Mohon tunggu...
Davi Julio
Davi Julio Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Untirta

an movie addict

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membongkar Kasus Korupsi dan Kolusi di Era Digital

18 Maret 2024   22:03 Diperbarui: 18 Maret 2024   22:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi dan kolusi telah menjadi dua masalah yang berkepanjangan dalam pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dalam artikel ini, kita akan membahas dampak era digital terhadap kasus korupsi dan kolusi serta langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengungkap dan mencegahnya. Kita juga akan membahas pentingnya membangun kepercayaan publik dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai melalui penegakan hukum yang adil dan transparan. Dalam era digital, kasus-kasus korupsi dan kolusi menjadi semakin sulit dideteksi dan diungkap karena kemajuan teknologi yang memungkinkan manipulasi dokumen dan pertukaran informasi secara lebih rahasia. Namun, di sisi lain, teknologi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi dan mengungkap praktik-praktik korupsi dan kolusi yang lebih canggih.

Kasus korupsi di era digital sering kali melibatkan penyalahgunaan anggaran dan penggunaan teknologi dalam layanan publik. Penyalahgunaan anggaran menjadi lebih sulit dideteksi karena dokumen-dokumen dapat diubah secara elektronik, memungkinkan praktik-praktik seperti penggelembungan anggaran dan mark up harga proyek menjadi lebih umum. 

Di sisi lain, layanan publik yang menggunakan teknologi juga rentan terhadap korupsi, seperti penggunaan sistem elektronik dalam pelayanan administrasi yang memudahkan praktik pungutan liar. Teknologi juga memberikan celah bagi praktik kolusi di era digital. Kolusi, yang merupakan kerja sama ilegal antara individu atau kelompok dengan tujuan mencapai keuntungan pribadi atau kelompok, dapat terjadi melalui pertukaran informasi atau manipulasi data secara digital. Contohnya, dalam lelang online atau pemberian kontrak secara digital, kolusi dapat terjadi melalui penawaran palsu atau pengaturan harga.

Namun, meskipun era digital membawa tantangan baru dalam pemberantasan korupsi dan kolusi, teknologi juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkap kasus-kasus tersebut. Big data dan analisis data, misalnya, telah digunakan untuk melacak aliran uang korupsi dan mengidentifikasi pola-pola yang mencurigakan. 

Untuk mengatasi kasus korupsi dan kolusi di era digital, diperlukan tindakan yang tegas dan komitmen dari pemerintah dan masyarakat. Pemerintah harus memperkuat lembaga-lembaga pengawasan dan penegakan hukum, serta meningkatkan transparansi dalam pengadaan barang dan jasa. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kepada pelaku korupsi dan kolusi. Di sisi lain, masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi informasi dan melaporkan kasus korupsi yang mereka temui kepada lembaga yang berwenang.

Pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan proyek. Informasi yang benar dan mudah diakses oleh masyarakat dapat mengurangi risiko korupsi dan kolusi. Selain itu, sistem pengawasan yang kuat juga diperlukan untuk mengurangi peluang terjadinya praktik-praktik tersebut. Peran suara mahasiswa juga sangat penting dalam mengawal penegakan hukum yang berkeadilan. Melalui aksi protes dan kampanye sosial, suara mahasiswa dapat mempengaruhi opini publik, mendorong perubahan kebijakan, dan mempengaruhi jalannya proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi dan kolusi.

Selain itu, pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya korupsi dan kolusi juga perlu ditingkatkan. Pendidikan anti-korupsi dan kampanye publik yang melibatkan masyarakat secara aktif dapat membuat mereka lebih peka terhadap praktik-praktik tersebut.Secara keseluruhan, untuk mengatasi kasus korupsi dan kolusi di era digital, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan suara mahasiswa. Dengan meningkatkan transparansi, memperkuat lembaga-lembaga pengawasan, dan meningkatkan kesadaran masyarakat, kita dapat membangun fondasi yang lebih kuat dalam memerangi korupsi dan kolusi, serta membangun kepercayaan publik yang lebih baik dalam pemerintahan. 

Salah satunya pada kasus Skandal korupsi yang terungkap Desember 2020 ini juga menurut ICW mencatatkan sejumlah kejanggalan, mulai dari pengungkapan yang tak menyeluruh hingga penyidik KPK yang mengungkap kasus justru dipersoalkan atas tuduhan pelanggaran etik, Dalam penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) untuk penanggulangan COVID-19 merupakan salah satu contoh yang mencoreng integritas dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan. 

Kasus semacam ini mencerminkan eksploitasi situasi darurat untuk keuntungan pribadi, yang pada akhirnya merugikan masyarakat yang seharusnya mendapatkan manfaat dari dana bantuan tersebut. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah mengalami kasus korupsi bansos COVID-19 yang melibatkan beberapa pejabat tinggi negara. Kasus-kasus tersebut mencakup berbagai bentuk penyelewengan dana bantuan, mulai dari pemalsuan data penerima hingga pemborosan anggaran yang tidak tepat sasaran. 

Pejabat-pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi tersebut sering kali memanfaatkan posisi dan kekuasaan mereka untuk mengalihkan dana bantuan secara tidak adil, meningkatkan biaya proyek, atau bahkan memalsukan laporan keuangan. Majelis hakim menilai Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Selain itu, hakim juga menjatuhkan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 14.590.450.000 atau sekitar Rp 14,59 miliar.

Penyalahgunaan dana bansos COVID-19 menjadi sorotan publik karena dampaknya yang sangat merugikan bagi masyarakat yang membutuhkan. Dana yang seharusnya digunakan untuk membantu kelompok rentan dan terdampak langsung oleh pandemi justru dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

Hal ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan institusi negara. Ketika kasus korupsi bansos COVID-19 terungkap, masyarakat umumnya merasa kecewa dan marah. Mereka mengharapkan tindakan tegas dari pemerintah untuk mengungkap pelaku korupsi, memulihkan dana yang telah disalahgunakan, serta memberikan sanksi yang sesuai bagi para pelaku. Namun, proses penegakan hukum terkadang diwarnai oleh berbagai hambatan, termasuk intervensi politik, kurangnya transparansi, dan kelemahan dalam sistem pengawasan.

Untuk mengatasi kasus korupsi bansos COVID-19, diperlukan langkah-langkah konkret dari pemerintah dan lembaga penegak hukum. Pertama, pemerintah harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi dengan melakukan investigasi yang mendalam dan transparan terhadap kasus-kasus tersebut. 

Lembaga penegak hukum juga perlu diberikan mandat dan sumber daya yang cukup untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku korupsi. Selain itu, perlu diperkuat mekanisme pengawasan dan kontrol dalam pengelolaan dana bansos. Hal ini termasuk peningkatan transparansi dalam alokasi dan penggunaan dana, serta penguatan sistem pelaporan dan audit. Masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam memantau penggunaan dana bansos dan melaporkan setiap indikasi penyelewengan kepada lembaga yang berwenang.

Selain tindakan penegakan hukum, penting juga untuk mendorong perubahan budaya dan sistem dalam pemerintahan. Hal ini mencakup peningkatan integritas dan akuntabilitas para pejabat publik, serta pembentukan mekanisme insentif dan hukuman yang efektif untuk mencegah praktik korupsi. 

Kasus korupsi bansos COVID-19 menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan tata kelola dan pengelolaan dana publik. Dengan langkah-langkah yang tegas dan komprehensif, kita dapat memastikan bahwa dana bantuan sosial digunakan secara efektif dan efisien untuk membantu mereka yang membutuhkan, serta membangun kepercayaan publik yang lebih kokoh terhadap pemerintahan.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah merdeka hampir selama 78 tahun seperti terdapat pada  Undang-Undang  Dasar (UUD) 1945 Pasal  1  Ayat  3. Bahwa  aspek kesamaan  di  muka hukum untuk setiap warga negara merupakan asas penting negara hukum  

Akan tetapi,  sistem supremasi hukum  Indonesia cenderung menurun. Ini  terbukti  dalam perkara pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT Aria Citra Mulia, seorang Aparat Penegak Hukum yang  terlibat  dalam kasus  gratifikasi  dan penyogokan bernama Bambang Kayun . Sekalipun telah  diputuskan  bersalah,  kasus  ini menyita perhatian rakyat  Indonesia karena  keputusan hukumannya  dianggap  kontroversial.  

Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun, Bekas Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Divisi Hukum Polri,  terbukti  melanggar kode  etik  dan profesi polri (KEPP) di Propam Polri pada Oktober  2016.  Dalam kasus itu, Bambang disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Setelah itu, Bambang ditahan dan menjadi tersangka pada 3 Januari 2023. 

Dan pada saat yang bersamaan praktik suap semakin mengancam integritas aparat penegak hukum, tidak hanya terbatas pada hakim agung, tetapi juga melibatkan anggota Mabes Polri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan dugaan praktik suap yang dilakukan oleh anggota Mabes Polri.

Kasus gratifikasi yang melibatkan aparat penegak hukum terjadi dari 6 Desember 2016 hingga April 2021. KPK menahan Ajun Komisaris Besar Bambang Kayun, mantan Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri, sebagai tersangka penerima gratifikasi senilai lebih dari Rp 50 miliar dari beberapa pihak. Penerimaan suap dari beberapa pihak pertama kali terungkap melalui kasus pengurusan perkara pemalsuan surat dalam perselisihan hak waris PT Aria Citra Mulia. Dalam konferensi pers yang diadakan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada hari Selasa, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan bahwa Bambang diduga menerima imbalan sebesar Rp 6 miliar dan sebuah mobil mewah dari Emilya Said dan Herwansyah.  

Kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan aparat penegak hukum merupakan contoh serius dari penyimpangan dalam sistem peradilan yang seharusnya menjaga keadilan dan integritas. Ketika aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pelindung hukum malah terlibat dalam praktik korupsi, hal tersebut tidak hanya merusak citra lembaga penegak hukum, tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Kasus semacam ini seringkali melibatkan polisi, jaksa, atau hakim yang menerima suap atau gratifikasi untuk mempengaruhi jalannya proses hukum. Contohnya, polisi mungkin menerima suap untuk menghentikan penyelidikan atau menutupi tindak kriminal, jaksa mungkin menerima suap untuk menghentikan penuntutan atau menunda persidangan, sedangkan hakim mungkin menerima suap untuk memutuskan putusan yang menguntungkan pihak tertentu.

Penyimpangan ini tidak hanya mempengaruhi keadilan dalam kasus individu yang terlibat, tetapi juga berdampak luas terhadap sistem peradilan secara keseluruhan. Keberadaan korupsi dalam aparat penegak hukum menimbulkan keraguan terhadap keadilan, menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, dan membuka peluang bagi praktik korupsi yang lebih luas dalam masyarakat.

Untuk mengatasi kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan aparat penegak hukum, diperlukan tindakan yang tegas dari pemerintah dan lembaga penegak hukum. Pertama, perlu dilakukan penyelidikan dan penuntutan yang transparan terhadap para pelaku korupsi, tanpa pandang bulu terhadap jabatan atau pangkat mereka. Sanksi yang tegas harus diberikan kepada para pelaku sebagai bentuk penegakan hukum yang adil dan efektif.

Selain itu, perlu ditingkatkan pengawasan internal dalam lembaga penegak hukum untuk mencegah terjadinya praktik korupsi. Mekanisme pelaporan yang efektif harus diperkuat, sehingga anggota aparat penegak hukum merasa nyaman untuk melaporkan indikasi korupsi tanpa takut akan balasan atau pembalasan. Selain itu, perlunya pengawasan eksternal dari masyarakat dan lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau organisasi hak asasi manusia untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam penegakan hukum.

Selain upaya penegakan hukum, penting juga untuk memperkuat integritas dan moralitas dalam aparat penegak hukum melalui pelatihan dan pembinaan. Pembentukan budaya organisasi yang berintegritas dan berkomitmen terhadap keadilan harus didorong, serta penghargaan dan pengakuan bagi mereka yang menunjukkan integritas dalam tugas mereka.

Kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan aparat penegak hukum merupakan tantangan serius dalam upaya membangun sistem peradilan yang adil dan berintegritas. Dengan tindakan yang tegas dan komprehensif dari pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat, kita dapat memastikan bahwa aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas mereka dengan baik tanpa terpengaruh oleh praktik korupsi, serta memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

korupsi oleh aparat penegak hukum terjadi akibat kurangnya kontrol dan besarnya kewenangan yang dimiliki pejabat penegak hukum dalam proses penegakan hukum. Minimnya pengawasan dan pembinaan membuat aparat penegak hukum nekat melakukan pidana.

Apabila   kita   kaitkan   dengan   Undang-Undang   nomor   28   Tahun   1999   Pasal   1   tentang Penyelenggara  Negara  yang Bersih dan  Bebas  dari  Korupsi,  Kolusi,  dan   nepotisme  berbunyi "Penyelenggara Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,  legislative, yudikatif  yang  menaati  asas-asas  umum  penyelenggaraan  Negara  dan  bebas  dari  praktek  Korupsi,  Kolusi,  dan  Nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya."Bunyi dari pasal tersebut memberikan makna bahwa setiap penyelenggara Negara harus professional dan mentaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara yang baik sehingga dapat menghasilkan pelayanan yang prima kepada masyarakat. 

Dalam  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  yang  kemudian  direvisi  menjadi  Undang-Undang  Nomor  20 Tahun 2001  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  menjelaskan  bahwa korupsi  merupakan  perbuatan  yang  buruk  seperti penggelapan  uang,  penerimaan  uang  sogok,  dan sebagainya  termasuk  perbuatan  menggunakan  barang  publik,  bisa  berupa uang dan  jasa  untuk kepentingan memperkaya diri dan bukan untuk kepentingan publik.

Dan adapun solusi untuk Membangun kepercayaan publik melalui penegakan hukum yang berkeadilan dalam era digital merupakan tantangan besar, namun dapat dicapai melalui serangkaian langkah strategis. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk membongkar kasus korupsi dan kolusi di era digital serta membangun kepercayaan publik:

  1. Penguatan Sistem Pengawasan dan Penegakan Hukum:
    • Memperkuat lembaga-lembaga pengawasan seperti KPK, BPK, dan lembaga pengawas lainnya dengan sumber daya yang memadai dan independensi yang tinggi.
    • Meningkatkan koordinasi antara lembaga-lembaga penegak hukum untuk memastikan penanganan kasus korupsi dan kolusi yang efektif dan terkoordinasi.
  2. Pemanfaatan Teknologi:
    • Menggunakan teknologi seperti big data, analisis data, dan kecerdasan buatan untuk mendeteksi pola-pola yang mencurigakan dalam pengelolaan keuangan dan proyek-proyek pemerintah.
    • Meningkatkan transparansi dengan menggunakan platform digital untuk melaporkan dan memantau penggunaan dana publik.
  3. Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat:
    • Melakukan kampanye penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya korupsi dan kolusi serta pentingnya transparansi dalam pemerintahan.
    • Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan praktik korupsi dan kolusi.
  4. Penghormatan terhadap Hukum dan Integritas:
    • Memastikan penegakan hukum yang tidak diskriminatif dan transparan tanpa adanya intervensi politik.
    • Meningkatkan pendidikan etika dan integritas bagi aparat penegak hukum untuk mendorong perilaku yang jujur dan profesional.
  5. Kerjasama Internasional:
    • Menggalang kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional dan negara lain dalam pemberantasan korupsi dan kolusi yang lintas batas.
  6. Peningkatan Akuntabilitas:
    • Mendorong pemerintah untuk mempublikasikan informasi terkait anggaran dan proyek-proyek pemerintah secara terbuka dan mudah diakses oleh publik.
    • Memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas di lembaga-lembaga pemerintah untuk mengurangi peluang terjadinya penyelewengan.
  7. Pemberdayaan Mahasiswa dan Aktivis Sipil:
    • Mendukung peran mahasiswa dan aktivis sipil dalam mengawal penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan.
    • Memberikan ruang partisipasi bagi mahasiswa dan aktivis sipil dalam proses pengambilan keputusan terkait pemberantasan korupsi dan kolusi.

Dengan penerapan langkah-langkah ini secara konsisten dan komprehensif, diharapkan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan dapat terwujud, kasus-kasus korupsi dan kolusi dapat diungkap, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum dapat dibangun dan dipertahankan.

Dalam menghadapi tantangan korupsi dan kolusi di era digital, penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menjadi krusial. Prinsip-prinsip ini, sebagaimana yang diadvokasi oleh Program Pembangunan PBB (UNDP), mencakup transparansi, akuntabilitas, partisipasi, efektivitas, dan aturan hukum yang berkeadilan. Dengan memperkuat tata kelola pemerintahan yang baik, pemerintah dapat membangun kepercayaan publik yang kuat dan meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum.

Melalui transparansi, pemerintah harus terbuka dalam pengelolaan keuangan dan proyek-proyek publik, memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi secara bebas dan mudah. Hal ini akan memberikan kontrol lebih besar kepada publik dalam memantau dan melaporkan praktik korupsi dan kolusi.

Akuntabilitas juga menjadi kunci dalam membangun kepercayaan publik. Pemerintah harus bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan mereka, serta siap untuk dipertanggungjawabkan atas pelanggaran yang dilakukan. Ini termasuk sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi dan kolusi.

Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga penting untuk mendorong pertanggungjawaban dan transparansi. Dengan memberikan ruang bagi mahasiswa, aktivis, dan masyarakat umum untuk berpartisipasi dalam pemantauan dan pelaporan praktik korupsi, pemerintah dapat memperkuat kontrol sosial dan memperbaiki sistem penegakan hukum.

Efektivitas dan keadilan dalam penegakan hukum juga harus diutamakan. Pemerintah perlu memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan dengan cepat, adil, dan tanpa diskriminasi. Ini akan memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa tidak ada yang dikecualikan dari pertanggungjawaban hukum.

Terakhir, penerapan aturan hukum yang berkeadilan menjadi dasar dalam memastikan bahwa setiap individu, termasuk aparat penegak hukum, diperlakukan sama di hadapan hukum. Hal ini memastikan bahwa tidak ada yang dikecualikan dari pertanggungjawaban hukum dan setiap pelanggaran dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku.

Dengan memperkuat prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik ini, diharapkan bahwa penegakan hukum yang berkeadilan dapat terwujud, kasus-kasus korupsi dan kolusi dapat diungkap, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga penegak hukum dapat diperkuat.

Akmal, A. (2022). Gratifikasi Sebagai Bentuk Suap Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2001. MIMBAR ADMINISTRASI FISIP UNTAG Semarang, 19(2), 98-102

Lestari, S. I. A. (2023). TINDAK KORUPSI: BUDAYA PRAKTIK GRATIFIKASI DALAM PELAYANAN ADMINISTRATIF MASYARAKAT (ANALISIS SOSIOLOGI KORUPSI). Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online), 3(2), 120-125.

Mawikere, A. L. (2016). Tanggungjawab Pidana Terhadap Perbuatan Gratifikasi Sebagai Tindak Pidana Korupsi. Lex Crimen, 5(1).

Susanto, A. A., & Fernando, F. (2022). Analisis sosiologi korupsi terhadap praktik gratifikasi pada layanan publik pemerintah. Jurnal Kolaboratif Sains, 5(12), 828-833.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun