Bachtiar Effendy (2015) pernah menulis, ada dua pemangku kepentingan utama dalam kaitannya dengan perbaikan kehidupan demokrasi dan sistem kepartaian: pemilih dan yang dipilih. Pemilih adalah mereka yang memiliki hak untuk memilih. Bersamaan dengan hak yang mereka miliki, para pemilih juga mempunyai kewajiban untuk mengetahui siapa yang bakal mereka pilih dan atas dasar apa mereka memilih.
Untuk itu, ke depan masyarakat pemilih diharuskan untuk mempelajari segala sesuatu (track record) yang berkaitan dengan orang yang akan dipilih dalam kepemimpinan politik nasional maupun di daerah. Walau terkadang kenyataannya kita benar-benar dihadapkan pada lingkaran setan (vicious circle) yang tidak tahu dari mana harus memulai kerja-kerja restoratif untuk membenahi situasi demokrasi dan sistem kepartaian yang ada. Toh, harapan dan optimisme dalam politik mesti terus ditumbuhkan supaya politik jauh dari kotoran dan sekadar obral janji yang miskin realisasi.
Semoga tahun ini dan ke depan politik kita tumbuh dan jauh dari praktik kumuh. Politik yang merawat bangsa membutuhkan ilmu dan kedalaman hati serta keunggulan jiwa, sehingga kebenaran dan kearifan menyatu dalam politik kita. Bukan bersuara dan berteriak seolah paling bermoral, tapi kenyataaan dalam perilakunya justeru sebaliknya. Kalau sudah begitu, bagaimana bisa dunia politik kita merajut republik sehingga menjadi lebih baik?
Jika ternyata tahun ini pemufakatan politik “jahat” untuk merusak bangsa ini semakin meningkat, apalagi yang hendak disampaikan. Kalau memang ternyata kepribadian politik manusia Indonesia terang-benderang buruk rupanya, maka berlakulah pepatah lama, buruk muka cermin dibelah.
GEOTIMES, Jumat, 15 Januari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H