Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menanti Arah "Kompas" Jokowi

16 Agustus 2022   09:42 Diperbarui: 17 Agustus 2022   08:00 1026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo saat pidato kenegaraan tentang RAPBN 2023 beserta nota keuangannya di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (16/8/2022).(FOTOGRAFER PRIBADI PRESIDEN/AGUS SUPARTO via kompas.com)

Menjelang peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, ada satu tradisi penting yang dilakukan Presiden Republik Indonesia. Tradisi itu adalah menyampaikan pidato kenegaraan sebagai arah kompas bangsa di tanggal 16 Agustus.

Pidato tersebut berisi kebijakan, program, capaian, isu aktual, dan perkiraan tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia dalam setahun kedepan. 

Singkatnya, Presiden akan menyampaikan arah gerak bangsa Indonesia langsung di hadapan MPR,  DPR, DPD, sebagai perwakilan rakyat dan tentunya didengar oleh seluruh rakyat Indonesia melalui media elektronik.

Terlepas dari ketidaksempurnaan Pemerintahan zaman orde baru, Presiden Soeharto memiliki  arah bangsa 5 tahunan. Kita mengenalnya dengan sebutan Repelita atau rencana pembangunan lima tahun. 

Bagi saya yang menyukai hal yang terencana, Repelita ini sangat penting. Meski tidak mendetail, kita jadi tahu secara makro akan ke mana. 

Namun sejak era reformasi, Repelita ini ditiadakan sejak aturan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) dihapus pada amandemen UUD 1945.

Amandemen tersebut sarat nuansa politik. Upaya mereduksi kekuasaan MPR sehingga MPR tidak lagi mempunyai wewenang untuk menetapkan GBHN. 

MPR tidak bisa lagi "mendikte" Presiden melalui GBHN-nya. Walaupun sebetulnya ini tidak pernah terjadi, pada zaman Soeharto, MPR ikut apa kata Presiden.

Adanya GBHN diharapkan mengunci pembangunan nasional agar tidak dilaksanakan dengan kehendak pribadi Presiden berkuasa, melainkan melalui perencanaan yang tersusun secara matang.

Banyak pandangan menyuarakan perlunya menghidupkan kembali GBHN. Terhapusnya kewenangan MPR menetapkan GBHN dianggap menjadi dilema terhadap perencanaan pembangunan negara padahal GBHN dianggap sebagai fondasi perencanaan pembangunan nasional.

Namun pandangan ini sebetulnya tidak seratus persen tepat. Sudah ada sistem Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional (UU SPPN). 

Ini menjadi acuan hukum perencanaan pembangunan pasca amandemen UUD 1945 yang menghapuskan GBHN.

UU SPPN tersebut mengatur lebih rinci bahwa rencana pembangunan dalam empat kategori. Rencana pembangunan dibagi ke dalam (1) Program Pembangunan Nasional, (2) Program Pembangunan Daerah Provinsi, (3) Program Pembangunan Daerah Kabupaten, dan (4) Program Pembangunan Daerah Kota.

Jadi ketiadaan GBHN tidak menjadi halangan. Pelaksanaan UU tersebut yang mesti dikonkritkan. Keterbukaan informasi dan keterlibatan publik dalam mengawal rencana pembangunan menuju Indonesia Maju perlu dikedepankan.

Saya pribadi tidak terlalu mengetahui apa saja isi program-program pembangunan yang sifatnya jangka menengah dan jangka panjang. Karenanya saya selalu menunggu apa yang akan disampaikan Presiden Jokowi pada pidato tahunannya.

Boleh jadi karena informasi program pembangunan ini tidak banyak di'ekspose'. Publik tidak terlalu peduli. 

Menurut pendapat saya, informasi mengenai program-program pembangunan ini perlu lebih digaungkan. Era media sosial membuat penyebaran informasi semakin mudah.

Kita semua mungkin sama-sama menantikan mau dibawa kemana Indonesia tahun 2023. Apa yang ingin diraih dengan rencana belanja negara sekitar Rp. 3000 triliun.

Sebetulnya menjadi pertanyaan, mengapa kita perlu menantikan apa yang Presiden akan sampaikan? Apakah karena kita tidak tahu atau tidak terinformasi? Apakah memang tidak disosialisasikan secara masif?

Mungkin Tim Komunikasi Pemerintah baik di level pusat dan daerah mesti memperbaiki lagi metode komunikasinya ke publik. Manfaatkan semua media yang ada untuk sosialisasi arah rencana pembangunan bangsa kita. Tiktok pun bisa dimanfaatkan. 

Jangan kalah dengan era Soeharto yang gencar mengkampanyekan Repelita. Baik di media cetak atau televisi pada zaman baheula itu. Dengan mengetahui rencana pembangunan, masyarakat akan lebih memiliki, dan bisa ikut berkontribusi membuat perencanaan pribadi yang selaras. 

Misalnya mendorong anak berkuliah mempelajari hal revelan yang dibutuhkan di era pembangunan. Tidak perlu mengimpor tenaga terampil. Biar anak bangsa yang berperan. 

Sejauh ini, saya hanya pakaian adat apa yang Presiden Jokowi gunakan hari ini. Jokowi dikabarkan akan memakai baju adat Tolaki dari Sulawesi Tenggara yang bernama Babung Ginasamani Ulusalu. 

Sedangkan arah bangsa yang akan beliau sampaikan, saya masih ingin mendengarkan langsung. Apakah anda juga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun