Menjelang senja seperti ini biasanya kita bersiap menyeduh kopi. Berdua, kita nikmati seteguk demi seteguk kopi ini sambil bersenda gurau dan berbincang tentang banyak impian.
Di Petakan kecil yang orang lain pun enggan mampir, kita serasa punya tempat untuk berdua. Menguasai ruang yang tidak semua orang punya.
Lalu satu-satu, impian itu kita raih. Tapi kopi ini tak lebih nikmat dari senja lalu. Karena waktu telah menyita banyak waktumu, waktuku, waktu kita.
Dan kemesraan yang dulu seakan hanya punya kita, sekarang kita nikmati sendiri-sendiri. Di ruang yang terbatas privasi.
Menjelang senja disini, kulit kita mulai terasa keriput. Ketajaman mata telah jauh menyusut. Wajah kita kusam, dan rambut kita telah mulai beruban. Kekasih, senja itu masih sabar menunggu kopi yang kamu seduh dengan cinta penuh...
Kenapa semangat itu menghabiskan energi kamu, energi aku? Padahal ruang ini berbatas waktu. Senja ini tak selamanya bisa menunggu. Sementara malam tidak sabar untuk mendatangkan kelam.
Menjelang senja ini, aku tak ingin kehilangan mentariku. Ia telah menemani hariku dengan peluh. Memberi keringat sebagai tanda tunainya tugas berat. Memberi semangat dari impian-impian yang pernah kita buat.
Sampai akhirnya seteguk kopi di penghujung senja itu terasa begitu nikmat...
Menjelang senja ini, tidak ada salahnya kita mengenang masa lalu. Rumah besar ini terlalu ganas untuk kita. Kita cuma butuh sebuah ruang kecil. Di sana cuma ada kamu, aku, dua gelas kopi, dan senja yang bersenandung manja...
Bekasi, 15 November 2014
(Seperti ditulis juga disini)