Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Darkside" Kasus Brigadir J, Hilangnya Empati dan Tergiringnya Opini Publik

6 Agustus 2022   01:11 Diperbarui: 10 Agustus 2022   01:30 2008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kasus terbunuhnya Brigadir J mencuat ke publik, saya mengikuti pemberitaan yang selalu memenuhi ruang publik. Spekulasi dan ragam opini publik berhamburan di media massa, juga di media sosial. Namun saya memilih tidak mengomentari. 

Penyidikan itu tidak mudah

Saya paham betul, kerja-kerja penyidik itu tidak mudah. Penyidik bekerja untuk membuat terang suatu perkara. Dalam dunia penyidikan untuk harus bisa menjawab unsur 'si adi demen babi' (siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, bilamana) atas suatu perkara pidana. Bayangkan bagaimana rasanya si penyidik polri harus memeriksa rekannya sendiri. Berpangkat lebih tinggi dan  juga paham teknik penyidikan. Ibarat ikan yang ingin dipancing dengan umpan, sudah mengenali umpannya. Repot kan!

Seseorang yang memahami alur penyidikan akan menjawab seadanya. Dijawab seminim mungkin. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kesalahan berbicara. Tidak ada hak penyidik untuk memaksakan terperiksa untuk menjawab. Terperiksa bisa saja menjawab lupa atau tidak tahu. Mau bilang apa. 

Singkat kata, penyidik harus pintar-pintar menyusun pertanyaan untuk menjebak atau membuat terperiksa berbicara.

Pertanyaan harus mampu mengarahkan jawaban agar terperiksa memberikan informasi. Ragam pertanyaan tersebut bisa berupa: (1) pertanyaan pengandaian, (2) pertanyaan mengarahkan, (3) pertanyaan terbuka, (4) pertanyaan tertutup, (5) pertanyaan retoris, dan (6) pertanyaan menggali. Tidak mudah memang tugas sang penyidik. Perlu waktu untuk mengumpulkan kepingan puzzle. Apalagi ada unsur hambatan psiko-hirarki dan psiko-politis sebagaimana diungkapkan oleh Menko Polkam, Mahfud MD.

Pusara Brigadir J di Jambi (TribunJambi)
Pusara Brigadir J di Jambi (TribunJambi)

Kasus ini memang unik. Jikapun Brigadir J betul bersalah, perkaranya sendiri batal demi hukum atau gugur tidak bisa dilanjutkan karena pelaku atau tersangka sudah meninggal dunia. Berita acara pemeriksaan tidak akan pernah bisa dibuat. Lah orangnya sudah meninggal bagaimana cara memeriksanya. Berkas perkara tidak akan bisa dilengkapi. Jadi laporan kasus pelecehan itu pun tidak akan pernah sampai ke pengadilan.

Biarlah penyidik bekerja dengan profesional dan kita tunggu hasilnya. Prosesnya hukum masih panjang. Setelah penyidikan selesai, tersangka ditetapkan, masih ada proses penuntutan oleh Jaksa, kemudian maju ke persidangan di pengadilan. Hakim yang menentukan pihak mana yang patut divonis bersalah.

Hilangnya empati demi mengeruk cuan

Dalam tulisan ini saya sebetulnya ingin mengkritik hilangnya empati para netizen. Pembuat konten berita. Pembuat podcast dan semua yang berujung pada spekulasi yang tidak berujung. Berita yang muncul sejak konferensi pers oleh Polres Jaksel semua mengarah kepada adanya pelecehan seksual. Akibatnya ada penembakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Brigadir J. Sial sekali almarhum, sudah tewas, dituduhkan pula sebagai tersangka pelecehan. Sedangkan si penembak, yang kabarnya Bharada E, malah dianggap pahlawan. Seakan E berhak menghabisi nyawa J dengan timah panas.

Jika misalkan E tertembak, terancam nyawanya, dan terpaksa membela diri dengan membalas tembakan, sangat masuk akal. Kita pun sama, misalkan ada perampok yang ingin membunuh kita, ya kita lawan. Daripada kita yang mati, tentu kita membela diri. Urusan dia terbunuh, itu tidak pernah direncanakan. Namun tidak ada indikasi demikian di pemberitaan. Ini janggal.

Sekiranya Brigadir J melakukan kesalahan pun, apa tidak ada mekanisme etik? Apa tidak perlu dilaporkan ke atasan? Mengapa main hukum rimba? Apa karena memegang senjata apj lantas boleh digunakan mencabut nyawa seseorang? Senjata api digunakan oleh penjaga sifatnya lebih sebagai pertahanan ketimbang untuk menyerang.

Jengkel juga membaca berita belakangan ini. Saya memperhatikan banyak media yang judulnya bombastis namun isinya copy paste. Isinya seolah pesanan bahwa harus memberitakan itu-itu saja. Hanya berisi paparan konferensi polri yang tendensius menimpakan kesalahan pada J. Dan seakan mengatakan J layak mati. Hari-hari berikutnya pun sama. Media seakan isinya 'sampah'. Alias itu-itu saja. Hanya mengulang dan mengulang. Isinya spekulasi dan spekulasi. Pembaca yang berharap informasi baru pun tertipu. Taraaaa! 

Sebut saja media yang berinisial 'T'. Saya yakin anda tau apa itu T. Bagi saya, ini media paling menyebalkan.  Entah itu berita online ataupun cuplikan video di Youtube. Judul sama sekali tidak sesuai isi. Seolah ada isi padahal kosong. Parahhhh.

Para Youtuber juga sama saja. Banyak sekali Youtuber yang membuat konten tentang kasus ini. Bahkan ada yang sudah membuat lebih dari 50 seri podcast untuk membahas ini. Judul videonya tendensius pula. Mendadak seakan detektif. Seakan lebih pintar daripada penyidik. Supaya apa? Saya menduga ini tidak lain demi meraup cuan.

Banyak pihak yang ramai-ramai membuat spekulasi. Selain ini berbahaya pada pembentukan opini publik, ini juga menunjukkan hilangnya empati pada keluarga J, dan keluarga sang Jenderal bintang dua. Satu pihak seakan memastikan J lah 100% yang salah. Pihak yang lain mengatakan bukan J yang salah. Publik menjadi bingung.

Demi cuan dari views dan click pada berita maupun konten Youtube praduga tak bersalah dilanggar begitu saja. Seakan menggiring opini publik bahwa polri tidak profesional. Polri tidak transparan dalam penyidikan, dan seterusnya. Prinsip hukum bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum seakan tidak berlaku. Para pembuat konten seakan tidak peduli itu. Yang penting views nya ramai. Yang penting ratingnya tinggi. Parah!

Banyak hal penting luput, lalu siapkah pemirsa kecewa?

Banyak perhatian dan energi tersedot ke kasus ini. Semula media beramai-ramai 'mengeroyok Brigadir J' dan melabelinya sebagai pelaku kejahatan seolah layak dihabisi. Lalu sekarang, beramai-ramai pula seakan menyalahkan Polri, termasuk keluarga si Jenderal. Ada apa sebenarnya? Kenapa seperti tendensi mengobok-obok institusi Polri? Kasus lain yang tidak kalah penting seakan terlewatkan. Isu perang Rusia Ukraina seakan tidak dipedulikan lagi. Kasus TNI perintahkan tembak istri hilang dari sorotan. Mafia tanah yang menyusahkan rakyat seolah tak perlu dibahas. Naiknya harga pangan seakan tak penting. Kenaikan harga listrik dan BBM seolah tidak perlu? Kasus penyelewangan dana oleh ACT seakan tak penting dibicarakan.

Seringkali kasus semakin ruwet ketika dipergunjingkan di ruang publik. Misalnya kasus pelecehan seksual yang dituduhkan pada Julianto Eka Putra (JE) di Batu, Malang. Setelah ramai dibahas di podcast. Banyak pula Youtuber membuat konten yang tendensius menyalahkan JE sehingga publik tergiring memvonis JE lah si jahat. Eh, belakangan ada yang muncul dan bersaksi bahwa itu semua settingan demi mendongkel JE. Ini tentu membuat publik jadi bingung. Ini cerita yang benar yang mana sih? Apakah publik yang tadinya sudah menyalahkan JE siap kecewa jika nanti di pengadilan JE tidak terbukti bersalah? 

Sama dengan kasus ini. Apakah publik sudah siap kecewa, misalkan benar bahwa J itu bersalah? Bagaimana jika pelecehan itu benar terjadi? Bagaimana jika tidak bisa dibuktikan bahwa ada pihak lain selain E yang menjadi pembunuh sebagaimana opini publik? Bagaimana jika memang sang Jenderal tidak terbukti mengetahui hal ihwal kejadian tersebut?

Kebenaran akan selalu menang

Pengadilan bekerja tidak berdasarkan opini melainkan dengan sistem pembuktian. Tidak bisa menjatuhkan vonis dengan perasaan atau atas tekanan opini publik. Pihak keluarga J pasti tidak mau dikatakan J yang salah. J itu anak baik dan seterusnya. Mana ada kita yang mau anggota keluarga kita terbunuh dan disalahkan pula. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Sebaliknya sama pihak pelaku akan sebisa mungkin menghindari dan membela diri. Para pengacara di kedua belah pihak akan mempertahankan klien masing-masing. Itulah peran pengacara. Kedua belah pihak punya argumen masing-masing. Namun, pada akhirnya hakim yang menentukan siapa yang bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diberikan oleh jaksa penuntut. 

Jadi kita harus juga siap menerima apapun nanti hasil dari penyidikan kasus ini hingga inkrah di pengadilan. Nah, inilah pentingnya kita bersabar dan membiarkan proses penyidikan berjalan tuntas. Biarkan penyidik membuat terang perkara tersebut. Jadi ayolah kita dukung Polri bekerja sebaik-baiknya. Biarkan penyidik bekerja dengan leluasa. Biar mereka membuat terang perkara ini. Dan perlu diingat, penyidik bekerja untuk menyingkap kebenaran. Penyidik tidak perlu ditekan oleh opini pengacara atau opini publik.

Betul bahwa kebebasan berpendapat itu hak semua orang. Berempati dengan keluarga J tentu tidak salah. Namun sebaiknya tidak mendahului pengadilan untuk memvonis siapa yang bersalah. Asas praduga tidak bersalah tetap harus dikedepankan.  Siapapun yang bersalah harus dihukum seadil-adilnya menurut hukum pidana yang berlaku.

Kebenaran akan selalu menang atas apapun. Tidak ada pangkat dan jabatan di depan sang empunya kebenaran. Belum pernah pula matahari gagal terbit hanya karena pekatnya malam. Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun