Mohon tunggu...
David Khadafi
David Khadafi Mohon Tunggu... Buruh - Debutan

Melesatlah bersama cinta seperti anak panah menuju sasarannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Dalam Perspektif Psikoanalisis

17 Juli 2019   18:00 Diperbarui: 18 Juli 2019   08:49 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia, seperti yang kita ketahui, terdiri dari beragam suku bangsanya, beragam kepercayaan dan agamanya, beragam pula partai politiknya. Tapi, tak sampai di situ. Indonesia juga beragam fenomena kehidupan di dalamnya. Mulai dari korupsi, fanatisme (tokoh, politik, ideologi dan religius) dan sebagainya.

Tak sedikit orang yang menaruh perhatian atas fenomena-fenomena itu, bahkan sering kali dibicarakan di dalam forum-forum diskusi. Penulis sendiri, sering ikut menyimak diskusi-diskusi perihal tersebut. Banyak dari pembicara membahas tentangnya dengan menggunakan beragam perspektif; sosial, politik, budaya dan ekonomi. Tapi bagi penulis, lebih tertarik membahas fenomena ini dari perspektif psikologi lewat psikoanalisis.

Psikoanalisis

Pertama-tama, penulis ingin menjelaskan apa itu psikoanalisis. Psikoanalisis adalah sebuah metode atau cara penelitian terhadap proses-proses psikis (termasuk mimpi) yang sebelumnya tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah dan merupakan teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurosis (gangguan mental yang berakar pada psikologis). Lebih dari itu, psikoanalisis mengungkap bagaimana peranan dinamis ketidaksadaran dalam hidup psikis manusia.

Psikoanalisis pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud, seorang dokter ahli saraf yang bertugas di rumah sakit umum di Wina, ibu kota Austria. Mulanya ia berfokus pada anatomi otak, kemudian perhatiannya bergeser dari neurologi ke psikopatologi. Freud lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, sebuah kota kecil di Moravia, yang pada waktu itu termasuk daerah di kekaisaran Austria-Hongaria, sekarang termasuk daerah Republik Ceko.

Pengaruh Freud tidak hanya dalam bidang psikologi, psikiatri, psikoterapi dan ilmu perilaku umumnya, tetapi mencakup seluruh kultur modern. Bahkan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropolgi budaya sering memanfaatkan penemuan-penemuannya. Tak terkecuali dalam ilmu filsafat seperti madzhab frankfut di Jerman, Freud juga memainkan peranan besar di dalamnya. Menurut penulis, rasanya demikian mengenai pengaruh Freud dalam berbagai macam ilmu seperti filsafat, misalnya.

Sebab, membaca karya-karya Sigmund Freud seperti membaca karya-karya Sutan Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka­­­­--Bapak Republik Indonesia, khususnya di dalam Magnum Opus Tan Malaka; Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika) dan Gerpolek (Gerilya, Politik dan Ekonomi). Meski begitu, perlu diteliti lebih lanjut apakah Freud juga memberi pengaruh terhadap filsuf asal Indonesia itu.

Mari kita lanjutkan pembahasan mengenai psikoanalisis! Berbeda dengan psikiater-psikiater pada umumnya, Freud berpandangan bahwa semua gangguan psikis bukan bersifat organis---­berasal dari salah satu kerusakan organis dalam otak---yang pada waktu itu seakan-seakan menjadi dogma dalam kalangan medis; bahwa sebab-musabab gangguan psikis harus bersifat organis. Tetapi, Freud justru berpandangan bahwa hal itu berdasarkan psikologis.

Dalam psikonalasis, Freud menjelaskan, ada tiga struktur atau "instansi" penting dalam hidup psikis manusia, yaitu: Id (Das Es), Ego (Das Ich), dan Superego (Das Ueber Ich). Id adalah lapisan psikis yang paling mendasar (mencakup aspek biologis), di situ terdapat naluri-naluri bawaan dan hukum-hukum logika (khususnya prinsip kontradiksi) tidak berlaku bagi Id.

Singkat kata, Id adalah dorongan-dorongan instingtif dalam diri manusia. Tabiat primitif, yang mendorong manusia bergerak berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Impulsif dan agresif. Id tidak mengenal waktu (timeless), seperti rasa lapar maupun dorongan seksual.

Sedangkan Ego adalah sesuatu yang terbentuk dengan diferensiasi dari Id. Bila Id meliputi aspek biologis, maka Ego meliputi aspek psikologis dari kepribadian. Artinya, Ego terbentuk akibat kontak dengan dunia luar (sejak bayi), khususnya dari orang-orang di sekitar seperti orang tua, pengasuh dan kakak atau adik. Perlu digaribawahi, Ego yang dimaksud di sini bukanlah seperti apa yang ada di dalam psikologi nonanalitis yang diberi nama Ego atau Aku. Dan, Ego yang dimaksud di sini bersifat sadar, prasadar maupun tak sadar, meski sebagian besar aktivitasnya bersifat sadar.

Ego yang aktivitasnya bersifat sadar adalah persepsi lahiriah, persepsi batin dan proses-proses intelektual. Sedangkan, Ego yang bersifat prasadar adalah fungsi ingatan (yang semula lupa, kemudian diingat kembali).

Dan, Ego yang aktivitasnya bersifat tak sadar muncul dalam bentuk mekanisme-mekanisme pertahanan diri (defence mechanisms). Istilah mekanisme-mekanisme pertahanan diri dipakai Freud untuk menunjukan proses tak sadar yang dijalankan individu guna melindungi si individu dari kecemasan atau keadaan atau kondisi yang tidak diinginkan. Tetapi, mekanisme-mekanisme pertahanan diri itu sendiri juga dapat membangkitkan kecemasan atau suatu kondisi yang tidak diinginkan.

Mekanisme-mekanisme pertahanan diri (defence mechanisms) adalah mekanisme yang rumit dan terdiri dari banyak macam. Menurut Freud, ada 7 mekanisme-mekanisme pertahanan diri yang umum dijumpai, diantaranya: represi (repression), sublimasi (sumblimation), proyeksi (projection), pengelakan atau pemindahan (displacement), rasionalisasi (rationalization), pembentukan reaksi (reaction formation), dan regresi (regretion).

Dari 7 mekanisme-mekanisme pertahanan diri itu, Freud mengatakan bahwa represi adalah faktor penting dalam terjadinya neurosis--gangguan mental. Sebab, apa yang direpresi atau terepresi---ditekan, disingkirkan, atau dilupakan akan selalu menimbulkan resistensi---perlawanan.

Yang dimaksud Freud adalah bahwa sesuatu yang direpresi---disingkirkan atau dihilangkan---menghilangkan suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas, ke taraf yang lain---dari taraf sadar ke taraf tak sadar. Akan tetap tinggal. Tidak hilang begitu saja. Bahkan acap kali timbul kembali, yang dimana dalam istilah Freud disebut dengan resistensi. Singkat kata, emosi yang terpendam tidak akan pernah mati, akan tetap ada seperti dikubur hidup-hidup dan dapat muncul sewaktu-waktu dengan cara yang lebih buruk.

Tapi, marilah kita berhenti sejenak di sini, membahas satu per satu mengenai mekanisme-mekanisme pertahan diri itu, sebelum membahas lebih lanjut tentang Ego. Selain agar dapat pemahaman yang utuh tentang psikoanalisis, juga agar dapat menganalisis kesehatan psikis kita sendiri.

Berikut 7 mekanisme-mekanisme diri yang umum dijumpai:

1. Represi (repression)

Adalah mekanisme pertahanan diri yang dilakukan dimana seseorang memiliki pikiran, kehendak atau kondisi yang tidak sesuai dan mengganggu kondisi batinnya sehingga menimbulkan kecemasan. Secara tidak sadar seseorang menekan pikiran-pikiran yang tidak sesuai atau menyedihkan itu keluar dari alam sadar ke alam tak sadar.

Contoh: Ketika seseorang merasa kecewa, sedih atau galau. Ketika itu ia menekan pikirannya dengan maksud agar dapat melupakan seseorang atau ingatannya yang membuatnya kecewa, sedih atau galau. Tetapi, semakin dilupakan semakin kuat ingatan dan pikirannya. Semakin kuat resistensi---perlawanan dari yang direpresi atau yang terepresi yang muncul. Dengan demikian semakin kecewa, sedih dan galau kondisi batinnya.

2. Sublimasi (sublimation)

Adalah mekanisme pertahan diri atas suatu kehendak, keinginan yang tak tercapai, kondisi yang tak sesuai dengan yang diinginkan dengan cara menyalurkan energi naluriahkehendak atau keinginan yang tidak dapat diterima ke dalam aktivitas- aktivitas yang memiliki tujuan-tujuan lebih tinggi. Seperti meditasi, kesenian, ilmu pengetahuan, agama, dan lain sebagainya.

3. Proyeksi (projection)

Adalah mekanisme pertahanan diri yang merupakan usaha seseorang untuk menyalahkan orang lain mengenai kegagalannya atau kecemasannya.

Contoh: Seorang pemimpin ditanya perihal sesuatu yang dijanjikan olehnya, lalu pemimpin itu berkata, coba tanyakan ke mereka. Hal itu sudah saya sampaikan ke mereka. Jadi jangan ditanyakan lagi ke saya. Bukan urusan saya.

4. Pengelakan atau pemindahan (displacement)

Adalah mekanisme pertahanan diri, dimana emosi-emosi yang tertahan diarahkan ke objek-objek atau orang lain daripada ke sumber primer emosi.

Contoh: Seseorang yang sedang bete entah disebabkan karena bertengkar dengan kekasihnya atau dimarahi atasannya, lalu ngebetein semua orang.

5. Rasionalisasi (rationalization)

Adalah mekanisme pertahanan diri yang merupakan upaya merasionalisasikan atas perilakunya yang tidak masuk akal agar dapat dianggap rasional. Sehingga dapat disetujui, dan diterima dirinya sendiri dan orang lain.

Contoh: Melakukan korupsi dengan alasan gaji tidak cukup. Menghilangkan izin AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) demi mempermudah Investasi.

6. Pembentukan reaksi (reaction formation)

Adalah sebuah mekanisme diri dalam wujud sebuah reaksi dengan cara melakukan perilaku yang berlawanan dengan apa yang dirasakan.

Contoh: Menyembunyikan cinta dengan pura-pura benci. Atau sebaliknya, menyembunyikan kebencian dengan berpura-pura mencintai.

7. Regresi (regretion)

Adalah mekanisme diri dalam bentuk kembali ke tahap perkembangan awal atau yang dahulu ketika seseorang mengalami frustasi. Dalam bentuk yang paling ekstrem, kembali ke kanak-kanak.

Contoh: Seseorang yang telah berhasil melepaskan diri dari narkoba atau alhokol, kembali mengkonsumsi zat-zat tersebut ketika mengalami suatu kondisi atau situasi yang tidak diinginkan.

Nah, itulah beberapa mekanisme-mekanisme pertahanan diri (defence mechanisms). Kiranya, dari penjelasan di atas dapat membantu pembaca memahami apa itu mekanisme pertahanan diri, seperti apa bentuk-bentuknya, seperti apa juga dampaknya.

Dan, mekanisme pertahanan diri yang mana yang baik untuk kesehatan mental atau psikis kita ketika kita mengalami atau dalam suatu kondisi yang tidak kita inginkan. Yang tak kalah penting, adakah di antara mekanisme-mekanisme pertahanan diri itu yang pembaca sering lakukan? Sadar atau tidak sadar. Jika iya, yang mana? Kemudian, silakan pembaca analisis sendiri mental atau hidup psikis pembaca. Sehat atau tidak.

Rasanya cukup kita beristirahat sambil membahas mekanisme-mekanisme pertahanan diri. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalananan kita untuk sampai ke hal pokok dari psikoanalisis.

Ego selain seperti apa yang dijelaskan sebelumnya. Ego seluruhnya dikuasai oleh prinsip realitas (reality principle), mendorong seseorang untuk berpikir objektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial, juga rasional.

Oleh sebab itu, adalah tugas Ego untuk menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Sederhananya, Ego mengontrol apa yang masuk ke dalam kesadaran dan apa yang akan dikerjakan.

Ego membentuk kesatuan pribadi; dengan kata lain, berfungsi mengadakan sintesis---integrasi psikis. Dengan demikian, Ego dapat dikatakan sebagai mediator antara tabiat-tabiat primitif tadiyang terdapat dalam Id dengan tuntutan rasional, sehingga mampu menundukan tabiat-tabiat primit dan hidup sebagai wujud yang rasional (pribadi yang normal). Menghindari ketidaknikmatan dengan cara-cara yang sesuai dengan kondisi riil dan kenyataan sosial.

Selanjutnya, kita bahas "instansi" psikis yang ketiga, yaitu Superego. Superego adalah hasil dari internalisasi atau hasil dari hal-hal yang didapat dan berasal dari sekitar (orang tua, pengasuh dan kakak atau adik) yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga terpancar dari dalam, seperti: larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya "asing" bagi si subjek lalu akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari subjek sendiri. "Kamu tidak boleh begini.." atau "Kamu harus begini.." lalu menjadi "Aku tidak boleh begini.." atau "Aku harus begini..". Singkat kata, Superego adalah hati nurani, yang di dalamnya terdapat sistem moral dari kepribadian.

Dan, aktivitas Superego ditemukan ketika Superego menyatakan diri dalam konflik dengan Ego, yang dirasakan dalam emosi-emosi, seperti: rasa bersalah, rasa menyesal dan lain sebagainya. Termasuk sikap-sikap seperti observasi diri, kritik diri dan inhibisi---upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu reaksi tertentu karena adanya proses reaksi lain yang sedang berlangsung---proses di mana satu fungsi dihalangi oleh fungsi lain.

Dengan begitu, pergumulan, perdebatan, pertentangan, konflik juga konsensus perdamaian antara Ego dan Superego mempunyai konsekuensi besar dalam hidup psikis.

Berdasarkan penjabaran di atas, dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya hidup kita sehari-hari sangat dipengaruhi oleh tiga lapisan dari "instansi" psikis tadi, yaitu: yang kita tidak sadari (unconsciousness), yang semula kita sadari kemudian tidak kita sadari (pre-consciousness), dan ada yang kita sadari (consciousness).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia secara umum bukan ditentukan oleh akalnya melainkan ditentukan oleh kekuatan yang tidak disadarinya. Manusia tidak dikemudikan oleh apa yang ia anggap buruk atau apa yang ia anggap baik. Melainkan, oleh apa yang ia suka dan apa yang ia tidak suka.

Indonesia Dalam Perspektif Psikoanalisis

Tadi penulis sudah menjelaskan apa itu psikoanalisis. Penulis insaf betul, bahwa tidak selalu mudah memberikan penjelasan dengan benar, apalagi jika harus merumuskan pemikiran dengan singkat. Tapi, semoga penjelasan yang dijelaskan oleh penulis dapat mudah dimengerti oleh pembaca.

Seperti apa yang sudah penulis bilang di awal. Bahwa banyak orang yang sudah membahas fenomena-fenomena kehidupan di masyarakat kita dengan menggunakan berbagai macam perspektif. Tapi jarang sekali penulis temukan di dalam ruang-ruang diskusi baik dalam forum atau group-group chat---whatsapp, telegram dan sejenisnya dengan menggunakan perspektif psikologis. Atau melalui pendekatan psikologis.

Mula-mula penulis berkeyakinan bahwa semua itu tidak semata-mata akibat dari sebuah produk kebijakan. Keyakinan itu berangkat dari setiap kali penulis ikut dalam diskusi-diskusi yang tadi penulis katakan. Sampai akhirnya, keyakinan itu mengantarkan penulis bertemu dengan Freud melalui karya-karyanya.

Dan setelahnya, penulis mendapat jawaban atas fenomena-fenomena tersebut. Itu semua adalah akibat dari konflik di antara daya-daya psikis kita sendiri. Tentunya tanpa sedikit pun penulis menganggap omong kosong tentang apa yang disampaikan orang lain dengan menggunakan perspektif yang berbeda. Karena, tidak dipungkiri pendapat yang berasal dari perspektif lain di beberapa bagian juga ada benarnya.

