MK menilai adanya pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 UUD 1945. Tidak boleh melarang atau membatasi hak warga negara terkait hak pilih dan memilih, entah dia keluarga petahana atau bukan. Oleh karenanya pasal tersebut dibatalkan oleh MK, dan keputusan ini sifatnya mengikat.Â
Putusan MK ini pun menuai kritik. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menilai putusan MK tidak mendorong adanya kompetisi pencalonan Kepala Daerah yang jujur, adil dan demokratis. Menurutnya, putusan MK seakan mendukung kepentingan individu kerabat petahana, bukannya menghentikan jalur-jalur politik dari kerabat petahana.Â
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri, Djohermansyah Johan juga kecewa pada putusan MK ini. Johan merasa evaluasi yang menunjukkan trend politik dinasti yang makin berkembang selama 10 tahun menjadi sia-sia belaka.
Jangan terlalu benci nanti malah jadi cinta
Bagaimanapun sehebat-hebatnya manusia berencana dan berniat, tetap Tuhan yang menentukan. Â Sang calon Kepala Daerah bisa terpilih, bisa juga tidak.Â
Pengalaman panjang di perpolitikan juga bukan jaminan sang calon akan bekerja baik. Malah bisa jadi dia punya beban masa lalu, sehingga tersandera oleh kepentingan lain. Malah tidak jarang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Katakanlah Gibran dan Bobby, pendatang baru dalam politik, lalu  dipilih rakyat sebagai pemimpin baru. Lantas siapa tahu mereka bisa menunjukkan kinerja yang baik. Kan harus diapresiasi juga nanti.
Terlalu membenci dan menghakimi juga tidak baik loh. Bisa-bisa nanti jatuh cinta. Tidak ada musuh atau sekutu abadi juga dalam perpolitikan. Misalnya, siapa pendukung Prabowo yang menduga beliau mau bergabung dengan Jokowi. Politik di tanah air sebetulnya cair dan terus mencari keseimbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H