Mohon tunggu...
David Yalahe
David Yalahe Mohon Tunggu... Seniman - Pengarah Kreatif di Kutukata Indonesia

Penulis Kisah Fiksi | Produser Musik | Pegiat Seni Kentrung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CERPEN] Umar Kolam sang Pendobrak Kejanggalan

7 November 2024   20:01 Diperbarui: 7 November 2024   20:22 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Media ajaib canva

Aku termenung, lalu tanpa sadar suara hatiku muncul begitu saja, "Tapi, Pak, kalau cara itu hanya bikin mereka hafal sementara, bukankah setelah ujian mereka akan lupa lagi? Ilmu itu kan lebih dari sekadar jawaban yang hafal saat ujian, ilmu seharusnya jadi bagian dari jati diri kita."

Pak Servo menatapku, kali ini matanya menyipit, seakan benar-benar mendengar dan mempertimbangkan kata-kataku. "Umar, kamu benar. Tapi kamu tahu? Tidak semua anak punya kesempatan berpikir sampai sejauh itu. Banyak dari mereka yang terburu-buru untuk mencapai nilai bagus demi bisa lanjut ke sekolah lebih tinggi. Mereka tidak peduli apakah ilmunya melekat atau tidak---yang penting mereka bisa bertahan."

Aku terdiam. Penjelasannya menampar sisi idealku. Beliau meneruskan, "Aku ingin mereka bertahan dalam sistem yang kejam ini. Jika tidak kupaksa, mereka akan tertinggal jauh dari anak-anak yang memang punya lebih banyak fasilitas."

Aku mengangguk perlahan, mulai paham mengapa Pak Servo melakukan semua ini. Dia seperti sosok penjaga bagi anak-anak yang tak punya kesempatan lebih. Tapi, aku tetap merasa ada yang salah dengan cara ini.

"Pak... saya cuma merasa, sistem ini seakan memaksa kita jadi mesin hafalan, bukan manusia yang belajar sungguh-sungguh. Apa jadinya kalau kita hanya mengisi memori sementara, hanya untuk soal ujian?"

Pak Servo terdiam sejenak, menatap jauh, seolah-olah merenungkan sesuatu yang berat. "Mungkin kamu benar, Umar. Kamu adalah pengingat bahwa belajar seharusnya menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala. Mungkin, suatu hari nanti, kamu akan menemukan cara baru. Tapi untuk saat ini, tugasku adalah memastikan anak-anak ini bisa berjuang, meski dengan cara yang keras."

Aku mengangguk, tak bisa menyanggah. Aku tidak sepenuhnya setuju, tapi aku paham. Dan mungkin, saat itulah aku mulai merancang mimpi baru: sebuah dunia di mana belajar tak sekadar soal nilai, tapi soal menemukan dan memahami diri kita sendiri.

Setelah pertemuan dengan Pak Servo itu, aku dan Sony semakin sering berdiskusi di kolam kodok, bangku taman yang lusuh, tempat semua keluhan dan impian kami tertinggal seperti debu yang menempel di kayunya. Teman-teman mulai memanggil kami "Umar Kolam" dan "Sony Kodok"---julukan yang mereka pikirkan karena kami hampir selalu terlihat di dekat kolam, melamun dan berdiskusi soal dunia kami sendiri.

"Umar Kolam dan Sony Kodok," Sony tertawa kecil suatu hari sambil menatap refleksinya di air kolam yang keruh, "kayaknya lucu juga, ya? Dunia sudah tahu kalau tempat ini adalah 'kantor' kita."

Aku tersenyum mendengar nada optimisme di balik candaannya. Nama-nama itu akhirnya menjadi simbol dari mimpi-mimpi kami yang tak lekang oleh tempat maupun keadaan. Kami bukan lagi hanya bocah yang berkutat dengan khayalan, tapi dua sahabat yang berbagi harapan untuk dunia yang lebih adil, sebuah dunia di mana nilai tidak hanya diukur dari angka, dan belajar adalah tentang memahami, bukan sekadar menghafal. [ ]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun