Mohon tunggu...
David Yalahe
David Yalahe Mohon Tunggu... Seniman - Pengarah Kreatif di Kutukata Indonesia

Penulis Kisah Fiksi | Produser Musik | Pegiat Seni Kentrung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CERPEN] Umar Kolam sang Pendobrak Kejanggalan

7 November 2024   20:01 Diperbarui: 7 November 2024   20:22 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar: Media ajaib canva
Gambar: Media ajaib canva


Aku masih mengais luka;

merangkak perlahan, tubuhku menggores tanah,

seperti tiada sisa waktu bagiku tuk lepas dari nestapa.

Entah, mengapa selalu aku terima,

tak jua kuasa bertanya.

Inikah kasih?

Inikah cinta?

Atau hanya ini saja yang aku bisa?

Dipinggirkan oleh kenyataan sudah bukan hal asing bagiku. Bangku lusuh ini, yang sedikit berdecit saat diduduki, setia mendengar keluhanku hari demi hari. Mungkin dia juga lelah, harus menopang separuh resahku setiap saat. Rasanya, aku tak pernah betul-betul berhenti menggerutu melihat dunia di sekelilingku.

"Masih bocah, tahu apa soal dunia?" kata ibuku suatu hari, menatapku sambil tersenyum kecil. Mungkin ada benarnya; aku memang belum layak memperjuangkan banyak hal. Bahkan untuk sekadar mendapat nilai bagus, aku harus ikut les privat dengan salah satu guru di sekolah ini. Namun, bagi bocah SMP yang uang sakunya cuma tiga ribu rupiah, itu hanyalah angan. Begitulah aku, hanya bocah yang hidup dalam dunia khayal.

"Mar! Umar, sudah istirahat! Kamu gak mau keluar kelas?" suara Sony membuyarkan lamunanku. Dia menepuk lenganku dengan penuh semangat. Ajakan bermain keluar yang selalu sama, hanya pindah duduk dari bangku kelas ke bangku taman.

"Yah, bangku taman dan kolam kodok lagi nih?" ucapku datar

"Tempat ini akan jadi sejarah, Mar! Dari sekian banyak titik di sekolah, cuma di taman kolam kodok ini konspirasi-konspirasi penting muncul," Sony berkata penuh keyakinan.

Aku tersenyum miring. "Konspirasi itu cuma khayalan, Son. Idealisme itu juga khayalan, hanya ada di kepala kita. Yang nyata itu ketika kita pengen dapat nilai bagus, harus beli kisi-kisi dari les privat."

"Itu justru konspirasinya! Tapi... iya sih, aku juga ngerasa ada yang aneh." Sony berseru sambil mengangguk serius.

"Emangnya kamu ngerasa gimana?"

"Gini, aku bingung. Kenapa ya setiap anak yang ikut les privat Pak Servo, selalu dapat nilai bagus di ujian Fisika? Bahkan si Baidowi yang pemalas itu bisa dapat nilai 98."

"Ya, artinya kalau mau dapat nilai bagus, harus ikut privat. Hafal kisi-kisi, hafal kunci jawaban." Aku menyahut pelan.

"Hush! Gak boleh ngomong gitu, Mar. Kita harus tetap berpikir positif. Siapa tahu, Pak Servo memang guru ajaib, bisa bikin orang jadi pintar instan."

"Jadi pintar instan? Maksudmu kayak diseduh pakai air panas dan ditaburi bumbu, terus langsung pintar?"

"Yaelah, gak begitu juga, kali!"

Sony tertawa kecil, menepuk pundakku sambil melemparkan senyum yang sudah kukenal, senyum tipis yang penuh dengan keraguan dan sedikit candaan, seolah menganggap semua ini hanya bualan anak SMP yang tidak tahu apa-apa.

"Aku cuma merasa heran aja, Mar. Dunia ini rasanya tidak adil." Sony menghela napas, menatap lurus ke depan, memandangi kolam kodok yang airnya sudah tak lagi jernih. "Kita cuma bocah SMP, tapi sudah berpikir kalau keadilan itu cuma ilusi. Kalau kamu gak punya duit, yah... gak bisa ikut privat, gak bisa dapat nilai bagus."

Aku mengangguk pelan. Sebetulnya, di balik semua candaanku, aku juga merasakan keresahan yang sama. Semua hal yang tampak penting seperti nilai, uang, atau peringkat di kelas, semua terasa begitu jauh dan tak terjangkau.

"Kamu pernah ngebayangin gak, Son, kalau kita bisa punya dunia sendiri, tanpa kisi-kisi, tanpa bayar, tanpa perbedaan anak yang punya uang dan yang gak?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada ke Sony.

Sony mengerutkan kening, seolah sedang mencoba memahami imajinasi liarku. "Dunia sendiri? Maksudmu kayak... pulau tak bertuan?"

"Ya, semacam itu," aku menjawab dengan mantap. "Bayangkan kalau kita bisa bikin dunia baru, kayak taman ini, tapi lebih besar. Kita yang tentukan aturannya. Di sana, orang pintar karena belajar, bukan karena punya uang."

Sony termenung, lalu tiba-tiba terkekeh lagi. "Kamu beneran banyak berkhayal, Mar. Tapi... siapa tahu khayalan itu bisa jadi nyata?"

Aku tersenyum getir, entah apakah Sony benar-benar mengerti maksudku. Namun, ide itu terpatri di pikiranku sejak hari itu. Mungkin aku hanyalah bocah yang melamun di bangku taman, tapi di kepalaku, aku sedang merencanakan sebuah dunia baru---sebuah dunia di mana nilai manusia diukur bukan dari uang yang mereka punya, tapi dari usaha yang mereka lakukan.

Setiap kali aku merasa jenuh atau kecewa, aku membayangkan diriku berdiri di dunia itu, dunia yang bebas dari "kisi-kisi" kehidupan yang membuat semua terasa palsu. Mungkin suatu hari nanti, aku akan menemukannya. Tapi, untuk sekarang, aku masih di sini, di bangku taman bersama Sony, di kolam kodok yang penuh dengan refleksi mimpi-mimpi yang belum tercapai.

"Jadi, kapan kita mulai petualangan ini, Mar?" Sony mengangkat alis, terlihat setengah bercanda namun juga serius.

"Segera," jawabku dengan percaya diri. "Kita akan mulai dari sini. Taman kolam kodok ini akan jadi saksi pertama."

Sejak obrolan di bangku taman itu, aku dan Sony semakin penasaran dengan sosok Pak Servo. Semua anak yang ikut les privatnya memang selalu dapat nilai fantastis, bahkan Baidowi si pemalas bisa menyamai si juara kelas. Ada yang mengatakan Pak Servo punya jurus maut dalam mengajar, tapi apa sebenarnya?

Rasa ingin tahu ini semakin memuncak hingga suatu hari, tanpa direncanakan, aku bertemu Pak Servo di kantin. Dia duduk sendiri sambil menyeruput kopi, tampak begitu tenang di tengah riuh anak-anak yang makan siang. Entah keberanian dari mana, aku mendekat.

"Pak Servo," sapaku pelan, setengah berharap beliau tidak mendengarnya. Tapi ternyata beliau menoleh dan tersenyum.

"Umar, kan? Ada yang bisa dibantu?" tanyanya, nada suaranya ramah tapi penuh wibawa.

"Iya, Pak," aku sedikit gugup, tapi ada pertanyaan yang sejak lama ingin kutanyakan. "Bapak... apa benar Bapak punya cara khusus buat bikin anak-anak yang ikut les privat jadi pintar mendadak?"

Pak Servo terkekeh pelan, dan isyaratkan agar aku duduk di depannya. "Kamu penasaran, ya? Sebenarnya, tidak ada jurus ajaib di sini. Yang ada hanya drill, latihan keras berulang-ulang sampai mereka hafal soal di luar kepala."

"Tapi, Pak... mereka katanya sampai ngos-ngosan. Mukanya kayak tempe penyet, tapi mereka terus berusaha demi nilai bagus."

Pak Servo mengangguk, sedikit senyum tersirat di wajahnya. "Benar sekali. Metode itu memang menguras tenaga, fisik, dan pikiran mereka. Saya minta mereka mengulang materi berkali-kali, latihan tanpa henti sampai tuntas. Karena kalau hanya diberi teori, mereka tidak akan tahan di depan soal ujian."

Aku termenung, lalu tanpa sadar suara hatiku muncul begitu saja, "Tapi, Pak, kalau cara itu hanya bikin mereka hafal sementara, bukankah setelah ujian mereka akan lupa lagi? Ilmu itu kan lebih dari sekadar jawaban yang hafal saat ujian, ilmu seharusnya jadi bagian dari jati diri kita."

Pak Servo menatapku, kali ini matanya menyipit, seakan benar-benar mendengar dan mempertimbangkan kata-kataku. "Umar, kamu benar. Tapi kamu tahu? Tidak semua anak punya kesempatan berpikir sampai sejauh itu. Banyak dari mereka yang terburu-buru untuk mencapai nilai bagus demi bisa lanjut ke sekolah lebih tinggi. Mereka tidak peduli apakah ilmunya melekat atau tidak---yang penting mereka bisa bertahan."

Aku terdiam. Penjelasannya menampar sisi idealku. Beliau meneruskan, "Aku ingin mereka bertahan dalam sistem yang kejam ini. Jika tidak kupaksa, mereka akan tertinggal jauh dari anak-anak yang memang punya lebih banyak fasilitas."

Aku mengangguk perlahan, mulai paham mengapa Pak Servo melakukan semua ini. Dia seperti sosok penjaga bagi anak-anak yang tak punya kesempatan lebih. Tapi, aku tetap merasa ada yang salah dengan cara ini.

"Pak... saya cuma merasa, sistem ini seakan memaksa kita jadi mesin hafalan, bukan manusia yang belajar sungguh-sungguh. Apa jadinya kalau kita hanya mengisi memori sementara, hanya untuk soal ujian?"

Pak Servo terdiam sejenak, menatap jauh, seolah-olah merenungkan sesuatu yang berat. "Mungkin kamu benar, Umar. Kamu adalah pengingat bahwa belajar seharusnya menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala. Mungkin, suatu hari nanti, kamu akan menemukan cara baru. Tapi untuk saat ini, tugasku adalah memastikan anak-anak ini bisa berjuang, meski dengan cara yang keras."

Aku mengangguk, tak bisa menyanggah. Aku tidak sepenuhnya setuju, tapi aku paham. Dan mungkin, saat itulah aku mulai merancang mimpi baru: sebuah dunia di mana belajar tak sekadar soal nilai, tapi soal menemukan dan memahami diri kita sendiri.

Setelah pertemuan dengan Pak Servo itu, aku dan Sony semakin sering berdiskusi di kolam kodok, bangku taman yang lusuh, tempat semua keluhan dan impian kami tertinggal seperti debu yang menempel di kayunya. Teman-teman mulai memanggil kami "Umar Kolam" dan "Sony Kodok"---julukan yang mereka pikirkan karena kami hampir selalu terlihat di dekat kolam, melamun dan berdiskusi soal dunia kami sendiri.

"Umar Kolam dan Sony Kodok," Sony tertawa kecil suatu hari sambil menatap refleksinya di air kolam yang keruh, "kayaknya lucu juga, ya? Dunia sudah tahu kalau tempat ini adalah 'kantor' kita."

Aku tersenyum mendengar nada optimisme di balik candaannya. Nama-nama itu akhirnya menjadi simbol dari mimpi-mimpi kami yang tak lekang oleh tempat maupun keadaan. Kami bukan lagi hanya bocah yang berkutat dengan khayalan, tapi dua sahabat yang berbagi harapan untuk dunia yang lebih adil, sebuah dunia di mana nilai tidak hanya diukur dari angka, dan belajar adalah tentang memahami, bukan sekadar menghafal. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun