Di Republik Nesiaindo ada peraturan bahwa presiden tidak boleh tertawa di depan umum. Presiden juga tidak boleh mbanyol, tidak boleh melempar joke atau lelucon.
‘Kenapa begitu?’ tanya Lemo. ‘Tertawa adalah hak setiap orang. Jika seorang presiden tidak boleh tertawa, berarti haknya dikekang, dibatasi.’
‘Peraturan is peraturan,’ jawab Usen. ‘Mungkin untuk menjaga wibawa sang presiden. Kalau seorang presiden begejesan dan cengengesan, maka citranya akan buruk.’
‘Ah,’ kata Lemo. ‘Mungkin peraturan itu dikeluarkan karena desakan para komedian yang sudah hilang pamornya, yang sudah tidak lucu lagi. Atau karena para anggota DPR merasa mereka lebih lucu dari para komedian.’
‘Kamu jangan ngaco,’ jawab Usen. ‘Tapi mungkin juga ya, soalnya beberapa anggota DPR itu dulunya komedian.’
‘Nah!’ Lemo bersemangat. ‘Kasihan juga presiden. Nggak enak jadi presiden, banyak yang sirik. Ketawa aja nggak boleh.’
‘Kalian sok tahu,’ kata Kadar yang tiba-tiba nimbrung. ‘Presiden nggak boleh ketawa di depan umum itu karena satu alasan saja.’
‘Apa?’ Lemo dan Usen bertanya serempak.
‘Dia pakai gigi palsu. Kalau dia ketawa, gigi palsunya bisa copot.’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H