Padahal, pemerintah menargetkan 2 juta kendaraan listrik pada tahun 2025 sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi karbon.Â
Lalu harus bagaimana? Apa yang bisa dilakukan?
Fenomena ini justru membuka mata banyak pihak tentang pentingnya membangun ekosistem yang lebih komprehensif.
Tidak cukup hanya menyediakan infrastruktur fisik, transisi menuju mobilitas listrik membutuhkan transformasi perilaku dan kesadaran sosial yang mendalam.
Namun, solusi selalu ada jika ada kemauan. SPKLU bisa menerapkan sistem denda progresif, mengenakan biaya tambahan Rp 50.000 per 15 menit bagi mereka yang "lupa" memindahkan kendaraannya.
Teknologi smart charging mulai diimplementasikan, lengkap dengan sistem notifikasi otomatis dan monitoring real-time melalui aplikasi.
Jika perlu, bisa diterapkan black list terhadap kendaraan non listrik yang parkir seenaknya. Tidak boleh memasuki area parkir tersebut apabila setelah diperingatkan masih mengulangi.Â
Edukasi menjadi kunci penting lainnya. Komunitas pengguna kendaraan listrik mulai mengadakan program sertifikasi dan kampanye "EV Etiquette" di media sosial.
Mungkin operator perlu memberikan pelatihan wajib bagi pengemudi, baik pribadi maupun komersial, sebelum mereka diizinkan menggunakan fasilitas pengisian. Pelatihan ini bisa diberikan dalam bentuk video edukatif di aplikasi yang dibuat pemilik SPKLU.
Dealer mobil listrik juga dapat dilibatkan. Cegah jangan sampai pembeli mobilnya menjadi pelaku dan membuat dampak negatif kepada brand tersebut. Calon pembeli diberikan edukasi sebelum serah terima kendaraan.Â
Pemerintah pun rasanya perlu juga turun tangan menangani hal ini. Jangan sampai masyarakat yang semula ingin beralih ke mobil listrik akan skeptis dan mengurungkan niatnya.Â
Sediakan posko pengaduan online. Bila perlu kerahkan Dinas Perhubungan setempat untuk menggembok roda Mobil yang parkir sembarangan di area SPKLU.