Entahlah apa yang ada di pikiran para pemuda saat mengambil keputusan untuk kuliah. Mungkin salah satu alasan kuliah adalah seperti saya, "supaya bisa dapat pekerjaan". Awal-awal masa kuliah saya pikir, saya harus bisa berprestasi dengan indeks prestasi kumulatif yang tinggi sehingga saya bisa dengan mudah diterima bekerja, apalagi saya lulusan universitas terkemuka mahal di Jakarta. Tapi di tengah-tengah perjalanan kuliah saya berpikir ulang mengapa saya berkuliah. Perenungan saya akhirnya menemukan, saya kuliah supaya saya bisa jadi "tukang hukum" kebetulan saya seorang sarjana hukum. Tukang hukum di sini sebanding dengan tukang bangunan, bukan diartikan sebagai orang yang senang menghukum orang lain.
(sumber gambar: hamdandesign.net)
Kenapa jadi tukang? Karena dengan pengetahuan-pengetahuan yang saya dapatkan dari proses kuliah memberikan saya bahan-bahan untuk mengkonstruksikan solusi-solusi atas permasalahan di lapangan praktik maupun ilmu hukum. Terlepas apakah saya mengkonstruksikan solusi, lalu dijual secara komersial dalam bentuk legal opinion atau hanya sekedar saran gratisan. Tapi intinya, pelajaran-pelajaran itu adalah bahan-bahan bangunan yang sewaktu-waktu saya pakai untuk membangun. Selayaknya suatu bangunan, batu, semen, kayu, pasir, perlu dirangkaikan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Begitu pun dengan pelajaran-pelajaran di fakultas, dirangkai secara hati-hati dengan jalinan nalar, mana yang tepat sebagai fondasi, berapa takaran semen, air agar kuat merekatkan batu-batu dan menjadi sebuah dinding. Itulah seharusnya manfaat pengetahuan. Tapi beberapa kali saya menemukan sarjana-sarjana bernalar rendah.Teori-teori disusun tanpa melihat konteksnya, kesannya "pengen banget" dibilang ahli. Persoalannya adalah, di sini si sarjana tidak paham, teori itu dibangun sebagai semenkah, atau sebagai batako yang merupakan campuran semen dan pasir, atau justru itu sudah menjadi atap yang utuh. Semua teori blassss, ada nyangkut-nyangkut sedikit, langsung masukkan. Pun ketika memasuki perbedaan pandangan dan muncul perdebatan, terjadilah kesesatan dan penyesatan nalar. Banyak sekali sarjana-sarjana yang asal "njeplak" alias asal ngomong. Memang kelasnya beda dengan "orang yang ga sekolah". Levelnya sedikit lebih tinggi, kalaulah tidak memperhatikan, kita bisa tertipu dengan argumentasi-argumentasi kacau sang sarjana. Tapi argumentasi ini rapuh, mudah dibongkar dan mudah dibuktikan argumentasi tadi "ngarang" dan "ngasal" belaka. Inilah seharusnya menjadi keprihatinan bagi kita semua, produk pendidikan tinggi yang dicetak secara asal-asalan yang menghasilkan solusi asal-asalan dalam bekerja maupun sekedar memaparkan pandangan. Hal ini pun bisa terjadi karena dosennya pun merupakan produk asal-asalan dari angkatan sebelumnya. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana seorang profesor atau GURU BESAR, mengklaim hasil penelitian kecil dengan 400 responden sebagai sebuah survey nasional. Malangnya, penelitian ini pun tentang "gaya hidup anak". 400 responden yang digeneralisir untuk mewakili jutaan anak dalam angka-angka prosentase. Inilah Asal-asalan yang bisa mengacaukan pandangan masyarakat secara luas. Singkatnya kekacauan ini muncul dari kesesatan penalaran atau logika. Si profesor saja ngasal, bagaimana dengan sarjana yang merupakan muridnya, sangat mungkin hasilnya lebih asal-asalan. Di pendidikan tinggi seharusnya penalaran seharusnya mendapat perhatian yang besar, bahkan perlu mendapat porsi lebih besar dari mata kuliah keilmuan. Karena rangkaian fakta, teori, ilmu pengetahuan, tidak ada gunanya jika tanpa penalaran yang tepat. Bahkan ada seorang sarjana dari jurusan kriminologi dan kebetulan saat ini duduk di sebelah saya, tidak pernah mendengar istilah, inferensi. Gila, bagaimana bisa menguraikan masalah-masalah dalam criminal policy, law enforcement, criminalistic, dan forensic kalau pelajaran logika saja tidak dapat. Hasilnya pun sangat terasa, argumentasi berputar-putar bahkan memanipulasi data dan fakta untuk membenarkan dirinya. Saya hanya bisa menyerahkannya pada Yang Maha Kuasa, agar diberikan petunjuk sewajarnya. Perlu dipertanyakan juga standar penerimaan dan pengajaran mahasiswa di universitas. Beberapa tahun lalu, saya kuliah memang seperti anak sekolah, catat dan hafalkan, besok keluar dalam ujian. Perkuliahan berupa analisa yang mengharuskan sebuah konstruksi pemikiran yang didasarkan pada fakta dan teori-teori. Jadilah para sarjana "ahli menjawab soal", bukan menjawab persoalan. Kita harus segera menggeser paradigma pendidikan tinggi kita, sarjana-sarjana yang dihasilkan haruslah merupakan tukang-tukang yang ahli di bidangnya dan mampu memberikan solusi yang memadai dengan dasar keilmuannya. Dosen-dosen yang ada pun perlu dikaji kembali eksistensinya, bukan cuma soal menyandang gelar magister ini-itu. Tapi perlu diukur seberapa mampu mendorong mahasiswa untuk berpikir kritis analitis. Pendidikan tinggi saya yakin bukan pencetak sarjana yang sekedar menghafal, seperti menghafal dogma. Tapi ilmu pengetahuan perlu dibongkar, diperiksa, diuji, dan kembali dikonstruksikan. Dan bagi seorang tukang (sarjana), perlu menjajaki pelajaran yang didapatkan dengan kenyataan di lapangan, dan bagaimana mengurai dan menyelesaikan masalah-masalah itu secara komprehensif sehingga bangunan yang dibuatnya tidak miring dan ambruk, apalagi jadi advokat yang dituntut klien karena salah memberi saran. Barulah dalam tingkatan magister dia pun berkewajiban membongkar teori-teori. Begitu pun kita sudah harus mulai tega dalam menguji hasil penelitian sang doktor dan profesor. Tidak bisa lagi ditolerir monopoli mereka terhadap validitas dan kebenaran, mereka harus diuji dalam forum umum yang bukan sekedar terbuka untuk umum, tapi forum bisa menguji secara terbuka. Karena kalau doktor dan profesornya asal-asalan, jadilah sarjananya juga meragukan kompetensinya. Bisa jadi penonton sidang disertasi, cekikikan atau mungkin mengumpat dalam hati karena ada kesalahan dalam penelitian dan kesimpulan sang tersidang (kandidat doktor). Sikap tega ini sangat diperlukan sebagai bentuk sportivitas dalam ilmu pengetahuan, selamat datang di perdebatan ilmu pengetahuan yang kadang kala bisa menusuk mereka yang tidak hati-hati. Tapi menguji ilmu pengetahuan tidak cukup dan tidak pantas dengan perdebatan kusir, kiranya kalau mau turut dalam perdebatan, kita harus memahami persoalan dengan pendekatan ilmu juga, bukan pendekatan preman yang fasih dengan "pokoknya ABCDE"! Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H