhi. Dengan realitas demikian, pertanyaannya sekarang bagaimana track record yang telah ditapaki politisi dari kaum hawa? Apakah benar-benar telah mengakomodir kepentingan perempuan? Atau parpol mengikut sertakan mereka hanya untuk memenuhi syarat administratif?

Dalam dinamika politik di indonesia, sosok perempuan yang paling menonjol kiprahnya dalam percaturan politik nasional tentunya kita menuliskan Megawati Soekarno Putri sebagai politisi perempuan yang telah mencapai prestise tertinggi. Meski hanya dua tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Nusantara. Pada saat Bu Mega mencapai karir puncak sebagai presiden, kebijakan manakah yang mengakomodir kepentingan perempuan ansich?. Meskipun eksekutif bukan pembuat regulasi. Kalau begitu, mari kita lihat produktifitas anggota dewan kaum hawa. Berapa banyak undang-undang yang diselesaikan para wakil rakyat tersebut menyelesaikan undang-undang keperempuanan. Pun tidak ada spesialisasi politisi perempuan yang membidanikegiatan yang berpihak pada kaum perempuan.

Mungkin beberapa hal tadi yang belum disadari sepenuhnya oleh para politisi kaum perempuan, mereka malah asyik mengurus kebijakan yang berkomisi lebih besar, seperti badan anggaran. Lantas sikap perempuanpun nampaknya belum terlalu kritis terhadap perwakilan mereka baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.

Berbeda dengan sosok Tati Hadianti, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor Jakarta. Kehadirannya membuat decak kagum ‘penonton’. Kehadirannya membuat Neneng Sri Wahyuni, terdakwa kasus korupsi proyek hambalang, tidak berkutik saat mengahadapi bidadari di meja hijau tersebut. Meski contoh ini bukan dalam ranah politik. Namun benang merah yang diharapkan adalah srikandi-srikandi yang duduk di kursi pemerintahan, diharapkan mampu menunjukkan taringnya. Bukan berlemah-lemah ria, banyak alasan dan lain sebagainya. Karena disadari atau tidak, berbagai kasus terkait kekerasan terhadap perempuan, kurang menjadi isu strategis bagi para aktor politik perempuan.

Beberapa tahun yang lalu, rieke diah pitaloka atau oneng. Yang duduk di komisi satu DPR RI, gencar memperhatikan dan mengadvokasi segala bentuk pelanggaran yang di alami kaum perempuan. Namun, belakangan sudah tidak terdengar lagi, akhirnya publik menengarai hal itu sebagai pencitraan, karena oneng akan mencalonkan sebagai gubernur Jawa Barat.

Bukankah setiap tahun kita peringati hari kartini bukan hanya untuk mengenang perjuangan emansipasi saja, melankan kembali merefleksikan perjuangan serta mengaktualisasikan dalam bidang masing-masing. Baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pemangku kebijakan. Hari ibu juga diperingati untuk menghidupkan semangat juang perempuan yang tegar melawan maut untuk melahirkan seorang putra. Artinya, sebagai seorang perempuan dengan perangkat kasih sayang yang diberikan, mampu pasang badan, sabung nyawa demi hak-hak perempuan.

Kebutuhan Perempuan

Berbicara perempuan, tentu kita berfikir tentang keunikan serta keistimewaan kaum perempuan, juga kompleksitas problemnya. Kompleksitas persoalan yang ditimbulkan oleh kaum perempuan lebih banyak dibandingkan kaum adam. Karena kita sangat jarang sekali mendengar pemerkosaan terhadap kaum laki-laki, Aborsi yang dilakukan kaum laki-laki, serta kekerasan rumah tangga yang di rasakan oleh laki-laki. Dengan berbagai persoalan itulah diharapkan kursi 30 persen kuota yang di wajibkan komisi pemilihan umum dapat mengakomodir persoalan, bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban administratif.

Dari sekian banyak perempuan yang duduk di kursi pemerintahan, berapa persen dari mereka yang fokus dalam memperhatikan dan mendampingi pelbagai kasus pelanggaran terhadap perempuan. Padahal partai penguasa menempatkan Nur Hayati Assegaf sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat, Puan Rizki Wahyuni sebagai ketua umum DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) serta sederet menteri yang berjenis kelamin perempuan, tidak mampu melawan penindasan terhadap perempuan. Meskipun bukan bidangnya, tetapi minimal sesama kaum perempuan memiliki simpati atas berbagai realitas hari ini.

Sehingga ketika perdebatan terkait urgensitas kehadiran kaum perempuan diparlemen meruncing, akan muncul statemen bahwa sebaiknya perempuan mengurus rumah tangga, bukankah itu menyakitkan bagi perempuan. Maka, jalan satu-satunya untuk mengembalikan citra politisi perempuan, tidak lain hanya satu, berikan perhatian  serius kepada kaum perempuan, minimal deklarasikan perlawanan terhadap kekerasan kepada perempuan. Lebih alnjut lakukan advokasi terhadap kasus yang merugikan kaum perempuan.

Bukan Model

Berbeda profesi berbeda pula kegiatannya, perempuan yang duduk di parlemen, berbeda sikapnya dengan perempuan yang berprofesi sebagai model, yang cukup berpose di deman kamera. Meski perempuan yang memegang kebijakan dengan ibu rumah tangga memiliki kebutuhan yang sama dalam hal merias diri, namun tentu intensitasnya berbeda. Karena hal-hal kecil tersebut tentu jarang diingat ketika mereka ingat akan jerit tangis perempuan yang sedang menanggung beban hidup sebagai janda, menanggung hidup sebagai perempuan tunawisma bahkan tunasusila.

Sehingga politisi yang gemar berbelanja produk mewah, kosmetik mahal, meskipun merupakan hak individu, tidak terjadi lagi. Karena hal itu akan menimbulkan fitnah korup terhadap mereka sendiri. Saatnya kembali kepada titah perjuangan kaum perempuan. Mari refleksikan perjuangan kartini, bukan hanya sebatas seremoni.

Sehingga kasus pemerkosaan di angkot, pernikahan di bawah umur, serta jutaan kasus aborsi, tidak lagi menjadi headline berita di media massa. Selamat berjuang perempuan Indonesia!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun