Beberapa hari ini media sosial heboh membahas sebuah film dan kritik-kritknya; film itu berjudul TILIK.
TILIK adalah sebuah film dengan durasi yang relatif pendek, yakni 32 menit; diproduksi Racavana Films dan disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo.
Sebenarnya film ini pertama kali dirilis pada tahun 2018, lalu untuk pertama kalinya dirilis dalam kanal YouTube resmi Racavana Films pada tanggal 17 Agustus 2020. Sontak film ini terkenal dan membuat heboh.Â
Ada beberapa sebab film ini akhirnya menjadi terkenal dan membuat heboh masyarakat. Pertama, cerita dalam film ini adalah kejadian yang melekat dalam kehidupan masyarakat kita sehari-hari.Â
Kedua, film ini bisa ditonton lewat YouTube yang bisa diakses dengan mudah, dengan telepon genggam, maupun laptop; ditonton di rumah, maupun di perjalanan.Â
Ketiga, dan ini yang membuat tidak henti-hentinya film TILIK dibahas, kritik terhadapnya dalam perspektif atau sudut pandang feminisme, yang penyampaiannya dengan bahasa yang ndakik-ndakik -- njelimet, sulit dipahami masyarakat.
Saya tidak mau menceritakan bagaimana alur cerita dalam film ini, selain terlalu panjang, menurut saya akan lebih baik bila anda yang penasaran menontonnya langsung. Kenapa? Supaya anda punya sudut pandang sendiri, atau pemaknaan sendiri atas film tersebut.
Saya cuma ingin bahas apa yang menjadi judul dari tulisan ini: "Ndakik-Ndakik Aktipisme Tai Ledig."
Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Madilog, mengatakan: "Bagi orang yang hidup dalam pikiran yang mesti disebarkan -- baik dalam pena maupun dengan mulut; perlu pustaka yang cukup."
Pustaka yang dimaksud Tan adalah bacaan, buku-buku. Kenapa? Selain memperluas pengetahuan, juga bermanfaat memperbanyak kosakata -- perbendaharaan kata. Singkatnya, koleksi atas banyaknya kata-kata dalam suatu bahasa. Dengan begitu isi pesan akan tersampaikan dengan baik dan dapat diterima, dipahami oleh si penerima pesan. Setuju atau tidaknya atas gagasan, atas pesan yang sampaikan, itu lain soal. Yang utama adalah kenali lawan bicaramu!
Tapi nyatanya tidak sedikit orang yang mendaku dirinya sebagai aktivis memiliki kesadaran akan hal ini; meskipun banyak membaca buku-buku. Faktanya adalah respon kritik dari masyarakat terhadap orang-orang ini -- yang mendaku dirinya aktipis, bahkan secara diam-diam menganggap dirinya intelek. Alih-alih merespon dengan baik, malah rakyat yang disalahkan. "Kok bangga atas ketidaktahuan? Kok bangga jadi orang yang enggak ngerti?" begitu kata para pendaku aktipis. Tai Ledig!
Bila kita merujuk apa yang dikatakan Albert Einstein, maka kesimpulan kita adalah: jangan-jangan yang tidak ngerti adalah akitipis itu sendiri. Einstein pernah bilang: "Jika Anda tidak bisa menjelaskannya secara sederhana, Anda tidak memahaminya dengan cukup baik."
Karenanya, penting kejadian ini disadari oleh orang-orang yang konon aktif dalam aktivisme, oleh orang-orang yang mendaku dirinya sebagai aktivis -- agent of change, alias agen perubahan.Â
Menjadi seorang aktivis (bukan aktipis) tidaklah cukup dengan banyak membaca buku. Membaca buku tidaklah berguna bila tidak menambah kosakata. Gagal menyampaikan sebuah ide secara sederhana adalah tanda kegagalan memahami ide itu sendiri. Gagal memahami bahasa berarti gagal memahami bangsa.
Banyak para pendahulu kita yang memberikan contoh atas pentingnya memahami bahasa, sebutlah salah satunya adalah Soekarno. Ia tahu dengan bahasa apa ketika berbicara dengan kaum Marhaen -- rakyat jelata. Ia juga tahu dengan bahasa apa ketika berbicara dengan kaum yang bukan Marhaen -- bukan rakyat jelata. Tidak heran pidato-pidatonya selalu dikerumuni oleh rakyat, pun tulisannya juga diminati oleh rakyat.Â
Soekarno bahkan mengatakan "masa aksi zonder (tanpa) kursus-kursus, brosur-brosur, dan suratkabar, adalah massa aksi yang tidak hidup dan tidak bernyawa." Dan sadar akan pentingnya hal ini, ia menerbitkan koran Fikiran Ra'jat dengan slogan: "Kaoem Marhaen! Inilah Madjalah Kamoe!", dan tentu majalah ini bukan dipenuhi bahasa Ndakik-Ndakik, yang njelimet dan bikin mumet rakyat awam. Dan akibatnya, apa yang disampaikan oleh Soekarnoe bukan hanya dapat dipahami oleh rakyat awam, tapi juga membakar semangat perjuangan rakyat!
Ingatlah, bahasa adalah identitas bangsa. Kenali bahasamu, maka kau akan mengenal bangsamu. Seandainya setiap orang tetap menggunakan bahasanya sendiri, banyak masalah akan terhindarkan.
Lebih dari itu, TILIK dalam bahasa Jawa artinya adalah menjenguk. Jenguklah bangsamu, jenguklah masyarakatmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H