Terkait itu, sebagai contoh, misalnya, bagaimana daya-daya psikis kita mengemudikan kita. Kendati banyak orang yang beranggapan bahwa media yang menjadi sebab dari fenomena-fenomena tersebut karena mengabaikan kaidah-kaidah jurnalistik; cover both sides dalam melakukan pemberitaan dan menyebarkan informasi. Juga insan pers yang kini cenderung pragmatis, mengedepankan clickbait dengan memilih diksi yang provokatif dalam judul berita yang diwartakan ketimbang subtansi dari informasi yang diwartakan.

Tapi, sebenarnya media adalah akibat bukan sebab. Media, berita dan koran akan mengubah apa yang mereka sampaikan pada kita ketika kita berfokus pada apa yang kita inginkan. Seperti halnya teori demand dan supply dalam ilmu ekonomi, kehidupan kita juga seperti itu.

Kemudian hoaks. Kenapa banyak orang yang percaya hoaks? Terlepas apapun profesinya, gelar akademisnya, terpelajar atau tidak, seberapa dalam atau dangkalnya ia berenang dalam lautan literasi, seberapa sering ia berselancar di media sosial, seberapa sempit atau luas pergaulannya.

Orang lebih cenderung percaya hoaks apabila informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal, seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, ras tertentu, suku tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasimenegaskan opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya. Itu terjadi lantaran mereka dikemudikan oleh kekuatan yang tidak mereka sadari. Dengan kata lain, psikis orang-orang yang percaya hoaks mengalami ketimpangan, ketidakseimbangan, ketidakstabilan, alias Id, Ego dan Supergo mereka tidak balance.

Sehingga tidak heran mengapa mereka tidak skeptis, kritis, analitis dan sintesis dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Ini dapat mudah sekali dibuktikan, bahwa tidak sedikit dari mereka yang percaya hoaks memiliki gelar akademis, kendati demikian, mereka justru ikut terlibat aktif dalam memproduksi dan menyebarkan hoaks.

Proses dan sebab yang sama juga berlaku bagi seorang yang dihinggapi fanatisme. Kondisi Indonesia hari ini tidak beda dengan kondisi di Jerman pada pertengahan 1930-an. Jerman kala itu juga dilanda wabah fanatisme. Hitler memanipulasi ketakutan rakyatnya yang kemudian semakin membuat masyarakatnya fanatik juga beringas.

Hal yang sama kini juga kita alami. Rakyat kita dimanipulasi ketakutannya oleh elite-elite politik, semakin hari semakin takut, semakin takut semakin fanatik, dan semakin fanatik semakin beringas. Mereka yang fanatik disebabkan tidak adanya integrasi "instansi" psikis (Id, Ego dan Supergo) dalam merespon realitas atau kondisi luar. Dan sifat beringas itu merupakan puncak akumulasi Id yang terus dieksploitasi. Id seperti yang dijelaskan sebelumnya, di dalamnya terdapat dorongan-dorongan instingtif, agresif. Dorongan instingtif itu ada yang bersifat konstruktif, ada pula yang bersifat destruktif. Yang bersifat konstruktif disebut oleh Freud dengan istilah Eros---naluri kehidupan, sedangkan yang destruktif disebut dengan istilah Thanatos---naluri kematian.

Bagaimana dengan korupsi? Perilaku koruptif ini dapat kita temukan bukan saja dari berita-berita di televisi atau koran. Dalam kehidupan sehari-hari juga dapat kita temukan, dalam ruang lingkup pekerjaan, misalnya. Disamping faktor tidak ketatnya proses seleksi dalam perekrutan (recruitment), lemahnya pengawasan dan penegakan hukum yang rapuh.

Ternyata, faktor paling fundamen yang membuat seseorang berperilaku koruptif terletak pada tahapan perkembangan kepribadian di masa lalu sebelum menjadi dewasa.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam psikoanalisis terkait Id, Ego dan Superego. Dalam ketiga "instansi" psikis tersebut selain memiliki energi, karakteristik dan sifat. Ketiga "instansi" psikis itu juga terbentuk akibat kontaknya dengan dunia luar, khususnya di tahap perkembangan kepribadian.

