Menurut berita Detik, Desember 2008, konsep kantin kejujuran sudah dilaksanakan sejak 2005. Ada 17 warung yang tersebar di berbagai sekolah di daerah seperti Riau, Jambi, dan Bali. Data Kemendikbud 2008 mencatat ada 1.000 kantin kejujuran yang dimiliki sekolah-sekolah negeri di seluruh Indonesia.Â
Sementara itu, Lipunaratif, menuliskan jumlah kantin kejujuran yang kemudian dijalankan oleh Kejaksaan Agung ada sekitar 10.000. Namun yang berjalan baik hanya sekitar 675 kantin di sekolah. Selainnya bangkrut dan merugi sehingga ditutup.Â
Sejak dibentuknya pada 2007 silam, dari total 697 kantin kejujuran yang pernah ada di Bekasi, tinggal satu yang bertahan. Selebihnya gulung tikar alias tutup karena merugi.Â
Apa yang bisa dipelajari dari gagalnya ratusan 'KPK' ini?
Ada beberapa hal yang patut diduga jadi penghambat berkembangnya kantin atau warung kejujuran ini, antara lain: sikap belum terbiasa jujur, masih ada yang malah mencuri uang dari kotak bayaran, ada juga yang membayar kurang dari seharusnya.Â
Situasi tidak mendukung. Â Misalnya, tidak tersedianya uang kembalian juga menjadi kelemahan.Â
Pembeli belum tentu membawa uang pas, bisa jadi dia memilih membayar kurang dari seharusnya ketimbang tidak mendapat kembalian. Atau malah berpikir nanti saja bayarnya, namun malah lupa. Ini hal-hal yang bisa diperbaiki sebetulnya.
Keprihatinan mengenai bangkrutnya kantin kejujuran di sekolah atau instansi ini menjadi gambaran nyata bahwa menanamkan kejujuran masih jadi PR besar.Â
Tabiat kejujuran siswa mudah diukur dari seberapa cepat kantin kejujuran di sekolah nya bangkrut. Meski kantin ditempeli tulisan 'Allah melihat, malaikat mencatat', tidak mempan dan nyatanya tetap saja bangkrut.Â
Apa jadinya masa depan bangsa ini, jika generasi muda mengesampingkan karakter kejujuran ini? Apakah sudah saatnya kurikulum anti-korupsi dimasukkan dalam materi pendidikan dasar dan menengah?Â