“Seorang yang belajar ilmu kanuragan harus mempertajam kemampuan panca indranya,” lelaki tua itu memberi petuah kepada Rase yang mendengarkan dengan bersungguh-sungguh. “Kecepatan dan kekuatan tangan dan kaki sangat penting, tetapi ketajaman pendengaran dan penglihatan tak kalah penting,” lanjutnya. “Sekarang latihlah ketajaman penglihatanmu.”
Lelaki tua itu menjetikkan sebutir biji jagung yang kemudian menancap pada batang sebuah pohon. Rase menyambitkan sebutir biji jagung ke arah pohon yang sama. Tepat mengenai sasaran. “Reaksimu masih terlalu lambat, harus lebih cepat lagi.” Sambil berkata demikian, lelaki itu menjentikkan biji jagung dengan lebih cepat. Rase menyambit biji jagung itu sebelum menancap di pohon. Kedua biji jagung itu berbenturan di udara, pecah. Berkali-kali lelaki tua itu menjentikkan biji-biji jagung, berkali-kali pula Rase berhasil menyambit biji-biji jagung itu. Pecahan biji jagung berserakkan.
“Bagus. Sekarang latihlah ketajaman pendengaranmu.” Untuk melatih ketajaman pendengarannya, Rase harus menutup kedua matanya dengan selembar kain. Lelaki tua itu menjentikkan sebutir biji jagung yang kemudian menancap pada batang sebuah pohon. Rase memperhatikan suara gerakan tersebut. Kemudian dia menyambitkan sebutir biji jagung ke arah pohon yang sama. Tepat mengenai sasaran.
“Reaksimu masih terlalu lambat, harus lebih cepat lagi,” lelaki itu memberi petunjuk. Kemudian lelaki itu mengulangi gerakannya, menjentikkan sebutir biji jagung ke arah pohon yang lain, Rase segera menyambit biji jagung itu sebelum menancap di batang pohon. Kedua biji jagung itu berbenturan di udara, pecah. Lelaki tua itu menjentikkan biji-biji jagung lebih cepat, Rase mengimbanginya. Dengan mata tertutup, Rase terus berlatih mempertajam indra pendengarannya. Rase berhasil. Dia bisa mengetahui arah gerak suatu benda hanya dengan pendengarannya.
Ketika matahari sudah condong ke barat, dan Rase segera hendak berpamitan, lelaki tua itu berkata, “Seorang yang berlatih ilmu kanuragan tidak boleh lengah. Tidak boleh tidur terlalu lelap, harus selalu siaga, harus tangen 1), dan harus rungon 2). Bahaya dan ancaman bisa ada di mana saja dan kapan saja. Kelak, ketika kamu menjadi seorang pemimpin, ingatlah akan hal ini.”
“Baik, Kek. Saya akan memperhatikan setiap petunjuk Kakek.” Rase berpamitan. Rase pulang dengan membawa dua keranjang rumput untuk makanan kambing-kambingnya. Dipikulnya kedua keranjang rumput itu.
Malam itu, Rase tertidur pulas. Rasa lelah dan senang karena berhasil mempertajam penglihatan dan pendengarannya membuat Rase tidur nyenyak, tidur tentram.
Menjelang tengah malam, sesosok bayangan berkelebat. Seorang lelaki bertopeng mengendap-endap di dekat jendela kamar Rase. Lelaki itu berbadan tegap. Dia membawa sebuah caping. Caping itu tidak menutupi kepalanya, tetapi dibiarkannya menggelantung di punggungnya. Lelaki itu berusaha membuka jendela kamar Rase. Dia berhasil. Dengan gerakan ringan, lelaki itu melompat ke dalam kamar. Sebilah belati berada dalam genggamannya. Belati itu berkilat terkena sinar rembulan yang menerobos lewat celah-celah dinding bambu.
Pesan moral:
Lelaki tua itu menasehati Rase untuk tidak lengah, tetapi harus tangen dan rungon. Lebih-lebih jika kelak Rase menjadi pemimpin. Pemimpin, memang, tidak boleh lengah, harus selalu terjaga dan memiliki pendengaran yang baik.
---------------------
1) tangen = mudah terbangun, mudah terjaga
2) rungon = bisa mendengar dengan tajam
CERITA RASE YANG LAIN DAPAT DIBACA DI Prajurit Telik Sandi Mahapatih Gajah Mada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H