Kalau dilihat dari 20-30 tahun lalu, saya nggak tahu saya akan seperti sekarang.
Saat SD, saya termasuk salah satu siswa yang nggak mencantumkan cita-cita "dokter" dan "insinyur". Buat saya, jadi dokter atau insinyur itu nggak menarik. Seingat saya, di lulusan angkatan saya, hanya saya yg menulis "tour guide" dan "jurnalis".
Hingga tahun-tahun pertama kerja, cita-cita itu hanya angan-angan. Sebagai mayoritas anak milenial, nurut saja maunya orang tua. Orang tua waktu itu mengarahkan saya menjadi akuntan. Meski tidak menolak secara keras cita-cita saya, bapak membujuk saya dengan cara mengajukan plus minus pilihan saya dan pilihannya.
Dulu itu, bapak ingin saya jadi akuntan karena setiap perusahaan perlu akuntan, dan di sisi lain, tidak semua perusahaan perlu jurnalis atau tour guide. Sebagai seorang bapak, beliau ingin anaknya mengambil sebuah keputusan yang menjamin masa depan, seperti mengambil keputusan jurusan yang menjamin saya memiliki pekerjaan di masa depan.
Itu tidak salah dan meskipun awalnya berat menjalani sesuatu yang tidak dari hati, toh saya tetap jalani sampai selesai karena itu bagian dari keputusan saya juga.
Disela-sela kejenuhan berkutat dengan debet kredit, saya belajar ini itu yang jauh dari urusan akuntasi seperti ikut UKM band, ambil kelas travel writing, SEO, teater, seni rupa, bahasa isyarat, voice acting bahkan ikut kursus first responder. Kalau dirasa bisa dipelajari sendiri, ngulik juga di rumah, seperti subtitling, simple video editing.
Hanya dua hal yang mendekati profesi, ngulik excel dan kursus pajak. Mengambil kursus pajak pun demi sertifikat karena menuruti aturan yang mewajibkan karyawan bagian pajak untuk memiliki sertifikasi brevet AB. Sementara ngulik Excel dilakukan demi efisiensi waktu kerja, Alhamdulillah sampai nested excel formula dan beberapa otomatisasi menggunakan formula, ternyata dikasih nyampe juga otak saya.
Dulu saya menganggap apa yang saya lakukan ini sebagai metode survive ala saya, demi menjaga kewarasan di tengah lautan laporan harta, utang, modal, laporan laba rugi termasuk menjawab omelan-omelan vendor yang dibayar terlambat.
Setelah puluhan tahun berlalu, saya menyadari bahwa kondisi yang Allah hadirkan, dan respon saya berupa belajar ini itu yang tampak seperti tidak ada hubungannya ternyata bukan sekedar metode survive saja tapi merupakan cara saya untuk mengenali diri saya lebih baik dari hari sebelumnya.
Saya percaya setiap manusia mempunyai kecondongan mencari tempat yang sebenarnya. Apapun yang sekarang ditemukan, meski tampak "mission accomplished" alias passion-nya tercapai bisa jadi ternyata itu baru teaser dari passion sesungguhnya.
Bisa jadi, yg dikatakan "passion" dihari ini hanya merupakan kepingan dari puzzle besar passion kita. Dengan demikian, selama hidup, kita harus mencari, tempat kita yg presisi dimana? karena dalam hal kepresisian, nggak ada "lahan bersama". Â Satu hal untuk satu orang sehingga tidak ada yang saling sikut, saling injak, dan tidak ada yang berebut.
Semua orang harus melakukan pencarian itu. Mendapatkan setiap keping passion sehingga terlihat gambar utuh dari puzzle dirinya.
Yuk semangat terus...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H