Tahap perkembangan kepribadian dalam psikoanalisis, terdiri dari tiga fase. Pertama, fase infantil (0-5 tahun), fase ini terbagi menjadi tiga fase penting; fase oral (0-1 tahun), fase anal (1-3 tahun) dan fase phallic (3-5 tahun).

Kedua, fase laten (5-12 tahun) dan ketiga, tahap fase genital (>12 tahun). Sehat atau tidaknya psikis seseorang ditentukan pada fase infantil. Dan orang-orang yang tidak bahagia di fase itu atau di usia-usia itu, biasanya akan terbawa sampai dewasa.

Perlu diketahui, kualitas atau bobot energi yang tersedia dalam diri seorang anak untuk memenuhi kebutuhan boleh dikatakan terbatas.

Oleh karena itu, apabila kebutuhan seseorang anak (tahap perkembangan kepribadian) tidak terpenuhi pada tahap tertentu, sebagian energi psikisnya akan tetap berorientasi ke arah pemenuhan kebutuhan tersebut. Dan, sifat serakah, agresif dan impulsif merupakan sifat dari orang yang memang terhambat dalam perkembangan kepribadiannya.

Dengan demikian, tidak mengherankan kenapa ada si miskin, si kaya, si bodoh dan si sarjana melakukan korupsi. Sedangkan ada juga si miskin, si kaya, si bodoh dan si sarjana yang tidak melakukan korupsi.

Dengan menyimak apa yang dikemukakan di atas tentang tiga "instansi" psikis tadi berikut dengan mekanisme-mekanisme pertahahan diri. Kiranya dapat kita simpulkan bahwa orang yang lebih dikemudikan oleh Id, cenderung ingin yang praktis, ingin enak sendiri tanpa mempedulikan kondisi riil sosial di sekitarnya, impulsif dan agresif.

Sedangkan, bila orang yang lebih dikemudikan oleh Ego cenderung akan realistis. Meski begitu, Ego yang cenderung dominan dapat menghantarkan seseorang ke arah optimistis maupun pesimistis---yang dimana kedua perasaan itu dapat dengan mudah membuat orang menjadi kompromis---oportunis. Sementara, orang yang lebih dikemudikan oleh Superego cenderung perfeksionis dan konservatif.

Oleh karena itu, penting rasanya kita mulai menyadari apa yang tidak kita sadari. Pertama, sadar akan pentingnya menyeimbangkan ketiga "instansi" atau struktur psikis tadi (Id, Ego, dan Superego). Sebab, inti kebijaksanaan hidup adalah mengambil keputusan-keputusan yang tepat tentang kapan sebaiknya kita mengekang nafsu-nafsu kita serta tunduk pada realitas dan kapan sebaiknya kita memihak pada nafsu-nafsu tersebut dan memerangi realitas.

Kedua, sadar bahwa kebudayaan kita kini sedang menjalankan suatu tekanan yang hampir tak tertahankan atas diri kita. Dan, situasi itu membutuhkan koreksi.

Koreksi itu bisa kita mulai dengan menggugat kembali Revolusi Mental. Sebab, banyak sekali fakta-fakta yang menunjukan adanya gejala-gejala neurosis (gangguan mental) di sekeliling kita.

Bila pancasila tidak punya kesaktian apapun di tangan orang yang tidak mengerti maknanya. Dan pancasila baru bisa dikatakan memiliki kesaktian---di tangan orang yang sanggup mengamalkan isinya---sehingga oleh karena itu harus dibentuk sebuah lembaga seperti BPIP. Demikian halnya dengan Revolusi Mental. Revolusi Mental bisa berhasil di tangan orang yang sanggup mengamalkannya--yang sudah lebih dulu merevolusi mentalnya sendiri.

Dengan realitas saat ini. Apakah ini yang dimaksud dengan revolusi mental? Atau gagal mental?

Mengutip kata-kata Sigmund Freud: "If you can't do it. Give up!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun