Mohon tunggu...
Davira Dinda
Davira Dinda Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Davira Dinda Mauriska

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Buku Sosiologi Hukum, Penulis: Satjipto Rahardjo

8 Oktober 2024   19:58 Diperbarui: 8 Oktober 2024   19:58 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Identitas Buku
Penulis : Satjipto Rahardjo
Judul Buku : SOSIOLOGI HUKUM
Kota Terbit : Yogyakarta
Cetakan : 1
Jumlah Hal : 231
Isi BAB : 13 BAB
 
BAB 1 : Teori dan metode dalam sosiologi hukum
Teori adalah kerangka intelektual yang diciptakan untuk bisa menangkap dan menjelaskan objek yang dipelajari secara seksama. Suatu hal yang semula tampak bagaikan cerita cerai berai tanpa makna sama sekali, melalui pemahaman secara teori bisa dilihat sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang mempunyai wujud yang baru dan bermakna tertentu. Pada tingkat makro teori berusaha untuk menjelaskan tentang bagaimana kaitan antara hukum dan masyarakat. Ada dua teori besar yang patut mendapat perhatian, yaitu teori struktural-fungsional dan teori konflik.
Teori Struktural:
a. Setiap masyarakat adalah relatif konsisten, yang merupakan struktur elemen-elemen yang stabil.
b. Setiap masyarakat merupakan struktur elemen-elemen yang terintregasikan dengan baik.
c. Setiap elemen dalam masyarakat mempunyai fungsi sendiri, yaitu memberikan sumbangannya dalam rangka mempertahankan bangunan sistem yang ada.
d. Setiap struktur sosial bekerja atas dasar konsensus nilai oleh para anggotanya.
Teori Konflik:
a. Setiap masyarakat, setiap saat selalu dihadapkan kepada perubahan-perubahan sosial merupakan hal yang umum
b. Setiap masyarakat, dalam segala bidangnya selalu memperlihatkan adanya ketidak-cocokan dan konflik- konflik sosial merupakan hal yang umum.
c. Setiap masyarakat didasarkan pada pemaksaan oleh segolongan anggota-anggota masyarakat terhadap anggota anggota masyarakat yang lain
Tentang metode Seperti juga halnya dengan sosiologi, maka sosiologi hukum adalah ilmu yang empiris, yang melihat pengalaman-pengalaman nyata dari orang-orang yang terlihat ke dalam dunia hukum, baik sebagai pengambil keputusan, sebagai praktisi hukum, maupun sebagai warga negara biasa. Sosiologis hukum adalah ilmu deskriptif eksplanasitoris dan membuat prediksi-prediksi. Sebagaimana halnya pada penelitian sosiologi, maka teknik-teknik yang dipakai dalam sosiologi hukum juga tidak, berbeda seperti wawancara, observasi, dan observasi secara partisipasi, analisis terhadap bahan yang terkumpul, dan lain-lain.
 
BAB 2 : Negara, Masyarakat, Hukum dan Perubahan Sosialndi Indonesia
Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum. Pernyataan dalam UUD ini sangat mendasar maknanya dan diharapkan akan menjadi acuan yang penting dalam teorisasi hukum di negeri ini. Pertama ia meletakkan prinsip manajemen nasional yang bersifat dasar, yaitu yang menggunakan hukum sebagai kerangkanya. Ia sekaligus juga ingin menyatakan, prinsip yang dipakai adalah tidak lebih dari itu. Dengan perkataan lain hendak dikatakan, bagaimana format dan isi hukum tersebut masih akan ditentukan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Hal-hal yang masih muncul secara abstrak pada saat UUD diciptakan sekarang semakin memperoleh rumusannya yang lebih jelas. Pada waktu itu UUD menyatakannya sebagai sifat kekeluargaan, sedang sekarang kita sudah sampai kepada perumusan yang lebih jelas, seperti keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Isi UUD mencerminkan keinginan untuk memberikan kesempatan kepada proses serta dinamika masyarakat Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang untuk bergerak menemukan bentuk, wadah serta struktur yang pas.
 
BAB 3 : Menghadapi Kemelut Dengan Membangun Suatu Kultur Berhukum Yang Baru
Pembahasan tentang penegakan hukum tidak akan dilakukan secara ad factum, tetapi ada academe. Artinya, tidak hanya mendiskusikan realitas, tetapi juga mencoba menempatkannya dalam kerangka kajian ilmiah dan teori. Sudah menjadi semacam trade-mark hukum modern, bahwa hukum adalah sebuah konstitusi tertulis dan dibuat dengan sengaja oleh manusia (purposive human action) (Trubek, 1972). Lebih penting lagi untuk diketahui adalah, hukum modern diidentikkan dengan hukum negara. Hukum modern adalah hukum yang khas (distinct) yang belum pernah dijumpai sebelumnya dalam sejarah peradaban manusia. Menurut Unger, hanya hukum modern yang boleh disebut sistem hukum yang sebenarnya (the legal system).
Hukum adalah hal yang kompleks, Amerika Serikat merupakan contoh yang baik tentang bagaimana peraturan yang begitu kompleks itu telah memasuki dan mencampuri jalan pengadilan atau mengadili dalam kadar yang berbeda, karena sistem memang berbeda, keadaan seperti terjadi Amerika Serikat juga banyak dijumpai di Indonesia. Usaha untuk memberantas korupsi, misalnya, banyak gagal karena persoalan-persoalan yang bersifat teknis hukum. Kalau di Amerika Serikat, dalam kasus (kriminal) terkenal (casus celeber) O.J. Simpson (1993), saat oleh pengadilan terdakwa diputus bebas, maka politik di negara itu mengatakan "Simpson is not guilty, but it doesn't prove that he is innocence." Dengan sedikit variasi- Indonesia, kita juga dapat mengatakan, koruptor memang dinyatakan bebas oleh hukum dan pengadilan, tetapi belum tentu mereka benar-benar tidak melakukan korupsi.
Hukum adalah teks dan ia hanya dapat menjadi aktif melalui campur tangan manusia,Sejak perilaku manusia berperan aktif dalam realisasi teks-teks hukum atau perundang-undangan, maka hukum memasuki dunia yang semakin kompleks.
 
BAB 4 : Hukum, Kekerasan Dan Penganiayaan
Hukum kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari struktur sosial, politik dan ekonomi masyarakat, karena ia kini memasuki hampir semua bidang kehidupan manusia. Oleh karena itu, ia bertanggung jawab terhadap pembentukan struktur kehidupan masyarakatnya. Orang sekarang tak mungkin mempelajari ekonomi sebagai suatu kegiatan yang otonom dalam usaha manusia untuk melakukan adaptasi terhadap sumber-sumber daya yang terdapat dalam masyarakat. Ia harus memperhitungkan kehadiran hukum dan karena itu hukum merupakan kendala bagi kegiatan dan perencanaan ekonomi.
 
BAB 5 : Diskresi, Polisi Sipil dan Berbagai Masalah Lainnya
Polisi merupakan perpaduan antara kekuatan dan pelayanan, padahal keduanya merupakan kategori yang berdiri sendiri dan sering berseberangan. Ia juga merupakan perpaduan antara kekerasan dan kelembutan. Berbagai judul tulisan juga menantang untuk dibaca, seperti "The most deadly force: Police pursuits", "Justice Without Trial'. Diskresi kepolisian adalah satu contoh tentang berapa licinnya usaha untuk menangkap tugas dan pekerjaan polisi. Diskresi sering dirumuskan sebagai "free to make choice among possible courses of action or inaction" (Walker, 1992).
Pekerjaan polisi sering dilihat sebagai unsur dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Di antara unsur-unsur SPP, polisi adalah pembuat putusan (decision maker) yang paling penting dan di urutan kedua adalah jaksa.
Diskresi dibutuhkan dan dilakukan oleh polisi karena ia bukan hanya aparat penegak hukum, tetapi juga penjaga ketertiban yang bertugas mengusahakan kedamaian (peacekeeping) dan ketertiban (order maintenance). Masyarakat sendiri membutuhkan diskresi. Peraturan hukum itu bersifat umum yang didasarkan pada asumsi- asumsi yang dibuat oleh legislator. Asumsi tersebut adalah situasi standar yang dibayangkan oleh legislator. Sementara kejadian-kejadian di lapangan masing-masing memiliki kekhasan atau bersifat unik. Maka apabila sebuah ketentuan yang bersifat umum diterapkan secara absolut terhadap kejadian tertentu, kemungkinan besar akan terjadi ketidakadilan atau menimbulkan problem baru).
 
BAB 6 : Sepuluh Tahun Reformasi Hukum
Reformasi mengakhiri masa pemerintahan presiden Suharto yang berkuasa sejak 1967-1998, berarti sekitar empat puluh tahun. Pemerintahan presiden Suharto mengakhiri era presiden Sukarno dari tahun 1945-1966, yaitu separuh dari masa pemerintahan presiden Sukarno. Sejak tahun 1967 dikenal istilah orde lama, yaitu untuk memberi nama dan karakteristik kepada masa kekuasaan Bung Karno dan orde baru untuk masa Suharto.
Perubahan atau reformasi di Indonesia berjalan beriringan dengan gejolak ekonomi dan sosial lain, yang tidak terjamah sama kuatnya seperti ranah politik. Liberalisasi ekonomi, merebaknya ekonomi pasar, permainan uang di mana-mana, merupakan sisi atau pemandangan yang lain dari era reformasi. (Di samping reformasi, kita perlu menambahkan dimensi keluarbiasaan ke dalam wacana mengenai hukum di negeri ini. Sistem hukum bekerja dan mendesain strukturnya berdasarkan asumsi-asumsi tertentu. Hukum itu tidak dirancang berdasarkan ide-ide saja, melainkan berdasarkan berbagai asumsi konkret. Hukum itu berangkat dari keadaan biasa atau normal yang berdasarkan pada asumsi-asumsi tertentu tersebut. Reformasi hukum tidak dapat dilepaskan dari reformasi di bidang-bidang kehidupan lain dalam masyarakat. Momentum reformasi ini hendaknya menjadi momentum pula untuk melihat secara menyeluruh apa yang sebaiknya kita lakukan apabila kita ingin mencapai hasil yang seksama dalam reformasi hukum. Satu hal adalah pikiran untuk mereformasi kultur hukum atau cara kita berhukum. Cara berhukum kita selama ini tergolong liberal. Kita mewarisinya dari zaman kolonial Belanda. Maka sesungguhnya sistem hukum kita adalah sistem yang dicangkok dari luar (imposed from outside).
 
BAB 7 : Hukum Dan Undang Undang Diproyeksikan Pada Perwujudan Kehidupan Negara Dan Bangsa Berkualitas
Hukum undang-undang adalah suatu fenomen yang relatif baru dibanding sejarah panjang peradaban manusia. Hukum dibaca sebagai undang-undang, hukum berkelindan dengan undang-undang, hukum tampil sebagai undang-undang adalah fenomen yang relatif baru dibanding dengan masa ribuan tahun sebelumnya.
Dalam catatan sejarah, ada masanya hukum itu mendefinisikan dirinya sebagai "ada untuk dirinya sendiri", menilai kinerjanya menurut ukuran yang dibuat sendiri. Hukum ada karena hukum bekerja untuk (kepentingan) hukum dan hanya dipahami seperti itu. Pada masa itu, hukum tidak bisa digugat secara sosial, sebab ia ada dan bekerja semata-mata karena ia adalah hukum. Legitimasi hukum terletak di situ. Itulah masa keemasan hukum undang-undang di abad ke-XIX, kalau kita ingin melihatnya seperti itu. Puncak itu disebut sebagai era kodifikasi. Hukum sudah tuntas dikemas dalam orde undang-undang dan di luar itu tidak ada lagi hukum. Hukum sudah menjadi institusi yang secluded, insulated dan esoterik.
Perubahan berpikir hukum dan berhukum di dunia mulai terasa sejak pertengahan abad ke-XX. Perubahan sebetulnya sudah mulai terjadi pada peralihan abad XIX ke abad XX. Pada waktu itu terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar, yang menggucang asumsi-asumsi yang dipakai oleh hukum sebelumnya. Ini terutama terjadi lewat demokrasi dan demokratisasi, serta juga seiring dengan pertumbuhan industri dan perburuhan (Hunt, 1978).
Ranah hukum tidak lagi menjadi tertutup, terisolasi dari masyarakat. Pelan tetapi pasti, masyarakat merembes masuk ke dalam hukum, sehingga muncul istilah, seperti "vermaatschappelijking van het recht" dan "the social movement in law". Hukum dituntut untuk memperhatikan ordinat-ordinat baru dan tidak lagi hanya "dalam batas undang-undang" (in het kader van de wet). Dipahami bahwa hukum tidak boleh hanya ada untuk dirinya sendiri, tidak boleh hanya melihat ke dalam, melainkan ke luar.
 
BAB 8 : Sosiologi Sengketa Pertanahan
Sengketa mengenai tanah menyangkut eksistensi tanah secara fisik. Tidak ada sengketa tanah tanpa adanya tanah. Topografi tanah bermacam-macam, ada yang berupa lahan untuk pertanian, ada yang keras tanpa kemungkinan untuk menghasilkan hasil-bumi, ada lagi yang timbul- tenggelam sesuai dengan musim dan masih sekian banyak kategori teknis lainnya lagi. Tampilan fisik seperti tersebut berpengaruh terhadap penggunaan atau pemanfaatan tanah yang menjadi landasan bagi munculnya masalah pertanahan. Pengadilan segera tampil sebagai yang pertama pada waktu kita berbicara mengenai penyelesaian sengketa tanah. Sejak pengadilan di negeri ini merupakan bagian dari sistem Eropa kontinental (civil law system), maka hakim memegang peran besar dalam mengendalikan jalan perkara di pengadilan, berbeda dari sistem anglo-saxon dengan sistem yuri itu.
Hakim di Indonesia tidak hanya mengendalikan jalan proses pemeriksaan perkara, melainkan juga memutus perkara. Sekalipun ada peran jaksa dan advokat, tetapi pada akhirnya hakimlah yang memutus, dalam hal ini sesuai dengan keyakinannya.
Penyelesaian sengketa pertanahan sebaiknya dilihat sebagai suatu konser besar dimana masing-masing sektor mengambil peranan. Di atas sudah diuraikan secara singkat betapa banyak faktor yang terlibat dan masing-masing membutuhkan cara, teknik dan kearifannya sendiri untuk menghadapinya.
Kepadatan penduduk diselesaikan antara lain dengan transmigrasi dan program Keluarga Berencana. Irama atau tempo pembangunan juga perlu dikendalikan, sebab pembangunan yang terlalu cepat (too rapid development) telah menimbulkan banyak kerusakan, baik fisik maupun sosial. Hal tersebut sedikit contoh dari tindakan-tindakan yang tidak secara langsung berhubungan dengan tanah, tetapi pengaruhnya terhadap (munculnya) sengketa pertanahan cukup besar.
 
BAB 9 : Sosiologi Hukum Mati
Membicarakan pidana mati secara sosiologis dilakukan juga dengan seperti itu. Masalah pidana mati adalah pidana mati dalam konteks sosial tertentu dan tidak pernah di luar konteks. Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati sebagai salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya. Oleh sebab itu, maka hukuman mati merupakan satu bentuk hukuman yang secara perundang- undangan masih sah dilakukan di negeri ini.
Hukuman mati berbicara mengenai suatu cara penghukuman yang mengakibatkan matinya seseorang. Maka di sini persoalan kematian menjadi sentral. Pertama, kematian lazim diterima sebagai suatu peristiwa fisik. Bagi orang yang sudah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki, apabila ternyata di belakang hari terjadi kekeliruan. Orang bersangkutan tetap mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tak dapat lagi dihidupkan, kendatipun nama baiknya dapat dipulihkan.
 
BAB 10 : Kebebasan Ekspresi Dan Hak Asasi Manusia
Dalam konteks pembahasan sosiologis masalah HAM tidak dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan normatif, melainkan dilihat sebagai persoalan nyata dalam masyarakat. Istilah yang sudah menjadi popular adalah "membumikan HAM ke dalam masyarakat dan kehidupan Indonesia". HAM adalah karya manusia, bukan suatu risalah yang turun dari langit. Oleh karena itu, ia memiliki sejarah, latar belakang sosial, kultural dan sebagainya. Banyak diakui, HAM ini adalah karya peradaban manusia yang West centric, Western experience, Western-style human rights (Bauer & Bell, 1999), westerse benadering, westerse ideologische opvaitting (Baehr, 1989). Diakui sendiri oleh para pemikir HAM di Barat, seperti R.P. Baehr, bahwa lijdt het geen twijfel dat de gedachte van de bescherming van fundamentele mensenrechten voor het eerst is neergelegd in westerse geschriften" (tidak diragukan bahwa pikiran tentang perlindungan terhadap hak-hak manusia fundamental dijumpai dalam risalah-risalah Barat: Baehr, 1989: 22).
HAM muncul seiring dengan kesadaran individual atau posisi individu yang makin menguat di banyak bagian dunia. Khusus di Eropa yang menjadi avant garde HAM, masa-masa Enlightenment atau Aufklaerung dan munculnya golongan borjuis, sangat menonjol sebagai milestones perjalanan HAM. Fakta-fakta tersebut sulit menyembunyikan kenyataan bahwa HAM adalah culture-bound. Seperti diketahui, dalam perjalanan waktu, HAM sudah memasuki generasi ketiga. Generasi pertama adalah hak-hak sipil dan politik; generasi kedua adalah hak-hak sosial dan ekonomi; generasi ketiga memuat hak-hak untuk berkembang (ontwikkeling), kedamaian (vrede), lingkungan bersih, kekayaan alam dalam bumi Yang dihuni (eigen natuurlijke bodemschatten), warisan budaya sendiri (Baehr:16).
Positivisme dalam rnemahami Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, yang menempatkan HAM di atas hukum, negara dan masyarakat (antecedent to positive law and independent of the state), bertolak belakang dengan justificatory theory, yang melihat sistem HAM sebagai suatu skema justifikasi yang lebih kompleks, lebih realistik dan lebih terbuka (open-ended) (An-Na'im, 1992: 397). Menurut An-Na'im, faham tentang HAM "derive solely from man's legal and political status in society" (An-Na'im: 398).
Dalam politik liberal maka individu menjadi titik pusat dan titik tolak dari semua ukuran, terutama mengenai kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, termasuk ekspresi visual. Yang penting diusahakan adalah mensejahterakan individu dan dari situ kesejahteraan masyarakat akan muncul. Kesejahteraan masyarakat diturunkan (deducible) dari kesejahteraan masing-masing individu (An-Na'im: 139).

Alasan saya memilih buku ini : 

Buku ini mengupas hubungan antara hukum dan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam konteks sosial, serta bagaimana praktik hukum memengaruhi dan dipengaruhi oleh dinamika sosial. Ini relevan bagi pembaca yang ingin memahami hukum tidak hanya dari sisi normatif, tetapi juga dalam konteks sosiologis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun