Pada suatu perkenalan yang sifatnya bukan temu alumni, seringkali ada orang yang selalu narsis kampusnya, misalnya dengan berkata saya alumni UGM. Saya alumni ITB. Saya alumni UI. Saya alumni Oxford. Saya alumni Cambridge. Saya alumni Stanford. Saya alumni Kampus terkenal XYZ. Tak jarang pula sambil  diucapkan dengan nada sombong.Â
Masih ingat kan pertengahan tahun lalu. Viral seorang fresh graduate lulusan UI ditawari gaji Rp. 8 juta saat wawancara kerja. Menolak dengan mengatakan harusnya digaji lebih tinggi karena dia lulusan UI. Ini lantas banyak dihujat oleh netizen. Terkesan congkak sekali.
Ada juga yang sering mem-publish di media sosial, saya alumni kampus X, kampus terbaik. Iya, iya, iya deh.. dalam batin saya. Entah ini bentuk narsisme atau memotivasi orang lain? Kok rasanya malah cenderung narsis ya.
Ingin sekali saya berkata. So what? Memangnya cuman kamu seorang? Ok lah anda lulusan kampus ternama itu, lalu sudah berkontribusi apa untuk masyarakat? atau sudah melakukan apa untuk Indonesia? Atau anda hanya sekedar bangga jadi alumni?
Ini catatan tendensius pengalaman seorang rekruiter
Di sekitar 2012 lalu. Sempat heboh saat ada seorang bernama Satrio Madigondo, konsultan rekrutmen, membagikan catatan pengalamannya saat melakukan wawancara untuk merekrut calon pegawai dari berbagai lulusan kampus di Indonesia. Dia menuliskan:Â
Adalah sebuah rahasia umum di mana terdapat berbagai tipe pekerja berdasarkan tempat belajarnya. Anak UGM dikenal lugu, tidak neko-neko, dan rendah hati. Anak UI dikenal fleksibel dan cepat belajar. Anak ITB dikenal sebagai ‘pemikir makro’, besar omong, dan kaku luar biasa. Apakah stereotipe ini benar adanya? Saya tidak berani mengamini dengan sepenuh hati karena belum melakukan penelitian secara ilmiah. Dari pengamatan yang saya lakukan selama rentang 4 tahun belakangan (dalam kapasitas sebagai head-hunter, pastinya), beberapa karakteristik dapat saya verifikasi. Anak UGM memang terbukti lugu, tidak ambisius; anak UI dengan fleksibilitasnya, dan anak ITB dengan kekakuan dan kesombongannya.Â
Tulisan atau pendapat Satrio Magiondo ini sempat ramai dibicarakan di media sosial. Ada yang mengkritik bahwa pernyataan ini tendensius, tidak benar, memangnya dia pernah kuliah di kampus itu? Ada juga yang mengatakan ya wajarlah, kami memang terbaik, dans seterusnya. Terutama yang alumni kampus yang Satrio sebut.Â
Namun tidak sedikit yang mengamini, bener itu. Ada pula yang lulusan alumni tersebut mengatakan ya ini buat kita refleksi diri, diterima saja kritikan orang luar. Ini buat koreksi kita juga, bagaimana publik menilai.
Saya pribadi menilai ini bisa benar sebagian. Â Bisa juga tidak benar sebagian. Â Ada memang alumni ITB yang sombong, narsis dengan almamaternya, pun UGM dan UI, ada juga yang begitu. Ada alumni UGM yang lugu iya, anak ITB dan UI pun ada juga. Kampus lain juga begitu. Hal yang nyata memang. Namun tidak bisa digeneralisir semua begitu.Â