Sejarah hari listrik nasional
Meskipun listrik sudah diperkenalkan secara komersial oleh Thomas A. Edison pada 1878 di Amerika Serikat, dan 1882 di Inggris, tidak ada catatan pasti kapan pertama kali teknologi listrik dikenalkan di Indonesia.Â
Bisa jadi masuknya negara Eropa yang awalnya berdagang kemudian menjajah Indonesia lah yang membawa teknologi listrik, misalnya Inggris, Portugis, Belanda yang sempat menjajah di Nusantara.Â
Berbicara tentang sejarah kelistrikan Indonesia, tidak pernah bisa lepas dari sejarah berdirinya Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sejarah mencatat bahwa perusahaan listrik pertama dibentuk pada tahun 1897, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM)Â untuk mengurusi kebutuhan listrik pada masa itu. Saat Belanda kalah dalam perang dunia kedua, kepemilikan NIEM ini otomatis beralih tangan Jepang sejak 1942 yang menduduki Indonesia hingga 1945.Â
Pemerintahan militer Dai Nippon mengelola kelistrikan dengan mendirikan perusahaan bernama Djawa Denki Djigjo Sja. Dengan luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom, Jepang pun menyerah kalah pada sekutu.
Kesempatan ini segera diambil oleh pekerja-pekerja Indonesia yang sebelumnya bekerja di perusahaan Jepang tersebut untuk mengambil alih kendali perusahaan listrik bentukan Dai Nippon tersebut.Â
Untuk pengelolaan secara nasional, maka kemudian Bung Karno membentuk membentuk Jawatan Listrik dan Gas Bumi pada 25 Oktober 1945. Yang selang dua hari, tanggal 27 Oktober 1945, dimasukkan menjadi bagian dan diawasi oleh Kementerian Pekerjaan Umum.Â
Momentum 27 Oktober 1945 inilah, pada saat negara menguasai secara resmi Jawatan Listrik dan Gas Bumi, yang kemudian diperingati sebagai Hari Lahir PLN sekaligus Hari Kelistrikan Nasional.
Pembangunan kelistrikan hingga tahun 2020
Kapasitas pembangkit listrik NIEM yang semula hanya 158 megawatt (MW) telah ditambah berkali-kali lipat. Kapasitas pembangkit listrik total yang ada di Indonesia telah mencapai 70ribu MW pada akhir Mei 2020. Rasio elektrifikasi, yaitu rasio rumah berlistrik terhadap rumah keseluruhan, telah mencapai 99%.
Dengan perkiraan jumlah total rumah di Indonesia sebanyak 67 juta. Maka masih ada lebih sekitar 670 ribu rumah penduduk yang belum berlistrik. Umumnya ini rumah yang berada pada daerah terluar dan terpencil.
Namun demikian, Pemerintah tetap memberi perhatian dengan membagikan Tabung Listrik atau Lampu Tenaga Surya Hemat Energi, sementara menunggu jaringan listrik terbangun disana.
Konsumsi listrik per kapita
Konsumsi listrik per kapita masyarakat kita masih kecil. Tidak banyak bergerak dari kisaran 1000 kWh per kapita. Realisasi tahun 2019 hanya 1.084 kWh per kapita. Angka ini masih jauh dari rata-rata konsumsi per kapita dunia, yang mencapai 3500 kWh per kapita.
Tentu tidak tepat membandingkan dengan konsumsi listrik negara lain yang memiliki musim dingin, semisal China, Amerika, Australia. Di sana mereka membutuhkan AC pada musim panas, dan pemanas pada musim dingin. Ini apple to orange jika dibandingkan dengan Indonesia.Â
Namun jika dibandingkan dengan negara yang memiliki iklim yang mirip, misalnya Malaysia, Singapura, Thailand, kita masih tertinggal juga ternyata. Ini tentu masih menjadi PR bagi negara kita, bagaimana kita mengejar ketertinggalan dari negara lainnya.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang akan terus membaik, transisi penggunakan kendaraan listrik, penggunaan kompor listrik, dan ditambah masuknya beragam investasi untuk industri di Indonesia, kebutuhan listrik dalam negeri akan terus meningkat.Â
Misalnya anggaplah tahun 2045 nanti, kita sudah menyamai level pembangunan di Singapura, maka konsumsi listrik kita bisa jadi sama dengan konsumsi listrik Singapura saat ini. Artinya kebutuhan listrik per kapita sekitar 9000 kWh per kapita harus disiapkan.Â
Harapan transisi menuju energi bersih
Meskipun kondisi penyediaan tenaga listrik di Indonesia terus membaik, ditandai dengan capaian rasio elektrifikasi yang sudah hampir 100%, masih ada hal lain yang perlu dibenahi.
Energi listrik kita masih didominasi pembangkit fosil (88%). Ini berarti listrik yang kita konsumsi masih menyebabkan emisi karbon pada lingkungan.Â
Saat ini tren dunia mulai beralih pada energi bersih dan ramah lingkungan. Banyak negara ramai-ramai mulai meninggalkan penggunaan sumber energi fosil (batubara, minyak, gas) untuk membangkitkan listrik.
Misalnya Australia yang pengekspor batubara terbesar di dunia, malahan mulai menggunakan energi angin dan energi surya sebagai penyokong kebutuhan listriknya.
Perlahan tapi pasti, Australia yang pada tahun 2000an bauran energi terbarukannya masih dibawah 10%, kini sudah mencapai 25%. Malahan ada satu negara bagian, Tasmania, yang listriknya mencapai 95% dari energi terbarukan.
Masyarakat tentu berharap listrik Indonesia pun bisa semaksimal mungkin dibangkitkan dari energi terbarukan. Misalnya dengan teknologi energi surya yang tersedia dan semakin murah harganya.
Apalagi konsumsi listrik per kapita akan naik terus. Misalnya mencapai level Singapura saat ini, kita yang baru mencapai 1/9 konsumsi listrik Singapura akan butuh kapasitas pembangkit listrik sekitar 9 kali kapasitas saat ini.Â
Diharapkan semakin banyak proyek-proyek energi terbarukan seperti proyek PLTS terapung Cirata 145 MW yang bersifat energi bersih. Selain mendapat energi yang dihasilkan tanpa emisi karbon, tentu ini juga membuka semakin banyak lapangan kerja baru.
Dengan cara ini kita pun bisa semakin meningkatkan citra dan peran Indonesia dalam menjaga 'ketertiban iklim’ global, sebagaimana Indonesia janjikan dalam Paris Agreement 2015 lalu untuk mengurangi emisi karbon 29 - 41% dibandingkan dari emisi pada kondisi business as usual.Â
Jaya terus insan dan sektor kelistrikan Indonesia.Â
Semakin handal, tersedia dengan harga terjangkau, dan semakin ramah lingkungan!Â
Selamat Hari Listrik Nasional ke-75!Â
Baca juga:Â Listrik Kami Padam, tapi Kami Tidak Kesal! Kok Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H