Pilpres kali ini benar-benar telah menimbulkan gesekan yang lumayan dahsyat di masyarakat Indonesia. Konstituen betul-betul terpengaruh dan seolah "mengimani" berbagai informasi yang mereka terima mengenai Capres-capres mereka. Akan bereuforia ketika informasi dinilai baik dan mendukung, akan dihujat habis-habisan ketika informasi yang bertentangan dengan pilihan hati. Bahkan, seorang kenalan sampai pisah kosan setelah sebelumnya bertengkar karena memiliki pilihan Capres yang berbeda. Kesimpulannya, perasaan masyarakat tengah mengalami guncangan.
Fenomena lain yang teramati adalah melonjaknya perhatian masyarakat terhadap Pilpres kali ini. Dalam sejarah yang bisa teramati oleh saya, baru ini Pilpres sanggup membangkitkan mereka-mereka yang biasanya buta dan tuli politik, menjadi analis-analis politik dadakan. Argumentasi-argumentasi dilepaskan melalui sosial media, massa menjadi liar dalam tulisan, berekspresi sampai mabuk dan memuaskan hasrat untuk berkicau. Hasilnya berton-ton informasi tentang Capres keluar dari segala penjuru Republik. Sialnya, tidak semua informasi yang diedarkan itu bisa dipertanggungjawabkan alias spekulasi dan asumsi.
Perilaku hujat menghujat dan ketegangan belum berlalu, sekarang beredar kembali informasi yang menurut saya adalah teror bagi masyarakat. Masyarakat ditakut-takuti bahwa akan ada situasi "chaos" pasca pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU). Informasi itu pun menjadi konsumsi laris, walaupun menimbulkan sakit perut akibat kecemasan konsumen.
Guncangan ini tidak terjadi begitu saja, ini dipacu oleh mereka-mereka yang duduk sebagai tim pemenangan Capres. Merekalah yang harus bertanggungjawab dalam meredakan keguncangan ini. Berbagai informasi dilepaskan ke ruang publik, publik membaca, mendengar, melihat, mencerna lalu mengamplifikasi informasi tadi, baik dalam dukungan maupun cemooh. Dalam sosial media, tidak jarang terjadi penghinaan antar sesama analis dadakan, yang berujung pada rasa permusuhan. Sementara tim pemenangan tadi, bisa jadi hanya cengar-cengir melihat isu yang dilepaskannya ke ruang publik menjadi konsumsi laris masyarakat.
Tim pemenangan berfungsi untuk memenangkan salah satu Capres, sekali lagi, MEMENANGKAN. Tujuannya hanya satu, MENANG! Usaha-usaha untuk memenangkan ini dilakukan dengan berbagai promosi, memalui berbagai saluran mulai dari yang konvensional seperti televisi dan radio hingga yang canggih seperti internet, bahkan instant messenger pun tidak lepas dari "broadcast message" yang promosikan Capres.
Mulanya segmen pasar alias calon pemilih sudah mulai stabil, lalu dikembangkan pola baru untuk membongkar kembali segmen pasar tadi agar ada celah untuk mempormosikan Capres yang lain. Di sini diharapkan terjadi switching atas pilihan konstituen. Ini yang kurang ajar, caranya adalah melepaskan informasi-informasi negatif mengenai kedua Capres ke ruang publik, untuk dikunyah lalu dimuntahkan kembali ke publik oleh para analis dadakan. Lebih parah, sudah informasi negatif, belum tentu benar pula! Inilah yang secara harafiah kita sebut menghasut!
Promosi dan hasutan ini sebenarnya merupakan PROPAGANDA. Tujuan propaganda adalah merekayasa pemikiran dan pilihan-pilihan konstituen. Jangan langsung paranoid dengan istilah propaganda, iklan komersial pun bisa dimasukkan sebagai propaganda. Propaganda itu tidak jauh-jauh dari kita saat ini, bahkan di Kompasiana ini pun pastilah terselip orang-orang yang mengkreasikan propaganda baik dalam promosi maupun hasutan. Tujuannya adalah merekayasa, jadi memastikan anda yang semula tidak punya pilihan, kemudian memilih. Karena adanya persaingan, maka yang semula sudah punya pilihan harus digempur dengan informasi sehingga terjadi perpindahan pilihan (switching). Dengan anda memilih, dan pilihan anda dihitung oleh KPU, maka akan muncullah kata "menang" dan "kalah".
Lalu bagaimana propaganda ini bekerja di balik kesadaran anda? Cara yang termudah adalah, kunjungi grup-grup pemenangan kedua Capres di Facebook. Perhatikanlah, informasi-informasi yang beredar itu, pertama kali dilepaskan oleh siapa? periksa akunnya, pada tahun berapa akun tersebut dibuat? Saya mengamati banyak yang baru dibuat pada tahun 2013 dan 2014, artinya "patut diduga" akun-akun itu memang dipersiapkan untuk melepaskan promosi dan hasutan.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H