[caption id="attachment_98249" align="alignleft" width="300" caption="subyektif"][/caption] Suksesnya penyelenggaraan Festival Fiksi Kolaborasi yang berhasil menghimpun lebih dari 170 pasangan kolaborasi dan menerbitkan hampir 200 karya fiksi membuat para Kompasianer mengharapkan tindak lanjut dari kegiatan ini. Beberapa Kompasianer menginginkan agar panitia FFK membentuk sebuah tim independen untuk memberi saran, koreksi dan kritik terhadap karya yang telah dihasilkan.
Terhadap hal ini, Endah Raharjo menanggapi, “Bener sekali, Pak David. Untuk melakukan SKK selain perlu ‘tim’ juga perlu tenaga dan waktu yang tidak sedikit. Tampaknya itu yang kita tidak punya. Sebab di dunia nyata kita terikat pada kegiatan sehari-hari, ya. Kalau saya merasa ‘puas’ dengan lancarnya kegiatan FFK ini. Apalagi peserta selain berkarya juga merasa senang dan terhibur. Itu bagi saya sudah poin besar. Saya tidak berharap muluk2. Kalau ada yang mau dan mampu menindaklanjuti, itu bagus sekali. Saya juga sudah menulis pesan untuk Admin lewat japri, tapi hingga kini tidak ada reaksi. Pastinya mereka juga sibuk sekali ya… Sampai bertemu di FFK berikutnya, Pak David.”
Sekalipun demikian, ada juga kabar baik, karya fiksi FFK akan dibukukan. Ini adalah salah satu tindak lanjut dari FFK yang perlu mendapat dukungan dari semua Kompasianer yang terlibat dalam penulisan karya fiksi tersebut.
Ragil Koentjorodjati menindak lanjuti dengan cara lain. Dia memilih sepuluh cerpen favorit versi RK (selanjutnya ditulis 10CF). Karena ini adalah versinya dia, maka penilaian ini sangat subyektif. Itu masalah lain. Setidaknya, RK sudah ikut melibatkan diri dalam ‘tim independen’ untuk memberikan apresiasi terhadap karya-karya fiksi tersebut. RK memilih cerpen dan mengesampingkan puisi bukan karena dia tidak suka puisi, tetapi karena memberi apresiasi terhadap puisi jauh lebih sulit dari pada terhadap cerpen. Saya setuju. Karena itu, saya ‘mengkolaborasikan diri’ dengan RK untuk juga memberikan sedikit apresiasi terhadap 10CF versi RK. Penilaian versi saya ini juga sangat subyektif. Artinya, penilaian yang serba ‘ngasal’ sesuai dengan pemahaman saya yang serba ngasal juga.
10CF tersebut adalah (link dapat dilihat pada postingan Ragil):
1. Aku di Antara Karma dan Sesal. (Ramdhani Nur, Herlya Annisa, Santy Novaria)
2. Dalam Perjalanan Pulang. (Andi Gunawan, Suri Nathalia)
3. Aurora. (Ge, Mamar, Mimin, Dorma)
4. Saksi Mata. (Ouda Saija, Babeh Helmi, Annisa F. Rangkuti)
5. Bahagia Paling Sederhana. (Santy Novaria, Irsyam Syam)
6. Kutuk Kembar Anima. (Mia Imagina, Dee Dee Sabrina)
7. Menyibak Selimut Malam.(Rusdianto, Endah Raharjo, Herlya Annisa)
8. Air Mata Kumiko. (Kine Risty, Ramdhani Nur, Ihya Ulumuddin)
9. Persembahan Terakhir untuk Cinta. (Fitri Puspita Hapsari, Fatwaningrum)
10. Kisah Sang Katak Petualang. (Ahmed Tsar Blenzinky, Sari Novita, Annisa Rangkuti, Meddy Danial)
Tetapi RK agaknya kurang teliti ketika memfavoritkan Persembahan Terakhir untuk Cinta, karena karya tersebut lebih berupa puisi dari pada cerpen. Dan karena itu, karya tersebut tidak saya masukkan dalam penilaian.
CERPEN ITU CERITA PENDEK
Seberapa pendekkah (atau seberapa panjangkah) sebuah cerita disebut cerpen? Tidak ada (belum ada) rumusan yang baku, nampaknya. Sebuah cerpen bisa saja terdiri dari hanya satu paragraf seperti Appointment in Samara. Tetapi, sebuah cerpen bisa juga terdiri dari 10 paragraf atau lebih. Panitia FFK 2011 tidak merumuskan tentang hal ini, namun seseorang pernah melontarkan ide dalam komen yang dia berikan ‘jika Anda bisa merangkai 100 – 700 kata menjadi sebuah cerita, silahkan mendaftarkan diri untuk mengikuti FFK ini’. Mungkin kita bisa sedikit memperpanjangnya menjadi 100-1000 kata. Jika sebuah kalimat terdiri dari 10 kata, maka 100-1000 kata berarti 10 – 100 kalimat atau kira-kira 2 halaman kwarto dengan font type Calibri 12pt.
Cerpen yang terlalu panjang akan ‘melelahkan’ bagi pembaca, dan ini akan menyebabkan pembaca membaca karya tersebut dengan sambil lalu (scanning) seperti yang dilakukan RK pada tahap awal seleksi yang dilakukannya. Bahkan beberapa Kompasianer ‘nitip jejak dulu, bacanya nanti’, dan mereka surf ke tempat lain.
Dari 10CF kita mendapati bahwa Kutuk Kembar Anima adalah cerpen yang paling cerpan, sedangkan Dalam Perjalanan Pulang adalah cerpen yang paling cerpen. Berikut ini datanya.
1. Aku di antara Karma dan Sesal. (1147 kata/2 halaman +)
2. Dalam Perjalanan Pulang. (916/2)
3. Aurora. (1659/3+)
4. Saksi Mata. (1549/3)
5. Bahagia Paling Sederhana. (941/2)
6. Kutuk Kembar Anima. (4972/9)
7. Menyibak Selimut Malam.(1681/3+)
8. Air Mata Kumiko. (1921/4)
9. Persembahan Terakhir untuk Cinta.
10. Kisah Sang Katak Petualang. (3568/7+)
Saran: Perlunya editing tidak dapat disangkal. Kata dan kalimat yang tidak efisien bisa dihilangkan. Dialog yang tak perlu bisa diganti dengan narasi. Deskripsi yang berlebihan bisa diedit ulang.
Semoga sumbangsih ngasal ini bisa bermanfaat.
Selanjutnya:
BAHASA MENUNJUKKAN CERPEN
PENTING GAK PENTING, YANG PENTING CERPEN
PLOTAT PLOTOT BERKOMPLOT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H