Dewasa ini, influencer di sosial media telah memberikan kontribusi terhadap para remaja melalui unggahan foto penuh manipulasi---dalam konteks editing photoshop.Â
Keluarga Kardashian-Jenner merupakan pelopor dari segelintir tokoh media sosial yang membuat masyarakat awam tertampar bahwa pada akhirnya hanya orang-orang kaya dan cantik saja yang akan menang. Kasus kriminalitas seperti penunggakan pajak oleh Kylie Jenner seakan menguap terhembus angin karena masyarakat tidak peduli; ia cantik, tidak apa-apa membuat salah.
Tidak hanya keluarga Kardashian-Jenner, berbicara tentang tokoh internet yang tidak pernah keluar dari lingkupnya tidak akan menemukan titik terang. Namun, kehadiran mereka sudah cukup jelas melahirkan pandangan yang mempengaruhi psikologis remaja perempuan.Â
Sebelum menelisik apa saja gangguan psikologis yang muncul akibat tekanan sosial media, baiknya kamu mengetahui dengan jelas pengaruh pretty privilege pada kehidupan masyarakat. Secara biologis, konsep dari kecantikan dan ketampanan dipengaruhi oleh reproduksi seksual (Puts et al, 2013). Kamu cenderung menyukai seseorang yang membuatmu tertarik, umumnya mereka lebih sensual. Opini Puts mengenai konsep dari penampilan tersebut dapat mendukung peningkatan jumlah prosedur operasi plastik yang menunjuk Kylie Jenner sebagai sumber inspirasi. Kendati demikian, sebenarnya apa yang membuat kita suka membandingkan diri dengan orang lain? Seorang individu yang belum menginjak usia 25 tahun lebih rentan membandingkan diri dengan orang lain karena masih berada di fase eksplorasi, sehingga singkatnya belum ada keyakinan pada identitas pribadi (Prihadi, Lim, Chan, Lee, & Ridwan, 2020).
Efek dan dampak dari membandingkan diri dengan orang lain didominasi dengan emosi negatif (Taylor & Shelley, 1993). Kamu mungkin saja akan berakhir merasa frustrasi, marah, dan tidak bahagia. Menjadikan seseorang maupun gaya hidup sebagai tolok ukur kebahagiaan adalah sebuah tindakan yang merugikan, karena pengaruhnya terhadap bagaimana kamu merefleksikan diri melalui pikiran dan sikap.Â
Membandingkan diri dengan orang lain dapat menurunkan kepercayaan diri remaja perempuan, serta meningkatkan rasa iri dan tidak puas. Tidak heran insekuritas dan gangguan mental merupakan polemik yang hingga saat ini digadang-gadang sebagai suatu hal yang muncul akibat menjamurnya konten di sosial media.Â
National Institute of Mental Health melaporkan bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental pada remaja usia 18--25 tahun. Fakta tersebut tidak mengherankan karena para remaja umumnya menjadikan media sosial sebagai pembanding diri dan orang lain. Ini dapat merusak citra diri yang sehat.Â
Banyak perempuan merasa penampilannya buruk saat melihat penampilan orang-orang di media sosial. Gangguan makan seperti anoreksia nervosa dan bulimia juga kerap dianggap sebelah mata. Adanya hitungan berat badan ideal yang dilandaskan oleh standar kecantikan yang padahal tidak normal juga menjadikan kondisi psikologis remaja putri kian goyah. Sayangnya, gangguan mental ini tidak dihadapi secara serius bahkan mirisnya dinormalisasikan.
Banyak remaja menganggap bahwa semua yang muncul di media sosial adalah fakta atau kenyataan (Yang, Kim, & Suh, 2012). Padahal hasil foto yang diunggah ke sosial media bisa saja sudah melewati proses sunting dan lensa kamera tidak sesempurna mata manusia. Anggapan bahwa kehidupan harus mengikuti zaman memang tidak salah, tetapi sebagai individu yang bijaksana; tidak seharusnya kita terpaku pada standar yang ditentukan oleh media sosial.Â
Jadilah diri sendiri karena kehidupan ini tidak dijalankan oleh orang lain melainkan kamu sebagai karakter utama. Membandingkan diri dengan orang lain tidak akan menghasilkan pemikiran positif, justru akan membuatmu merasa selalu kurang dan obsesif untuk menjadi sesempurna mungkin.
Untuk mengelola pengaruh media sosial terhadap kepercayaan diri, ada beberapa langkah yang dapat diambil individu. Pertama, penting untuk menyadari bahwa media sosial hanya menampilkan bagian kecil dan seringkali diubah dari kehidupan orang lain. Tidak ada yang sempurna, dan membandingkan diri dengan gambaran yang dihasilkan dari media sosial adalah tidak realistis, mengontrol paparan terhadap konten yang dapat merusak kepercayaan diri, seperti mengurangi waktu yang dihabiskan untuk melihat postingan-peringkat diri yang tidak sehat, dan berinteraksi dengan akun dan kelompok yang positif dan pendukung yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan memberikan dukungan emosional.