Mengapa Agrivoltaics?
Agrivoltaics merupakan konsep menggabungkan penggunaan lahan pertanian dengan produksi energi listrik dari PLTS / solar PV (agriculture + photovoltaics). Â
Solar PV terus mengalami peningkatan kapasitas terpasang di seluruh dunia. Alasannya sederhana, harga yang sudah kompetitif dengan pembangkit listrik fosil termurah (PLTU). Tahun 2018, Bloomberg New Energy Finance (BNEF) mencatat bahwa ketika harga listrik dari PLTU masih diantara 11,2 - 14,7 cent USD/kWh, harga listrik solar PV sudah lebih murah, 3,7 - 6,6 cent USD/kWh. Bahkan tahun 2020, misalnya di Dubai, lelang proyek terkini solar PV, harga listriknya hanya 1,35 cent USD/kWh.Â
Dengan kebutuhan energi yang meningkat, dan harga solar PV yang sudah mengungguli pembangkit fosil, tidak heran banyak negara membangun solar PV sebanyak-banyaknya untuk memperoleh energi bersih. Pada beberapa negara yang lahannya tidak luas, ada konflik antara penggunaan lahan untuk solar PV atau untuk produksi pangan.Â
Untuk itu dicarilah teknologi apa yang bisa menengahi keduanya. Pangan tercukupi, energi bersih tetap didapatkan. Apalagi untuk membangun solar PV, dibutuhkan luasan lahan yang besar. Dan biasanya, lokasi yang paling cocok untuk solar PV ini,yaitu lahan yang dapat sinar matahari dengan durasi panjang dan tutupan awan minimal. Lahan ini biasanya berupa lahan pertanian.Â
Untuk itulah, teknologi agrivoltaic, bisa menjadi jalan tengah. Pada lokasi yang sama bisa dihasilkan tanaman dan energi listrik.Â
Tidak mungkin lahan tersebut digunakan semua untuk solar PV. Mengingat lokasi itu merupakan lahan produktif untuk pertanian sebagai kebutuhan pangan. Apalagi pada daerah padat penduduk, daerah pegunungan, dan pulau-pulau kecil berpenghuni. Tentu tidak mudah menemukan lahan kosong untuk membangun solar PV. Untuk itulah, teknologi agrivoltaic, bisa menjadi jalan tengah. Pada lokasi yang sama bisa dihasilkan tanaman dan energi listrik. Caranya diantara lahan pertanian tersebut dipasangin panel surya yang 'compact'.Â
Konsep Agrivoltaics?
Ada tiga pola pengembangan agrivoltaics. Konsep pertama bahwa panel surya ditempatkan diantara baris lahan kosong tanaman, sudah dikenal sejak tahun 1980an. Konsep kedua dengan menggunakan struktur rumah kaca, yang bagian atasnya ditambahin panel surya dengan jarak tertentu diantaranya. Dan konsep ketiga, yaitu membangun struktur panel surya diatas tanaman (stilt-mounted PV), juga dengan jarak tertentu diantaranya. Jarak ini penting dibuat agar sinar matahari dapat sampai pada tanaman. Berikut ilustrasinya:
Agrivoltaics cocok diterapkan pada lahan pertanian dengan tanaman yang toleran terhadap efek bayangan dari panel surya : yaitu tanaman arugula, sayuran Asia, chard, sawi, kale, sawi, peterseli, sorrel, bayam, daun bawang, brokoli, kohlrabi, kubis, kacang tanah, alfalfa, ubi, talas, singkong, dan ubi jalar. Atau tanaman yang hanya butuh sedikit sinar matahari, yaitu mentimun, lobak, labu, kol, dan paprika hijau.
Namun konsep Agrivoltaics tidak cocok untuk tanaman yang butuh sinaran matahari yang banyak, misalnya jagung, semangka, tomat, mentimun, labu, kubis, lobak, dan padi. Jika dipaksakan, maka hasil produksinya akan berkurang drastis.
Riset membuktikan hasil panen meningkat
Sekiyama (2019), dalam penelitiannya di Jepang, menemukan bahwa penerapan agrivoltaics pada lahan yang ditanami jagung malah menaikkan hasil panennya.Â
Lahan yang dipasangin panel dengan jarak yang jarang antar panel, dibandingkan dengan lahan tanpa panel, ternyata lebih tinggi hasil panennya sekitar 6%. Ini disinyalir karena dengan adanya panel surya ini, penguapan air dari lahan pertanian dapat dikurangi, terutama pada musim kering dan panas. Ini tentu menarik, dari lahan yang sama, diperoleh hasil panen lebih banyak, dan bonus energi listrik.Â
Peluang penerapan di Indonesia
Indonesia juga berpotensi menerapkan konsep agrivotaics ini. Kita punya lahan pertanian atau perkebunan yang luas, sehingga potensinya besar. Para petani besar bisa saja menggunakan teknologi ini, untuk mendapat hasil panen sekaligus energi listrik dari lahan pertanian yang dipunyai. Ada revenue tambahan dari listrik yang dihasilkan, misalnya jika dijual ke PLN.Â
Atau malah digunakan sendiri untuk menghemat tagihan listrik. Misalnya petani tersebut juga punya pabrik pengolahan hasil pertaniannya. Bisa saja listrik yang dihasilkan tadi digunakan untuk pabriknya. Sangat memungkinkan untuk mulai dikembangkan. Tentu perlu kehati-hatian, perlu diperhatikan kecocokan jenis tanaman yang diusahakan. Jangan sampai malah panel surya yang dipasangi malah mengurangi hasil panen.
Solusi bagi daerah-daerah kering agar bisa produktif
Solar PV yang dibangun di areal pertanian dapat juga difungsikan untuk mendukung irigasi, penyediaan air pada lahan tadah hujan. Lahan-lahan seperti ini banyak di Indonesia dan lokasi nya ada yang jauh dari jaringan listrik. Maka untuk meningkatkan fungsi lahan untuk pertanian, bisa dipasangin solar PV untuk menjadi sumber energi penggerak pompa tanpa bergantung pada PLN. Jika irigasi tersedia, tentu akan memudahkan petani untuk bercocok tanam sepanjang tahun, tanpa harus menunggu musim penghujan tiba.Â
Misalnya  daerah kering di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta. Ini akan sangat bermanfaat bagi petani disana. Atau misalnya di daerah Nusa Tenggara Timur, yang pancaran sinar matahari nya kualitas terbaik, akan bisa memberi manfaat bagi masyarakat petani disana.
Dengan agrivoltaic ini, dapat pangannya, dapat pula listriknya. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H