Cuitan netizen yang mengatakan ingin pindah kewarganegaraan pasca polemik RUU Cipta Kerja sempat ramai dibahas. Beberapa media malah mengulas menjadi artikel tersendiri. Terkesan bahwa dengan pindah kewarganegaraan menjadi cara untuk lepas dari permasalahan dalam negeri. Namun kelihatannya cuitan ini cuman sekedar meramaikan suasana saja. Jangan-jangan yang mencuit malah belum pernah hidup di luar negeri. Hehe
Tulisan ini sekedar berbagi pendapat saja dari pengalaman pernah tinggal di luar negeri untuk sementara waktu dan pernah berkunjung ke beberapa negara. Kebanyakan orang yang berpengalaman hidup di luar negeri akan mengatakan bahwa fasilitas yang lebih lengkap dan lebih tertata membuat hidup disana lebih nyaman. Misalnya fasilitas transportasi di Singapura, fasilitas transportasi di Jepang. Fasilitas pendidikan yang lebih maju. Fasilitas kesehatan yang lebih lengkap, dan seterusnya.
Biaya hidup dan pajak penghasilan yang tinggi
Umumnya mereka mengungkapkan bahwa bekerja di luar negeri, penghasilan yang didapat lebih tinggi ketimbang bekerja di Indonesia. Ini benar adanya. Mengingat bahwa bayaran disana memang lebih besar. Namun jangan lupa bahwa biaya hidup di luar negeri juga tinggi.Â
Misalnya untuk seporsi makanan, harganya 15 dollar. Jika dirupiahkan, bisa sakit kepala ya kan. Jika ingin membeli rumah pun, rasanya dengan menabung mati-matian pun tetap saja sulit terbeli. Harga properti umumnya sedemikian mahal. Bagi kita orang Indonesia, tidak elok rasanya untuk tinggal menyewa rumah atau apartemen selamanya. Pasti ada keinginan untuk memiliki rumah sendiri.Â
Berbeda cerita jika tabungan yang disimpan bertahun-tahun tadi dibawa ke Indonesia, lalu dibelikan sebidang lahan atau rumah malah akan berlebih. Atau dijadikan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan yang umumnya dilakukan TKI sekembalinya ke Indonesia.
Selain itu tarif pajak juga tinggi. Misalnya di Australia besarannya variatif mencapai hingga 19%, Singapura sebesar 22%, Jerman mencapai 45%, Belgia mencapai 50%, Denmark dan Austria mencapai 55%. Semakin tinggi penghasilan semakin besar pula pajaknya.
Tak mudah mendapat pekerjaan yang diimpikan
Seseorang yang memutuskan mengadu nasib di luar negeri, tentu berharap mendapatkan pekerjaan yang diidamkan. Pekerjaan yang sesuai dengan bidang ilmu yang dipelajari dan dikuasai. Seorang lulusan teknik berharap mendapat pekerjaan sebagai engineer. Seorang lulusan ekonomi/manajemen berharap bekerja sebagai manajer, dan seterusnya.
Namun faktanya, memperoleh pekerjaan demikian tidaklah mudah. Pendatang tetap saja berada pada lapisan terakhir. Penduduk asli setempat tetap menjadi prioritas untuk pertama kali dipekerjakan, kecuali keahlian seseorang itu masih kurang. Adanya kekurangan ahli perminyakan di perusahaan minyak di Timur Tengah maka seseorang dengan keahlian tersebut akan mudah melamar. Atau jika keahlian sebagai peneliti atau dosen akan mudah diterima di universitas.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai ijazah membuat banyak orang terpaksa banting setir. Kerja apa saja yang penting dapat gaji untuk bertahan hidup. Sektor informal menjadi lahan yang terbuka lebar bagi pendatang. Misalnya cleaning service, kurir antar makanan (delivery), jasa cuci piring, jasa berkebun (memotong rumput), pelayan restoran, menjaga toko, penjaga keamanan, supir taksi, dan pekerjaan fisik lainnya.
Mau buktinya? Beberapa teman yang ikut mendampingi istri yang kuliah S2 atau S3 di luar negeri, kesulitan mendapatkan pekerjaan. Padahal dia lulusan S2 tadinya pegawai BUMN di Indonesia pada level menengah, cuti untuk mendampingi istri bersekolah.Â
Dengan beasiswa istri yang cuma sekedar, akhirnya pekerjaan kasar pun disikat saja. Ketimbang tidak mendapatkan penghasilan tambahan untuk biaya hidup apapaun dikerjakan. Ada yang menjadi pencuci piring di restoran, atau cleaning service di penginapan/hotel. Ada yang bekerja sebagai supir taksi atau kurir. Ini menggambarkan kehidupan di luar negeri tidak semudah cuitan netizen di medsosnya.
Hidup disiplin dan harus memahami aturan
Jika terbiasa hidup disiplin, mungkin cocok untuk tinggal di luar negeri. Aturan yang sangat ketat membuat hidup menjadi teratur. Namun bagi yang tidak terbiasa disiplin, bisa menjadi masalah tersendiri.Â
Pelanggaran aturan biasanya disertai dengan hukuman denda. Misalnya pelanggaran lalu lintas di Australia, masing-masing pelanggaran akan dikenai denda tilang. Menyetir dengan kecepatan di atas batas maksimum, bisa didenda hingga 230 dollar. Berhenti atau parkir tidak pada tempatnya dikenai denda 270 dollar. Banyak sekali denda-denda yang dikenakan pada pelanggar aturan. Untuk itu, kedisiplinan dan memahami aturan menjadi krusial.
Tak mudah untuk bercanda
Bercanda menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari di Indonesia. Bahkan siaran televisi ada yang khusus untuk obrolan lucu-lucuan. Ini tidak sama saat kita berada di luar negeri. Terkadang kita tidak memahami 'joke' mereka. Atau sebaliknya, kita ingin menuturkan hal yang menurut kita lucu, namun menjadi tidak lucu saat diceritakan dalam bahasa asing. Sialnya mereka malah bingung. Lucunya dimana. Haha
Serba mandiri
Hidup di luar negeri, tidak semudah yang dibayangkan. Tiap orang harus punya kemampuan untuk mengerjakan hal-hal dasar. Contoh paling mudah, bila punya sepeda, lalu ban nya kempes. Tidak ada tukang tambal ban di pinggir jalan, sebagaimana kita mudah temukan di Indonesia. Jadi harus mampu menambal sendiri. Jika pun dibawa ke toko/bengkel sepeda, bayarannya tinggi.
Atau jika ban mobil gembos, bahkan perempuan pun harus bisa mengganti sendiri ban mobilnya. Jika memanggil bengkel, biaya nya mahal. Jadi kemandirian menjadi hal penting. Tidak ada pula yang namanya asisten rumah tangga. Ini menjadi tantangan bagi orang yang di rumah nya terbiasa dilayani.
Tidak semudah membalik telapak tangan untuk dapatkan kewarganegaraan
Ada seorang kenalan, WNI yang sudah mendapatkan status penduduk Australia (permanent residency), mengatakan dia hanya bertujuan mengumpulkan pundi-pundi. Ketika nanti sudah cukup, dia akan kembali ke Indonesia untuk menikmati masa tua tanpa bersusah-susah lagi. Dia juga ingin anak-anaknya menikmati pendidikan berkualitas dan punya masa depan yang lebih cerah. Anak dari keluarga dengan status permanent residency tidak perlu membayar semahal 'international student', cukup membayar setengahnya, uang sekolah disamakan dengan penduduk domestik Australia.Â
Untuk berpindah kewarganegaraan itu bukan hal mudah. Jangan berpikir, begitu berangkat dan tiba di suatu negara, lalu anda bisa dengan mudah mengajukan pindah kewarganegaraan. Memangnya siapa anda? Haha
Hanya seorang bayi yang lahir di negara tersebut, yang secara otomatis mendapatkan status warga negara. Atau menikah dengan warga negara asing menjadi salah satu cara mudah mendapatkan kewarganegaraan, karena mengikut pasangannya. Selain itu butuh proses panjang yang harus dilalui.Â
Pertama kali, anda harus berangkat ke negara yang anda tuju. Ini pun harus mendapat persetujuaan visa. Kemudian setelah sampai di sana, setelah beberapa tahun tinggal disana, memenuhi syarat-syarat, maka boleh mengajukan status penduduk setempat alias permanent residency. Dan itupun belum tentu disetujui.Â
Untuk mendapatkan status warga negara, masih banyak syarat yang harus dipenuhi. Dan jangan lupa, mulai dari pengajuan visa pun sudah mengeluarkan sejumlah uang yang tidak kecil nilainya.
Opa Tjipta telah  mengulas dalam artikelnya : Mau Pindah Warga Negara, Apakah Sudah Ada yang Mau Menampung?
Anggaplah berhasil mendapatkan kewarganegaraan dari suatu negara, perlu diingat bahwa otomatis anda akan jadi warga asing ketika kembali ke Indonesia. Harus mengurus visa dan tidak bisa seenaknya berlama-lama tinggal di Indonesia, meski tadinya anda lahir dan besar di Indonesia.Â
Jadi bagi yang kepengen pindah warga negara, yakin lo? Coba cek lagi uang yang dipunya. Cek lagi kemampuan berbahasa asing. Cek lagi keahlian apa yang dipunya. Hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H