Ayah... adek bosannnnn, udahan ya belajarnya.
Anak mulai bosan
Judul tulisan ini terinspirasi dari status Whatsapp seorang sahabat. Manakala dia mendampingi anak-anaknya sekolah online, belajar dari rumah. Tiga orang putrinya, usia 7 tahun, 8 tahun, dan 9 tahun. Dua dari mereka mengatakan bosan belajar online.
Sontak saya jadi terbayang, bagaimana kalau saya jadi dia ya. Mesti mendampingi ketiga anak untuk sekolah setiap hari. Tentu harus menyediakan waktu dan perhatian khusus bagi anak-anak.
Pun saya membayangkan jadi si anak. Setiap hari duduk di depan layar laptop. Mendengarkan guru mengajar. Entah menarik entah tidak.
Tampaknya anak-anak mulai merasa jenuh. Anak-anak mulai berontak dan menunjukkan penolakannya. Kehilangan minatnya untuk mengikuti belajar yang gitu-gitu saja dan hanya diajar oleh laptop. Bayangkan belajar online dari jam 8 pagi hingga jam 13 siang. Ini kan cukup melelahkan.Â
Orangtua pun mulai jenuh
Memang tidak mudah pelaksanaan Belajar Dari Rumah ini. Orangtua pun sebetulnya mengalami kejenuhan. Ayah dan Ibu harus saling bergantian mendampingi anaknya belajar, setidaknya hanya mengawasi.Â
Orangtua yang melakukan working from home pun rasanya sulit melakukan pekerjaannya sekaligus mengawasi anak belajar. Belum lagi si orangtua juga masih dalam status mahasiswa magister atau spesialis atau doktoral, kampusnya pun menerapkan study from home.Â
Ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Orangtua juga butuh "me time" untuk dia bekerja (WFH) atau pun untuk  kuliah/belajar mandiri.
Beberapa keluhan ibu-ibu juga mulai disuarakan meski hanya lewat media sosial. Ada yang  mengeluhkan bahwa belajar online di rumah itu ribet dan merepotkan.Â
Selain itu, ada yang protes, guru hanya memberi beban tugas kepada siswa tanpa panduan. Malah orangtua yang kewalahan mengajari anaknya membuat tugas.
Ada juga yang mengeluhkan tidak selalu memiliki uang untuk membeli paket data. Ada pula yang mengeluhkan bahwa belajar online tidak membuat anak mengerti dengan materi pelajaran.Â
Malah menjadi bodoh, malas, tidak disiplin. Ada juga yang mengkhawatirkan kerusakan mata anak karena setiap hari berjam-jam menatap layar ponsel.
Apakah ini salah guru dan sekolah?
Kurang tepat jika menyalahkan sekolah atas situasi ini. Pada prinsipnya sekolah juga menginginkan yang terbaik untuk siswa nya. Demikian juga para guru.Â
Guru pun disaat bersamaan mengalami masalah yang sama. Selain berperan sebagai guru, pun mereka harus berperan sebagai orang tua.Â
Di saat yang sama dia harus mengajar secara online, anak-anak nya pun perlu pendampingan. Ketika situasi normal, sang Guru bisa berangkat ke sekolah, mengajar disana. Anak-anaknya pun belajar di sekolah diajari oleh guru yang lain.Â
Sekarang ini, mereka juga kewalahan. Harus mengajar online, dan juga mengawasi anak sendiri yang juga belajar online. Jika anak cuma satu, mungkin relatif ringan. Bagaimana jika anak tiga. Butuh laptop tiga juga. Belum lagi kuota internetnya harus ditambah. Jadi sebetulnya keluhan orangtua pun dirasakan oleh guru.Â
Untuk itulah memang Pemerintah harus hadir melihat kondisi yang terjadi ini. Sekolah harus dibimbing. Tidak ada yang siap dengan pembelajaran jarak jauh.Â
Kendala-kendala ini perlu dicarikan jalan keluarnya. Guru-guru mungkin perlu dibekali pelatihan bagaimana cara membuat materi ajar yang menarik, interaktif, agar murid tertarik dan tidak mudah bosan.Â
Bagaimana cara memberi materi ajar sambil bermain, agar anak tetap merasa dilibatkan. Kurikulum pendidika  darurat untuk panduan semasa pandemi menjadi sangat penting dan mendesak untuk dibuat.
Bagaimana misalnya sekiranya Pemerintah memberikan bantuan gadget/laptop untuk belajar. Layanan internet digratiskan.
Tanggapan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Untungnya hal-hal yang jadi kekhawatiran para orangtua terhadap proses belajar online ini, ditangkap secara serius oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).Â
Mencermati situasi dan banyaknya keluhan PJJ ini, KPAI telah mencatat dan memberi rekomendasi kepada Pemerintah:
- Selama pelaksanaan belajar online dari rumah (PJJ) agar layanan internet diberikan secara gratis pada periode jam belajar siswa.
- Mendorong agar jam belajar daring di rumah diperpendek. Karena prinsipnya PJJ bukan memindahkan kegiatan sekolah ke rumah.
- Agar dilakukan evaluasi PJJ dan perbaikan PJJ.
Yang sabar ya anak-anak kami. Kita semua berharap bisa belajar dengan tatap muka langsung di kelas. Namun kita harus menyayangi nyawa keluarga kita. Kita tidak juga mau berduka, misalnya memaksakan sekolah dibuka, lalu ada anggota keluarga terinfeksi Covid-19 dan pergi selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H