Mohon tunggu...
David Yalahe
David Yalahe Mohon Tunggu... Seniman - Pengarah Kreatif di Kutukata Indonesia

Penulis Kisah Fiksi | Produser Musik | Pegiat Seni Kentrung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[CERPEN] Umar Kolam sang Pendobrak Kejanggalan

7 November 2024   20:01 Diperbarui: 7 November 2024   20:22 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hush! Gak boleh ngomong gitu, Mar. Kita harus tetap berpikir positif. Siapa tahu, Pak Servo memang guru ajaib, bisa bikin orang jadi pintar instan."

"Jadi pintar instan? Maksudmu kayak diseduh pakai air panas dan ditaburi bumbu, terus langsung pintar?"

"Yaelah, gak begitu juga, kali!"

Sony tertawa kecil, menepuk pundakku sambil melemparkan senyum yang sudah kukenal, senyum tipis yang penuh dengan keraguan dan sedikit candaan, seolah menganggap semua ini hanya bualan anak SMP yang tidak tahu apa-apa.

"Aku cuma merasa heran aja, Mar. Dunia ini rasanya tidak adil." Sony menghela napas, menatap lurus ke depan, memandangi kolam kodok yang airnya sudah tak lagi jernih. "Kita cuma bocah SMP, tapi sudah berpikir kalau keadilan itu cuma ilusi. Kalau kamu gak punya duit, yah... gak bisa ikut privat, gak bisa dapat nilai bagus."

Aku mengangguk pelan. Sebetulnya, di balik semua candaanku, aku juga merasakan keresahan yang sama. Semua hal yang tampak penting seperti nilai, uang, atau peringkat di kelas, semua terasa begitu jauh dan tak terjangkau.

"Kamu pernah ngebayangin gak, Son, kalau kita bisa punya dunia sendiri, tanpa kisi-kisi, tanpa bayar, tanpa perbedaan anak yang punya uang dan yang gak?" tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada ke Sony.

Sony mengerutkan kening, seolah sedang mencoba memahami imajinasi liarku. "Dunia sendiri? Maksudmu kayak... pulau tak bertuan?"

"Ya, semacam itu," aku menjawab dengan mantap. "Bayangkan kalau kita bisa bikin dunia baru, kayak taman ini, tapi lebih besar. Kita yang tentukan aturannya. Di sana, orang pintar karena belajar, bukan karena punya uang."

Sony termenung, lalu tiba-tiba terkekeh lagi. "Kamu beneran banyak berkhayal, Mar. Tapi... siapa tahu khayalan itu bisa jadi nyata?"

Aku tersenyum getir, entah apakah Sony benar-benar mengerti maksudku. Namun, ide itu terpatri di pikiranku sejak hari itu. Mungkin aku hanyalah bocah yang melamun di bangku taman, tapi di kepalaku, aku sedang merencanakan sebuah dunia baru---sebuah dunia di mana nilai manusia diukur bukan dari uang yang mereka punya, tapi dari usaha yang mereka lakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun