I. Pengantar
Mengapa disebut Dayak Bakati’?
Suku Dayak yang
tersebar di Pulau Kalimantan ini terbilang banyak jumlahnya,
yaitu terdiri dari 405 suku kekeluargaan. Orang Dayak adalah
sebutan umum untuk identitas yang sesungguhnya dan
merujuk pada ratusan komunitas di Kalimantan/Borneo.
Ratusan orang itu dianggap sebagai penghuni asli Kalimantan
dan memiliki nama yang berbeda-beda di antara sub-suku
Dayak. Masing-masing sub-suku menggunakan bahasanya
sendiri dalam berkomunikasi satu sama lain di dalam
komunitasnya.
Sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya
Dayak Bakati’ diklasifikasikan dari segi bahasa. Mereka
memetakan penyebaran rumpun bahasa Bidayuhik di kawasan
bagian Barat Borneo, di antaranya di wilayah Kabupaten
Bengkayang dan Sambas. Istilah Bakati’ terdiri dari dua kata,
yaitu “ba”, sebuah awalan yang sepadan dengan “ber-“ yang
berarti “mempunyai”, dan “kati”, sebuah kata dasar yang
berarti “tidak”. Dalam percakapan sehari-hari, frekwensi
perkataan “kati” lebih sering muncul, sehingga dipakai untuk
menyebut suatu identitas penutur bahasa tersebut. Maka, ada
orang Bakati’ dan/atau Dayak Bakati’.
Di Kabupaten Bengkayang kita menemukan beberapa
sub-suku Dayak Bakati’ yang secara kolektif menyebut dirinya
“Dayak Kenayatn”. Tetapi, istilah Dayak Kenayatn sendiri
lebih popular di kalangan sub-suku Dayak yang menuturkan
bahasa Banana’ dan ahe, yang bermukim di Kabupaten
Landak, Pontianak, Sambas, dan Bengkayang.
Sedangkan A.A. Cense dan E. M. Uhlenbeck (1958:15) dalam buku mereka
berjudul Critical Survey of Studies on the Languages of
Borneo, menyebutkan bahwa orang-orang yang berbahasa
Bakati’ Rara sebagai “Old-Kendayan” atau Kendayan Tua.
II. Asal-muasal Orang Bakati’
Jika ditelusuri dari tradisi lisan, diketahui bahwa
Baca, pahami, perkaya sumber
bacaan…maka anda adalah
orang yang BIJAKSANA.
ADIL KA` TALINO…BACURAMIN
KA` SARUGA…BA` SENGAT KA`
JUBATA
orang-orang Bakati’ di Kabupaten Bengkayang, sebagian di Sambas dan Lundu-Serawak
(Malaysia), berasal dari kawasan Bukit Bawakng (Gunung Bawang). Bukit Bawakng ini
terletak di perbatasan antara Kecamatan Samalantan dan Kecamatan Sungai Betung –
Bengkayang. Bukit Bawakng ini dapa disebut tanah asal-usul orang Bakati’.
Berdasarkan tradisi Bawakng, pencipta langit dan bumi beserta segala isinya adalah
Nyabata (Yang Ilahi). Ungkapan rasa hormat kepada Nyabata tertuang melalui adat-istiadat
yang dilakukan oleh Bakati’. Contohnya saja, untuk menyembuhkan orang yang sakit, taleno
(manusia) memanggil Nyabata Bawakng (Yang Ilahi) dengan cara memukul bande (gong
kecil) sebanyak tujuh kali seraya mengucapkan syair tertentu.
Dalam tradisi lisan Dayak Bakati’ yang lainnya, kita menemukan nama-nama tokoh
seperti Nyiur Gadikng, Sammaniamas, Balo Andakng, dan Salojatn Tongga sebagai tokoh
yang berasal dari Bukit Bawakng. Nyiur Gadikng diduga berasal dari Pulau Malaya. Karena
terpesona mendengar suara permainan pangkak gasing antara Sammaniamas dan Salojtn
Tonggal, Nyiur Gadikng tertidur pulas. Sewaktu tidur, air liur Nyiur Gadikng meleleh dan
jatuh ke dada seorang gadis yang bernama Balo Andakng. Pada waktu itu, Balo Andakng
sedang menjemur padi. Setelah peristiwa itu, Balo Andakng dan Nyiur Gadikng menikah.
Akhirnya Balo Andakng hamil. Perkawinan antara Balo Andakng dan Nyiur Gadikng
menurunkan anak, yaitu Ramaga (sulung) dan Ramamutn (bungsu). Ramaga menikah dengan
Santokng Tali, anak kamang Layo dan melahirkan tujuh anak, tapi hanya satu yang berwujud
manusia, yaitu Kombankng (bungsu). Kombankng kemudian menurunkan anak Sango. Kisah
para tokoh tadi terjadi di Bukit Bawakng. Dari Bukit Bawakng inilah orang-orang Bakati’
berasal.
III. Mitologi Penciptaan Manusia Dayak Bakati
Dalam mitologi Dayak Bakati’, manusia tercipta dari tanah. Penciptaan manusia
dilakukan oleh tujuh ekor binatang yang masing-masing mempunyai perannya sendiri.
Ketujuh binatang itu adalah burung pagubm, burung bangau, sejakan tukang penampa’, sawa’
tibug (bengkarung), langkadu (kadal), sejangkao pangentetataan, dan seekor binatang lagi
yang tidak disebutkan. Ketujuhnya melakukan proses penciptaan manusia pertama.
Setelah proses penciptaan selesai, manusia pertama ditempatkan di sebuah taman.
Manusia pertama merasa sedih karena hidup sendirian. Iapun menangis dan berlari kesanakemari
hendak mencari teman di mana ia bisa bercengkerama. Manusia pertama diciptakan
oleh ketujuh penciptanya sebagai seorang pribadi dewasa. Sebagai manusia yang pertama kali
diciptakan, ia dinamai “Semula Jadi” oleh ketujuh pencipta tadi, yang artinya “manusia
pertama”.
Pada suatu ketika Semula Jadi duduk termenung, tiba-tiba ia mendengar suara
tangisan dari arah rumpun bambu betung. Kemudian ia melihat sepucuk rebung dari rumpun
betung tersebut. Semangkian ia mendekat ke arah rebung tersebut makin kuat pula suara
tangisan manusia. Setelah itu, yang terjadi sungguh mengejutkan karena tiba-tiba rebung itu
pecah terbelah dan dari dalamnya muncullah seorang anak perempuan. Lalu diambilnya anak
perempuan itu dan diberinya nama “Sayo’ Nyando”, yang artinya “besar sehari”, karena
sewaktu keluar dari rebung tersebut Sayo’ Nyando langsung menjadi orang dewasa.
Setelah dewasa, Semula Jadi dan Sayo’ Nyando dikawinkan (mungkin dikawinkan
oleh penciptanya) dan hamillah Sayo’ Nyando. Setelah tiba saat melahirkan, Sayo’ Nyando
merasa kesakitan. Dalam keadaan bingung, tidak tahu apa yang harus dibuat, perut Sayo’
Nyandopun akhirnya dibedah. Tiba-tiba dilihatnya seorang bayi perempuan keluar dari rahim
Sayo’ Nyando yang dibedah tersebut. Kemudian teringatlah Semula Jadi dengan proses
kelahiran Sayo’ Nyando yang keluar dari dalam rebung. Tetapi perbedaan yang dilihatnya
sekarang adalah bayi keluar dari dalam perut Sayo’ Nyando. Setelah perutnya dibedah,
seketika itu juga Sayo’ Nyando meninggal dunia. Sedangkan anaknya tetap hidup dan
dibesarkan oleh Semula Jadi. Anaknya tadi diberi nama “Mula Batampa’” yang berarti
seorang anak putri sulung.
Ketika menginjak dewasa, Mula Batampa’ hidup berdua dengan Semula Jadi. Suatu
hari timbul niat Semula Jadi untuk merayu Mula Batampa’. Seketika itu juga Mula Batampa’
memukul ubun-ubun Semula Jadi. Merasa ditolak, Semula Jadi, yang tidak lain adalah
ayahnya sendiri, pergi meninggalkan Mula Batampa’. Sebelum pergi, Semula Jadi berpesan
kepada anaknya, “kalau engkau bertemu dengan seseorang, panggillah dia dan ajaklah dia
untuk menikah”. Mula Batampa’ mengingat dengan teguh pesan ayahnya itu.
Bertahun-tahun lamanya Mula Batampa’ ditinggal pergi oleh Semula Jadi. Pada suatu
hari, Mula Batampa’ mendengar suara orang melewati rumahnya. Tanpa pikir panjang dan
dengan segera dipanggilnyalah orang itu. Kemudian orang itu dinikahinya seperti yang
dipesankan ayahnya. Tidak lama setelah menikah, Mula Batampa’ mulai mengandung
seorang bayi. Persis Sembilan bulan kemudian sang suami yang belum diketahui asal-usulnya
meminta ular sawa’ untuk membantu kelahiran istrinya, Mula Batampa’.
Suatu hari Mula Batampa’ sedang bersantai di rumah sambil mencari kutu di kepala
suaminya. Tiba-tiba Mula Batampa’ terkejut melihat bekas luka persis di ubun-ubun
suaminya. Barulah Mula Batampa’ teringat bahwa suaminya itu adalah ayahna sendiri.
Inilah kisah penciptaan manusia Dayak Bakati’. Berdasarkan mitologi Dayak Bakati’
ini, manusia yang ada sekarang dipercayai berasal dari keturunan Mula Batampa’ dan Semula
Jadi. Keturunan mereka ini berkembang menjadi suku bangsa yang banyak jumlahnya.
Dari cerita ini pula, kita mengetahui bahwa pada mulanya perkawinan Semula Jadi
dengan Sayo’ Nyando direstui oleh penciptanya, karena tidak terikat hubungan darah. Pada
prinsip awal ini, masyarakat Dayak Bakati’ tidak mengijinkan perkawinan sedarah, baik itu
dari garis pihak ibu maupun pihak bapak. Dari pihak ibu, keturunan tingkat keempat sudah
mendapat kelonggaran adat larangan kawin dengan calon mempelai yang masih terikat
keluarga. kemudian, dari pihak bapak, keturunan kelima baru mendapat kelonggaran dari
aturan adat itu. Namun demikian, masih ada juga sesama anggota keluarga yang mampu
menerobos larangan kawin ini, seperti yang dilakukan oleh Semula Jadi dan Mula Batampa’.
IV. Religiositas Orang Bakati’
Religiositas orang Bakati’ berkaitan erat dengan pengalamannya terhadap Nyabata
atau Yang Ilahi, dan pengharapannya akan kehidupan kekal di Sabayatn (dunia kebahagian
atau surga). Nyabata secara umum dikenal sebagai roh-roh yang baik. Nyabata ini berbentuk
ilah-ilah atau banyak allah. Setiap sungai, gunung, hutan, dan bukit memiliki Nyabata. Tetapi
yang paling penting dan berperan penting dalam adat-istiadat Dayak Bakati’ adalah Nyabata
Bawakng yang bersemayam di Gunung Bawakng. Hubungan manusia dengan Nyabata
bawakng harus terjalin baik, seperti juga hubungan mereka dengan roh para leluhur.
Sikap religius masyarakat Dayak Bakati’, yang mirip dengan Dayak pada umumnya
berwujud pada pengabdian panteon (tempat pemujaan) yang terdiri dari banyak sekali roh
dan nenek moyang yang ajaib. Menurut Mikhail Coomans dalam bukunya “Manusia Daya:
Dahulu, Sekarang, Masa Depan” (1987), segala tindakan, perbuatan dan tingkah laku orang
Dayak akan diarahkan kepada teladan nenek moyang. Sebab hanya perbuatan yang meniru
teladan nenek moyang adalah perbuatan yang baik dan bermakna religius. Hal ini disebabkan
oleh sikap taat kepada peraturan (adat) yang diberikan oleh nenek moyang.
Menurut pandangan suku Dayak Bakati’, Sabayatn adalah suatu keadaan dunia yang
baru dan sama dengan keadaan dunia sekarang, hanya lebih indah dan sempurna. Di tempat
itu manusia dibebaskan dari segala beban dan kesulitan hidup. Kehidupan di tempat ini penuh
berkelimpahan, tanpa harus membanting tulang mencari nafkah. Segala kebutuhan terpenuhi.
Para penghuninya selalu menikmati kebahagiaan pesta yang tidak berkesudahan. Karena hasil
sawah dan ladang tidak lagi diganggu hama. Hutan memberikan hasil berlimpah, sungaisungai
penuh ikan. Jadi, gambarannya sama seperti di dunia sekarang, tetapi di tempat itu
sudah bebas dari segala kesulitan. Semuanya hidup dalam keharmonisan.
Sabayatn merupakan tempat tinggal Nyabata dan roh-roh leluhur yang telah bersatu
dengan-Nya. Setiap manusia yang masuk ke dalamnya, hidupnya menyatu, berinkorporasi,
berpartisipasi pada hidup yang ilahi (Nyabata). Persekutuan antara orang-orang yang hidup di
subayatn dan inkorporasi yang penuh antara mereka dengan Nyabata membentuk suatu
persekutuan, yang dalam pemahaman tradisi Mate’ (suatu doa berupa mantra dalam ritual
adat) disebut “Ndo’ Awa Pama Nyabata”. Bagi mereka yang masih hidup di dunia, Sabayatn
merupakan tempat kerinduan yang abadi bagi manusia.
Masuknya agama Kristen tidak membuat orang Dayak Bakati’ meninggalkan begitu
saja Yang Ilahi, tetapi masih ada juga yang “tidak” beragama. Misalnya Dayak Bakati’ di
pedalaman paroki Pemangkat. Mereka masih ada juga yang menyembah allah lain yang
dianggap mereka sebagai Tuham mereka (misalnya Nyabata yang terdapat di pohon-pohon
keramat). Rasa syukur juga mereka ungkapkan kepada Nyabata, misalnya ungkapan syukur
man pade bahu (pesta padi baru), dan bulah u’ma (membuka ladang yang baru).
Konsep surga dan neraka yang ada dalam teologi kristiani juga sudah ada dalam
konsep orang Dayak Bakati’, yang disebut dengan Sabayatn. Dengan adanya Sabayatn ini,
maka orang-orang Dayak Bakati’ dituntut untuk hidup baik selama masih ada di bumi.
Memang patut diakui, bahwa dengan masuknya agama kristen dalam komunitas orang Dayak
Bakati lama-kelamaan penyembahan terhadap Nyabata ditinggalkan. Dan tidak sedikit
sekarang orang Dayak Bakati memeluk agama Katolik, dan mengakui bahwa Allah adalah
pencipta bumi beserta isinya. Ada peralihan pandangan dari Nyabata ke Allah.
V. Nyabata (Yang Ilahi) Tuhannya Dayak Bakati’
Orang Bakati’ meyakini bahwa penciptaan dunia beserta isinya ini adalah Nyabata,
maka tidak mengherankan semua Dayak Bakati’ menyembahnya dengan segenap jiwa dan
raga. Nyebata diperlakukan sangat istimewa/diagung-agungkan, terutama dalam setiap
upacara adat, karena diyakini bahwa Nyabatalah yang menjadi sebab dan akibat segala yang
terjadi di dunia. Misalnya ada orang sakit. Dayak Bakati’ meyakini bahwa hanya Nyubata-lah
yang bisa menyembuhkan karena Nyabata juga yang “memberi” sakit kepada setiap makhluk
hidup. Bagi orang Dayak Bakati’, orang sakit disebabkan karena hubungannya/relasinya
dengan Nyabata tidak harmonis. Nah, untuk mendapatkan kesembuhan maka orang tersebut
harus memperbaiki relasinya dengan Nyabata. Berbagai cara untuk menghormati Nyabata ini.
Selain upacara penyembuhan orang sakit, ada juga acara lainnya, misalnya syukuran atas
kelahiran (mahung bana’), syukuran atas berhasilnya panen (ngutup pade), dan masih banyak
lagi. Semuanya ini dengan satu tujuan, yaitu berterima kasih kepada Nyabata yang telah
memberikannya.
Bagi orang kristiani, pencipta bumi dan segala isinya adalah Allah, sehingga umat-
Nya menyembah dan harus berelasi baik dengan-Nya. Keberdosaan selalu dihubunghubungkan
dengan tidak harmonisnya relasi antara ciptaan (manusia) dan Pencipta (Allah).
Nah, untuk memulihkan dari kedosaan ini ciptaan harus memperbaiki kembali hubungannya
dengan Sang Pencipta. Rasa syukur ciptaan terhadap Penciptanya terungkap jelas dalam
perayaan ekaristi (dan perayaan-perayaan sakramen lainnya), di mana Allah (Yesus) sendiri
yang mengurbankan nyawa-Nya demi pulihnya hubungan manusia dan Allah.
Antara teologi penciptaan dan penciptaan Dayak Bakati’ memiliki kesamaan, yaitu
ada yang menciptakan ciptaan dan penciptaan adalah satu dan tertinggi yang harus disembah.
Bagi orang Dayak Bakati yang tertinggi itu adalah Nyabata (pencipta), dan bagi orang
kristiani adalah Allah (Pencipta). Dengan ini mau mengatakan, bahwa baik dalam teologi
kristiani maupun orang Dayak Bakati’ memiliki kepercayaan terhadap penciptanya masingmasing.